Bismillahirrohmaanirrohiim

Mengenal Pendiri dan Ajaran Ahmadiyah

Mirza Ghulam Ahmad, Sekilas Riwayat Hidup
Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, berasal dari keluarga terhormat. Mirza adalah gelar yang biasa diberikan kepada kaum ningrat keturunan raja-raja Islam dinasti Moghul berasal dari Persia. Sebutan
Hadhrat biasa diberikan orang kepada wujud-wujud suci, atau pada ‘alim rabbani; sebutan Ghulam merupakan nama famili. Jadi, nama asli beliau hanyalah Ahmad.
Hadhrat Ahmad dilahirkan pada tanggal 13 Pebruari 1835, sesuai dengan 14 Syawal 1250 H, pada hari Jumat di kediaman orang tua beliau sendiri, Mirza Ghulam Murtadha, di dusun Qadian, yang terletak 24 Km dari kota
Amritsar, Punjab, India.
Keluarga Mirza yang menetap di dusun Qadian itu mempunyai hak atas seluruh dusun Qadian dan berhak memungut pajak 5 % dari tiga desa sekitarnya. Setelah mengalami kejayaannya, kerajaan Moghul mengalami
kepudarannya dan menjadi terpecah-pecah, lalu dilanda oleh kebangunan kembali raja-raja Hindu dan Sikh, hingga musnah sama sekali dengan datangnya Ingggris.
Di zaman penjajahan Inggris ayahanda beliau berusaha mendapatkan kembali hak-hak atas tanah milik beliau dengan membelanjakan puluhan ribu rupees, untuk memenangkan tuntutan di meja hijau, akan tetapi semuanya
tidak berhasil. Sebagai ayah, Mirza Ghulam Murtadha menumpahkan banyak harapan kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, agar sang putra itu kelak dapat berjuang memulihkan kejayaan dan pamor duniawi keluarga Mirza.
Akan tetapi Hadhrat Ahmad berkecenderungan sebaliknya, bahkan beliau mengungkapkan perasaan beliau: “Aku tidak menghendaki kekayaan dalam arti kata duniawi, akan tetapi kaya dalam arti rohani….”
Sekedar hormat dan taat kepada ayahanda, beliau acapkali juga menyelasaikan perkara-perkara pengadilan membantu ayahanda; akan tetapi sebenarnya beliau merasa enggan dan hati beliau selalu dekat kepada urusan rohani
dan mencari kepuasan dalam asyiknya berzikir dan beribdah kepada Allah SWT. Kata beliau dalam sebuah syair:
“Aku punya teman dan aku dipenuhi kecintaan-Nya
Aku merasa muak dengan segala pangkat dan kehormatan
Kulihat dunia dan pengikut-pengikutnya menderita kelaparan
Namun negeri cintaku tak pernah mengalami kekurangan
Manusia cenderung kepada kesenangan dunia
Sedang aku cenderung ke Wajah yang memberi kenikmatan dan kesyahduan”
Hadhrat Ahmad tidak pernah menduduki bangku sekolah, karena memang sekolah-sekolah tidak ada waktu itu di Qadian. Akan tetapi sebagai anak dari keluarga terhormat, beliau di asuh oleh guru-guru pribadi yang
mengajarkan Al-Quran dan bahasa Persia. Beliau menunjukan bakat dan keinginan belajar yang luar biasa, dengan demikian kecintaan kepada Al-Quran tumbuh dan semakin meresap ke dalam hati sanubari beliau. Sebagai
orang yang mempunyai pembawaan suci, kebanyakan waktu beliau lewatkan di dalam mesjid, asyik membaca dan muthalaah Al-Quran dan sering orang mendapatkan beliau berjalan mondar-mandir di mesjid dengan
sebuah kitab di tangan, satu tanda, otak beiau penuh dengan daya dinamika, dan hati penuh dengan kecintaan kepada Al-Quran. (Hayatu Ahmad, 1960 : 4)
Beberapa waktu sebelum Mirza Ghulam Mutadha wafat, Hadhrat Ahmad bermimpi, seorang malaikat datang kepada beliau dan menasihati beliau supaya menjalankan ibadah puasa tertentu sesuai dengan sunnah para rasul
Allah dan Waliullah untuk memungkinkan diri beliau menerima rahmat Allah. Maka beliaupun menjalankan puasa-puasa itu dengan diam-diam tanpa diketahui orang. Beliau tinggal disebuah kamar ditingkat atas dan mengatur
agar makanan dibawakan ke kamar beliau. Dengan diam-diam beliau suka mengundang anak-anak miskin dan anak-anak yatim makan bersama-sama. Sesudah dua atau tiga minggu berikutnya beliau memutuskan
mengurangi makan beliau sedikit demi sedikit, sampai akhirnya beliau cukupkan hanya makan sekerat roti saja untuk mengisi perut beliau sehari semalam. Dalam hari-hari itu banyak ru ’ya yang beliau saksikan.
Pada tahun 1876 ketika Hadhrat Ahmad sedang tinggal di Lahore, beliau menerima ilham bahwa ayah beliau akan segera tutup usia. Beliau segera pulang ke Qadian dan mendapatkan ayahanda sedang sakit karena desentri.
Beliau diberi kabar lagi oleh Allah, bahwa ayah beliau akan wafat sesudah matahari terbenam.***
Tampil Membela Islam
Pada masa itu badai perlawanan terhadap Islam menjadi-jadi, menerjang dari segala jurusan. Perlawanan paling sengit datang dari golongan Kristen dan dari sekte Hindu Arya Samaj, yang memburuk-burukan nama dan
pribadi Nabi Muhammad SAW., sedangkan orang-orang Islam mereka jadikan bulan-bulanan, tak ubahnya seperti perahu yang dipermainkan gelombang samudra. Dengan rasa pedih Hadhrat Ahmad menangkis serangan-
serangan itu dengan mengirimkan artikel-artikel dalam surat-surat kabar. Disaat menghebatnya serangan-serangan itu beliau acapkali menerima ilham-ilham yang mengandung kabar ghaib, yang kelak menjadi sempurna
pada waktunya.
Ketika serangan-serangan semakin gencar dan ulama-ulama lain tidak kuasa menangkis serangan-serangan itu, beliau mengambil keputusan menulis buku yang terbit dengan nama Barahin Ahmadiyah. Jilid pertama terbit
bulan Mei 1879. Untuk menerbitkan buku itu beliau tidak mempunyai dana, untuk itu beliau berdoa kepada Allah, dan hasil bantuan pun mengalirlah.
Di dalam buku Barahin Ahmadiyah itu, beliau mengungkapkan keluhuran dan keindahan Islam serta mengumumkan, bila seorang penganut agama lain dapat menampilkan keluhuran dan keindahan agamanya melebihi
ajaran Islam, seperti yang diuaraikan beliau, maka beliau bersedia memberikan hadiah sebesar Rs. 10.000.- (Sepuluh ribu rupees). Ternyata, tidak seorang pun sanggup memenuhi tantangan itu.
Alim-Ulama Islam, diantaranya ulama besar Maulvi Muhammad Husain Batalwi, mengakui keunggulan kitab itu dan memuji penyusunnya. Bahkan ulama besar itu mengatakan, dalam jangka 13 abad, tidak pernah terbit satu
kitab pun seperti Barahin Ahmadiyah. Kitab itu pun semakin terkenal, dan dari beberapa kalangan datang anjuran-anjuran kepada beliau agar beliau menerima bai ’at dari orang-orang, tetapi beliau selalu mengelak, sampai
akhirnya, Desember 1888, beliau menerima perintah Tuhan, dan beliau melaksanakan perintah Tuhan itu dengan menerima bai’at yang pertama dari orang-orang di kota Ludhiana, pada 23 Maret 1889. Pada pembaiatan
pertama itu, kurang lebih 40 orang bai’at ke tangan beliau, diantaranya adalah Al-Haj Maulvi Hakim Nurudin, yang kelak menjadi Khalifah Al-Masih pertama setelah Hadhrat Ahmad wafat. (Ibid : 15) ***
Klaim Sebagai Imam Mahdi dan Al-Masih Yang Dijajikan
Dalam tahuan 1890 beliau membuat karya tulis bernama Fath Islam, disusul kemudian oleh karya berikutnya Taudhih Maram. Kedua karya itu terbit tahun 1891, bersama karya tulis lain yaitu Izala Auham. Di dalam buku-buku
tersebut beliau mengumumkan, berdasarkan wahyu yang beliau terima, Allah SWT., telah menunjuk beliau sebagai Mahdi dan Masih yang Dijanjikan. Klaim atau pengakuan beliau itu ditunjang oleh banyak ayat-ayat Al-Quran
(diantaranya, 1:7; 24:56; 73:16)., serta Hadits-hadits Rasulullah SAW., begitu pula sesuai dengan pernyataan Nabi Isa as., sendiri yang terdapat dalam Biybel (seperti, kitab Yahya 14:3; Ibrani 4:28; Matius 29:39; dll).
Kita mencatat, di dalam Kitab Barahin Ahmadiyah, beliau masih memegang pendirian yang sama seperti kebanyakan kaum Muslimin tentang Nabi Isa as., yaitu masih hidup dilangit. Akan tetapi pada tahun 1891 ketika diberi
tahu dengan wahyu bahwa Nabi Isa as., telah wafat, beliau mengubah pendirian itu. Beliau menyatakan kepada dunia, Nabi Isa as., telah wafat seperti para Nabi lainnya yang seperti umumnya manusia dan kuburan beliau
terdapat di Srinagar, Kashmir. (Dard, 1948: 221). Ilmu pengetahuan moderen belakangan ini telah mengungkapkan penemuan-penemuan baru yang mendukung dan membenarkan pernyataan beliau diatas. (Baca, Selecta 616
tanggal 9 Juli 1973; dan Varia edisi Juni 1973).
Pada tahun 1986 di kota Lahore diadakan seminar agama-agama atas prakarsa beberapa tokoh yang bercita-cita hendak menghentikan sengketa antar agama di India. Dalam seminar itu wakil-wakil berbagai agama
menampilkan lima pokok masalah, dengan syarat isinya tidak menyerang agama lain dan agar diketengahkan argumen-argumen yang langsung dari kitab sucinya masing-masing.
Kelima pokok masalah itu adalah sebagi berikut :Keadaan jasmani, akhlak dan rohani manusia.Keadaan manusia sesudah matiMaksud hidup manusia di dunia dan Jalan untuk mencapainyaAkibat atau dampak perbuatan
manusia di dunia dan di akhiratJalan-jalan atau sarana untuk memperoleh ilmu dan ma ’rifat IlahiOleh panitia seminar tersebut beliau pun diminta ambil bagian dan beliau menjanjikan akan ikut serta dalam seminar itu. Sebelum
seminar itu berlangsung, beliau menerima kabar dari Tuhan, bahwa makalah beliau akan unggul. Kabar tersebut beliau umumkan dalam surat-surat selebaran. Beliau sendiri tidak dapat hadir dalam seminar itu, tetapi
mengutus salah seorang pengikut beliau, Maulvi Abdul Karim, yang mendapat kehormatan membacakan makalah beliau.
Surat-surat kabar saat itu, dalam laporannya masing-masing, mengakui keunggulan makalah yang ditulis Hazrat Mirza Ghulam Ahmad itu. Seperti, The Theosophical Book Notes menulis: “Penampilan tentang agama
Muhammad yang terbaik dan paling menarik, yang baru kita jumpai” (Sinar Islam, April 1981:25)
Makalah yang dibacakan dalam seminar agama-agama tersebut telah diterbitkan dalam berbagai bahasa, diantaranya dalam bahasa Arab dengan judul: Falsafah al ta’alim al Islamiyah, dalam bahasa Inggris dengan judul: The
Teaching of Islam, juga dalam bahasa Indonesia dengan judul: Filsafat Ajaran Islam.
Mengenai kearangan itu pula, pujangga kenamaan Rusia, Leo Tolstoy, menulis: “The ideas are very profound and very true” – gagasan-gagasannya sangat mendalam dan sangat benar. Harian Bristol Times and Miror
memberikan ulasan: “Jelas orangnya bukan orang sembarangan jika berbicara demikian ke khalayak barat itu”. Lalu, The Muslim Review (India) menulis: “Dengan membaca makalah kecil itu nyata diperhitungkan untuk
menghilangkan banyak salah pengertian tentang Islam”. (Ibid)
Semenjak beliau menda’wahkan diri sebagai Mahdi dan Masih yang Dijanjikan, tak ada lagi waktu yang terluang bagi beliau. Beliau seorang diri menghadapi perlawanan dari pihak-pihak non-Islam yang anti Islam, dan dari
ulama-ulama Islam yang tidak setuju dengan beliau, yang melancarkan berbagai tuduhan.
Pada tahun 1900, beliau menyempurnakan da’wah beliau kepada pihak Kristen dengan mengajak padri-padri di Lahore supaya “meminta keputusan Ilahi, siapa yang berdiri di pihak yang benar dan siapa yangberdiri di pihak
yag bathil”. Tetapi, tantangan itu pun tidak terbalas.
Pada tahun 1893, terbit pula karya beliau “Aina Kamalati Islam “ berisi uraian-uraian yang mencerminkan keindahan dan keluhuran agama Islam, serta ajakan dan da’wah beliau kepada Ratu Victoria dari Inggris untuk memeluk
agama Islam. Dengan kata-kata yang gagah dan berwibawa, beliau menulis:
“Hai, Sri Baginda Ratu. Berlimpah-limpah kebajikan Tuhan telah dianugrahkan kepada Sri Baginda Ratu dalam urusan duniawi. Kini, dambakanlah kerajaan rohani. Bertaubatlah, taatilah Dia, dan sanjunglah Dia, yang di dalam
Kerajaan-Nya, tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai serikat. Wahai, Sri Baginda Ratu, terimalah Islam, dan Baginda akan selamat…”. (Lihat, Dard, Life of Ahmad, 1960 : 9).
Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad wafat pada tanggal 26 Mei 1908, dan dikebumikan di Qadian setalah berpesan kepada jemaat beliau dalam kitab beliau yang terakhir, Al-Wasiyat. (ibid., hal 15)
Saat beliau wafat (1908), beliau meninggalkan lebih kurang 400.000. (empat ratus ribu), orang pengikut. Kini, setelah 97 (sembilan puluh tujuh ) tahun kewafatannya, jumlah pengikutnya meningkat berlipat ganda, menjadi
lebih 200.000.000. (dua ratus juta) orang, tersebar di lebih 180 (seratus delapan puluh) negara di dunia.
Fakta ini, tentunya merupakan bukti aktual, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, benar sebagai Utusan Allah, Al-Mahdi dan Al-Masih Yang Dijanjikan Kedatangannya oleh Rasulullah SAW,. Sebab, jika ia pendusta, palsu,
sebagaimana kerapkali dituduhkan orang-orang yang antipati kepadanya, sudah pasti, Tuhan tidak akan membiarkan ia hidup bebas, lebih-lebih memiliki pengikut hingga ratusan juta, tersebar diseluruh dunia. Tetapi, Dia
(Allah), pasti, akan menumpasnya dan membinasakannya dengan tangan kanan-Nya, sebagaimana janji-Nya (Lihat, Quran Surah 69, Al-Haqqah : 44-46).
Menarik kesimpulan dari kehidupan beliau, selama masa hayatnya, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, telah melaksnakan tugas-tugas suci sebagai berikut:Memperkenalkan kepada dunia Tuhan Yang Hidup dan Berkata-kata seperti
dahulu Dia berkata-kata.Menghilangkan segala rintangan dan hambatan yang menghalangi hubungan antara Khaliq dan makhluq-Nya.Memperkenalkan kepada dunia, Al-Quran-lah satu-satunya Kitab Suci, dan Muhammad
SAW.,-lah satu-satunya Nabi, yang sanggup menuntun umat manusia ke jalan kebenaran.Membendung arus orangorang-orang Islam yang menyebrang ke agama Kristen.Mengembalikan umat Islam di bawah naungan
satu Imam dengan perantaraan Khalifah-khalifah pilihan Tuhan.Membuktikan kepada dunia, Islam adalah agama yang hidup dan sanggup menjawab segala tantangan dan persoalan yang menyangkut kehidupan umat
manusia di segala zaman.Hadhrat Ahmad berkata: “Dengarlah, wahai umat manusia, dan saksikanlah, bahwasanya Allah yang menjadikan langit dan bumi ini, telah memberi kabar ghaib kepadaku, Dia akan menyebarkan
Jemaat ini diseluruh dunia, dan Dia akan memberi kemenangan kepada Jemaat ini diatas golongan lain, semuanya dengan jalan keterangan dan hujjah …. Aku datang hanya untuk menanam benih ini, dan aku telah
menanamnya. Sekarang benih ini akan senantiasa tumbuh terus dan niscayalah akan berbuah pula, lagi tak ada siapa pun yang dapat menghalangi kemajuannya”.(Ahmad, Tazkirah, tt. : 635; Dard, 1948 : 445). ***
Pengakuan Kepada Nabi Muhammad Sebagai Khataman-Nabiyyin
Pendiri Jemaat Ahmadiyah dengan tegas menyatakan imannya pada Khatamun-Nubuwwah Rasulullah SAW. Ia mengemukakan dengan tandas bahwa Nabi Muhammad SAW., adalah manusia pilihan Allah, dan betul-betul
Khataman-Nabiyyin. “Dengan sungguh-sungguh saya percaya bahwa Nabi Muhammad SAW., adalah Khayamul Anbiya. Seorang yang tidak percaya pada Khatamun Nubuwwah beliau (Rasulullah SAW), adalah orang yang
tidak beriman dan berada diluar lingkungan Islam” (Ahmad, Taqrir wajibul I’lan, 1891)“Inti dari kepercayaan saya ialah: Laa Ilaaha Illallaahu, Muhammadur-Rasulullaahu (Tak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan
Allah). Kepercayaan kami yang menjadi pergantungan dalam hidup ini, dan yang pada-Nya kami, dengan rahmat dan karunia Allah, berpegang sampai saat terakhir dari hayat kami di bumi ini, ialah bahwa junjungan dan
penghulu kami, Nabi Muhammad SAW., adalah Khaataman-Nabiyyin dan Khairul Mursalin, yang termulia dari antara nabi-nabi. Di tangan beliau hukum syari ’at telah disempurnakan. Karunia yang sempurna ini pada waktu
sekarang adalah satu-satunya penuntun ke jalan yang lurus dan satu-satunya sarana untuk mencapai “kesatuan” dengan Tuhan Yang Maha Kuasa”.(Ahmad, Izalah Auham, 1891 : 137).“Martabat luhur yang diduduki junjungan
dan penghulu kami, yang terutama dari semua manusia, Nabi yang paling besar, Hadrat Khatamun-Nabiyyin SAW., telah berakhir dalam diri beliau yang didalamnya terhimpun segala kesempurnaan dan yang sebaliknya tak
dapat dicapai manusia ”. (Ahmad, Taudhih Marram, 1891 : 23).“Yang dikehendaki Allah supaya kita percaya hanyalah ini, bahwa Dia adalah Esa dan Muhammad SAW., adalah Nabi-Nya, dan bahwa beliau adalah Khatamul-
Anbiya dan lebih tinggi dari semua makhluk”. (Ahmad, Kistii Nuh, 1902 : 15).“Saya katakan dengan sejujur-jujurnya bahwa kami dapat berdamai dengan ular berbisa dan serigala buas, tetapi kami tak dapat berkompromi
dengan orang yang melakukan serangan-serangan keji terhadap Nabi Muhammad yang kami cintai, orang yang lebih kami hargakan dari kehidupan kami dan orang tua kami”. (Ahmad, Paigham-i-Sulh, 1908 : 30).“Sekiranya
orang-orang ini membantai anak-anak kami di muka mata kami dan mencincang apa-apa yang kami kasihi sampai berkeping-keping dan membuat kami mati dengan hina dan malu dan merampas semua harta dunia kami,
maka demi Tuhan, semua itu tidak akan begitu menyakitkan hati kami seperti yang kami alami atas cacian dan hinaan yang dilancarkan kepada Nabi kami, Muhammad SAW., ”. (Ahmad, Aina Kamat-i-Islam, 1893 : 52)
Hubungan Kenabian Muhammad dan Ahmad
Sesudah adanya pernyataan yang sungguh-sungguh dan tandas diatas, timbul pertanyaan: Kenabian macam apakah yang didakwakan Pendiri Jemaat Ahmadiyah untuk dirinya? Adakah pernah macam kenabian itu
disebutkan dalam tulisan-tulisan ulama masa lampau, dalam hubungan dengan Pembaharu yang dijanjikan, yang akan diangkat dari antara orang-orang Islam? Jika tulisan ulama-ulama Islam tempo dulu dengan tegas
menyatakan kemungkinan adanya macam kenabian itu, maka mengapa ulama-ulama masa sekarang memfatwakan pendiri Jemaat Ahmadiyah sebagai kafir oleh karena pendakwaannya atas kenabian itu?
Perlu dicatat, pendiri Jemaat Ahmadiyah tidak mendakwakan macam kenabian yang dipercayai masyarakat ramai dan ulama-ulama. Menurut mereka seorang Nabi tidak pengikut dari nabi sebelumnya, bahwa ia mencapai
kenabian itu tidak karena taat dan mengikuti nabi lain, tetapi ia menjadi nabi karena dirinya sendiri dan bukan menjadi pengikut dari seorang nabi lainnya.
Pendiri Jemaat Ahmadiyah dengan tegas menolak kepercayaan itu. Ia berkata: “Lembaga Kenabian telah tertutup, kecuali melalui dan di dalam Nabi Muhammad SAW., Nabi pembawa syari’at tidak mungkin lagi datang.
Seorang Nabi tanpa syariat baru bisa datang, tetapi lebih dulu ia harus seorang ummati, yakni seorang pengikut Nabi Muhammad SAW,”. (Ahmad, Tajalliyat-i Ilahiyah, 1906 :20 )
Jika demikian apa hubungannya Pendiri Jemaat Ahmadiyah dengan junjungan dan Penghulunya, junjungan dan Penghulu kita semua, Nabi Muhammad SAW.,?
Pendiri Jemaat Ahmadiyah secara terperinci menerangkan bahwa kedudukannya dalam hubungan dengan Nabi Muhammad SAW., adalah sebagai khadim dan hamba yang lemah dan rendah, terhadap Tuan atau
Majikannya. Beliau berkata: “Hamba yang hina ini mendapat kehormatan juga untuk menjadi salah seorang dari hamba-hamba yang hina dari Nabi Agung itu yang menjadi Penghulu Nabi-nabi dan Raja Rasul-rasul”. (Ahmad,
Barahin-i-Ahmadiyah, 1884 : 572).
Berulang-ulang beliau menegaskan bahwa beliau bukan Nabi pembawa syari’at. Beliau adalah pengikut Al-Quran Suci. Benar beliau adalah Mahdi dan Masih yang Dijanjikan, tetapi beliau bukan Nabi yang berdiri sendiri. Beliau
seorang khadim yang hina dari Nabi Muhammad SAW., Apa yang diperolehnya adalah karena beliau (Muhammad SAW.,). Beliau adalah pengikut Rasulullah SAW., dan ummati, dan telah diangkat untuk menyempurnakan
janji-janji nubuatan-nubuatan Beliau SAW,.
Beliau berkata lagi: “Sesudah Nabi Mugammad SAW., tidak boleh lagi mengenakan istilah Nabi kepada seseorang, kecuali bila ia lebih dahulu menjadi seorang ummati dan pengikuit dari Nabi Muhammad SAW.,” (Ahmad,
Tajalliyat-i-Ilahiyah, 1906 : 9).
Hal ini berarti, tiap karunia yang diterima beliau telah mendapat kehormatan untuk mengikuti Nabi Muhammad SAW., Beliau mendapat karunia Tuhan, bukanlah secara berdiri sendiri.
“Suatu ketinggian, suatu keistimewaan, suatu kehormatan, suatu persatuan dengan Tuhan, tak akan dapat dicapai kecuali dengan jalan pengabdian sesempurna-sempurnanya kepada Nabi Muhammad SAW., Apa juga yang
kita terima adalah karena beliau dan dari beliau”. (Ahmad, Izalah-i- Auham, 1891 : 138).
“Semua pintu kenabian telah tertutup kecuali pintu penyerahan seluruhnya kepada Nabi Muhammad SAW., dan pintu fana seluruhnya ke dalam beliau”. (Ahmad, Ek Ghalti ka Izala, 1901 : 3 ).
“Saya mendapat karunia ini begitu sempurna bukanlah tersebab sesuatu jasa saya sendiri, tetapi hanya karena rahmat Allah. Karunia itu ialah yang telah dianugrahkan kepada Nabi-nabi, Rasul-rasul dan orang-orang pilihan
Tuhan, yakni sebelum saya. Hal itu tak akan mungkin saya capai sekiranya saya tidak mengikuti junjungan dan Penghulu saya, kebanggaan Nabi-nabi dan yang paling sempurna dari mereka, Muhmmad SAW., Apa pun yang
saya terima, hal itu adalah karena penyerahan diri saya kepada beliau. Saya yakin sepenuh-penuhnya dan sebesar-besarnya bahwa tak seorang pun akan mencapai kedekatan dengan Tuhan dan memperoleh ilmu-Nya yang
sejati, kecuali dengan mengikuti Rasulullah SAW., ” (Ahmad, Haqiqatul Wahyi, 1907 : 62).
“Tuhan yang mengetahui rahasia hati beliau, meninggikan beliau diatas semua Nabi-nabi, mereka yang mendahului beliau dan mereka yang akan mengikuti beliau. Allah memenuhi semua keinginan beliau dalam masa hidup
beliau. Sesungguhnya beliau adalah mata air dari sesuatu yang baik. Seorang yang mengatakan memperoleh kesempurnaan tanpa mengakui berhutang budi kepada beliau, bukanlah seorang mnusia melainkan setan, karena
hanya beliau saja yang dikaruniai kunci kepada segala kesempurnaan. Dan memang beliau telah dianugrahi khazanah ilmu pengetahuan Ilahi. Orang yang tidak menerima apa-apa dari beliau, tidak akan menerima apa-apa dari
seseorang lainnya. Jika terpisah dari beliau, saya tak berarti apa-apa, sama sekali tak apa-apa. Kita sama sekali berada di puncak kedurhakaan bila kita tidak mengakui, bahwa hanya melalui Nabi Muhammad SAW., saja kita
dapat memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tauhid Tuhan Yang Maha Esa. Sebenarnya adalah dengan perantaraan beliau dan melalui cahaya kesempurnaan beliau, kita memperoleh kesadaran tentang Tuhan
Yang Hidup ”. (Ahmad, Haqiqatul Wahyi, 1907 :116 ).
“Saya tak dapat berbuat lain, selain mengulangi dan menyatakan dengan nyaring, kecintaan sejati kepada Al-Quran Suci dan Nabi Muhammad SAW., serta penyerahan sepenuhnya kepada beliau memungkinkan seseorang
untuk melakukan mu’jijat dan bagi orang yang semacam itu terbuka pintu menuju pengetahuan yang tersembunyi. Seorang pengikut agama lain tak akan dapat bertanding melawannya dalam persoalan karunia kerohanian.
Kebetulan saya mempunyai pengetahuan tangan pertama tentang keajaiban ini. Saya naik saksi, bahwa kecuali Islam, semua agama lain sudah tua renta, Tuhannya telah mati, dan pengikut-pengikutnya hanyalah tinggal
bangkai. Sama sekali tak mungkin, saya ulangi lagi, tak mungkin, untuk mengadakan hubungan yang hidup dengan Tuhan, kecuali jika orang menerima Islam ”. (Ahmad, Zamima Anjam-i-Atham, 1897 :61-62 ).
Berulang-ulang, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, Pendiri Jemaat Ahmadiyah, menunjukan, beliau tidak mempunyai kedudukan yang berdiri sendiri, dan bukan seorang Nabi yang berdiri sendiri. Beliau hanya Nabi dalam arti,
beliau tidak membawa syariat baru, dan beliau hanya diserahi tugas untuk menegakan kembali dan memperkuat hukum sempurna yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW,.
Beliau juga menyatakan, oleh karena beliau seorang hamba yang hina dari Nabi Muhammad SAW., beliau telah di karuniai dua senjata sangat ampuh untuk mewujudkan rencana luhur ini. Senjata-senjata ini pada satu pihak
adalah dalil-dalil yang rasionil dan obyektif, dan pada pihak lain ialah tanda-tanda langit, dan itu sesungguhnya adalah karunia Tuhan yang telah dianugrahkan untuk agama-Nya yang terpilih.
Ketika menguraikan kemajuan Islam di Afrika Barat, Cecil Northcatt, berkata: “Sierra Leone adalah tanah pilihan di Afrika Barat untuk orang-orang Muslim Ahmadiyah yang membuat kubu pertahanan mereka dalam negara kecil
ini dengan pengendalian kuat dari Pakistan”.
Tentang missi kedokteran dan sekolah-sekolah ia berkata: “ Jemaat Ahmadiyah menyatakan bahwa ia menafsirkan Islam dalam pengertian-pengertian modern dan menjawab tantangan agama Kristen. Jemaat itu kini sedang
merencanakan akan mendirikan suatu missi kedokteran di Sierra Leone, dan jumlah sekolahnya sedang bertambah. Menurut penyelidikan resmi yang paling baru, Islam maju sepuluh kali lebih cepat dari agama Kristen di
Afrika Barat ” (Pakistan Times, 11 Desember 1960 dalam Sinar Islam No. 11, Nopember 1978:9).
Seorang anggota terkemuka dari Missi Kristen di Nigeria, berkata: “Mereka (orang-orang Islam), adalah masyarakat yang paling terbelakang kira-kira tiga puluh tahun yang lalu, tetapi sejak kaum Ahmadiyah memulai
perjuangan mereka yang progresif maka terjadilah perubahan-perubahan ajaib diantara mereka” (Catholic Herald, Nigeria, 19-8-1955, dalam Sinar Islam, Nopember 1978:9).
Dalam pendahuluan terjemahan Al-Quran Suci oleh Asyraf Ali Thanwi peristiwa ajaib itu dibicarakan pula dalam kata-kata berikut:” Dalam periode ini Uskup Lefroy meninggalkan Eropa dengan disertai suatu regu besar
Missionaris Kristen dan ia bersumpah bahwa dalam saat pendek ia akan memasukan penduduk anak benua India ke dalam agama Kristen. Dengan dibekali bantuan uang yang besar sekali dan janji-janji bantuan uang yang
terus menerus, ia tiba di India dan menimbulkan kegemparan besar. Ia melancarkan serangan dengan dalil bahwa Yesus masih hidup dilangit dengan tubuh jasmaninya, sedang nabi-nabi lain berkubur di tanah. Dalil itu
tampaknya efektif, justru disaat ini Mirza Ghulam Ahmad mengibarkan panji-panji pertahanan Islam dan ia mengatakan kepada Uskup Lefroy dan kawan-kawannya bahwa Isa Al-Masih telah wafat dan telah dikuburkan seperti
makhlkuk-makhluk fana lainnya. Al-Masih yang akan datang itu tak lain, tak bukan adalah saya, katanya. Kalau tuan jujur, tuan harus membenarkan saya. Dengan strategi ini ia menyerang pertahanan Uskup Lefroy begitu
keras sehingga baginya tak mungkin melepaskan diri sendiri dari kedudukan yang sulit itu. Karena itu ia menghalau seluruh Missionaris Kristen dari India ke Eropa ” (Sinar Islam, Nopember 1978:10).
Pendiri Jemaat Ahmadiyah selanjutnya mengatakan, oleh karena beliau dibangkitkan untuk menegakan kebenaran Islam dan kebenaran Hadhrat Khatamul Anbiya dan untuk melancarkan dalil-dalil terghadap semua agama
yang tidak benar, Tuhan mewahyukan kepada beliau kejadian-kejaidan di masa datang dan mengaruniakan tanda-tanda langit kepada beliau, membukakan kepada beliau kabar-kabar tentang yang ghaib. Keadaan ini
dinamakan kenabian dalam bahasa Arab. Beliau menambahkan: “Perkataan nabi adalah serupa dalam bahasa Arab dan Ibrani. Dalam bahasa Ibrani perkataan itu diucapkan naabi yang diambil dari naba yang berarti pemberian
nubuatan dari Tuhan. Seorang Nabi tidak harus membawa syari’at. Keadaan ini adalah anugrah Tuhan dengan mana dikabarkan peristiwa-peristiwa masa datang”. (Ahmad, Ek Ghalati ka Izala, 1901 : 8 ).
Sehari sebelum wafat, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, menyatakan: “Tuduhan yang dilemparkan kepada saya ialah bahwa bentuk kenabian yang saya akui buat diri saya menyebabkan saya keluar dari Islam. Dengan
perkataan lain saya dituduh mempercayai bahwa saya adalah nabi yang berdiri sendiri, seorang nabi yang tak perlu mengikuti Al-Quran Suci, dan bahwa kalimah saya lain dan qiblat saya berubah. Juga saya disangkakan
menghapus syariat dan memutuskan tali kesetiaan kepada Nabi Muhammad SAW,. Tuduhan itu sama sekali palsu. Sesuatu pengakuan kenabian seperti itu adalah kufur ; ini jelas. Bukan hanya kini, tetapi dari sejak permulaan
sekali, saya selalu mengemukakan dalam buku-buku saya, bahwa saya tidak mengakui kenabian seperti itu untuk saya. Itu sama sekali adalah tuduhan kosong dan suatu cercaan terhadap saya. Keadaan sebenarnya hanyalah
ini: Bila saya menyebutkan diri saya seorang nabi, saya maksudkan hanya bahwa Allah SWT., berbicara dengan saya dan Dia bercakap-cakap dengan saya dan menerima pengabdian saya, dan mewahyukan kepada saya hal-
hal ghaib, dan membukakan kepada saya rahasia-rahasia yang berhubungan dengan masa datang dan yang tidak akan Dia bukakan kepada seseorang yang tidak Dia cintai dan dekat kepada-Nya. Sesungguhnya, Dia
mengangkat saya sebagai nabi, dalam arti itu ”. (Ahmad, Akhbar-i-Am, 26 Mei 1908 : 7; Tabligh-i-Risalat, t.t. : 132-134 ). ***
Qaul ‘Ulama Tentang Kenabian Tanpa Syariat
Bentuk kenabian yang di akui Pendiri Jemaat Ahmadiyah untuk diri beliau, sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Nabi Muhammad SAW., sendiri, seperti diriwayatkan oleh Nawwas bin Sam’an, empat kali menyebut nabi
kepada Isa Yang Dijanjikan kedatangannya : 1). “Nanti nabi Allah Isa dan sahabat-sahabatnya akan terkepung”. 2) “Nanti nabi Allah Isa dan sahabat-sahabatnya akan memanjatkan doa kepada Allah”. 3) “Kemudian turunlah nabi
Allah Isa dan sahabat-sahabatnya”. 4) “Maka mendoalah nabi Allah Isa dan sahabat-sahabatnya”. (Shahih Muslim, Jilid II, Cetakan Mesir, Misykat, hal 474).
Ulama-ulama terdahulu juga sependapat dengan pengertian Pendiri Jemaat Ahmadiyah itu. Ahli Hadits, Imam Ahl Sunnah, Al-Imam Ali Alqari (Wafat 1014 H/1606 M), berkata:
“Meskipun begitu kalau Ibrahim (putra Nabi Muhammad SAW.,), hidup dan diangkat sebagai nabi, dan juga sekiranya Umar (Umar ibn Khatab), menjadi nabi, tentu kedua beliau akan (tetap) menjadi pengikut Nabi SAW.,
seperti Isa, Khidir, dan Ilyas, maka hadits: Lau ‘aasya lakaana shidiiqan-Nabiyan, tidaklah bertentangan dengan Firman Tuhan Khatamun-Nabiyin, karena Khatamun-Nabiyin berarti bahwa sesudah Nabi Muhammad SAW., tak
akan datang seseorang nabi yang akan menghapus syariat beliau dan yang tidak akan menjadi ummati, pengkut beliau”.
(Ali Alqari, Maudhuat Kabir, t.t. : 69 )
Muhamadiyah, salah satu organisasi besar Islam di Indonesia, dalam salah satu penerbitannya menyatakan:
“ Tentang kedatangan tuan Yezuz kedoenia kembali, memang rata-rata kaom Moeslimin mempertjajainya. Hal kepertjajaan Moeslimin tentang kedatangamn Yezuz kedoenia lagi itoe demikianlah : Sungguh Baginda Nabi Isa
(Yezuz Kristus), itu akan toeroen ke doenia lagi pada akhir zaman dan beliau itu akan menghoekoemi dengan syari’at Nabi Moehammad SAW., tidak dengan syari’atnya; karena syari’at Yezuz itoe, telah terhapoes sebab soedah
lalunya waktoe jang sesoeai oentoek mendjalankannya. Maka kedatangan Yezuz itoe nanti menjadi sebagai khalifah ataoe pengganti Nabi kita, di dalam menjalankan syri’at Beginda Nabi SAW., pada ini oemat” (Windon Nomer
“Mutiara”, Madjlis H.B. Moehammadiyah Taman Pustaka, Pebruari 1940/Moeharram 1359 Th. Ke IX, hal. 32-34 ).
Kalangan Ahli Sunnah wal Jama’ah terbesar di Indonesia, Nahdhatul ‘Ulama (NU), juga punya pendirian: “Kita wajib berkeyakinan, bahwa Nabi Isa as., itu akan diturunkan kembali pada akhir zaman nanti sebagai nabi dan rasul
yang melaksanakan syari’at Nabi Muhammad SAW., dan hal itu, tidak berarti menghalangi Nabi Muhammad SAW., sebagai Nabi terakhir, sebab Nabi Isa as., hanya akan melaksanakan syari’at Nabi Muhammad SAW,. Sedang
madzhab empat pada waktu itu hapus (tidak berlaku)”.
(Ahkam-al-Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdhatul Ulama 1926-1999M, LTN-NU-Diantama, Cet. Kedua, Januari 2005:50)
Dan, menurut ‘Ulama Nahdhiyin (NU), jika Isa datang dengan menyandang gelar Nabi tidak bertentangan dengan Firman Allah: Walakir-Rasulallaahi Wa khaataman-Nabiyyin (Al-Ahzab:40).
“Firman Allah tersebut tidak bertentangan dengan (Hadits) yang menjelaskan tentang turunnya Isa a.s. di akhir zaman, karena ia tidak akan datang dengan ajaran yang menghapuskan ajaran Nabi Muhammad SAW., namun
justru akan menetapkannya dan mengamalkannya”. (Ibid:51).
Bahkan, menurut ‘Ulama Nahdhiyin (NU), Nabi Isa as., jika nanti ia datang, ia akan menerima wahyu melalui lisan Jibril as : “Annahu Yuuha ila-sayidi ‘Iisa ‘alaihi-sholaatu-wassalam, bi syarii’atin-Muhammadin sholalaahi ‘alaihi
wassalam, ‘alaa lisaani jibriili ‘alaihi-sholaatu-wasslam” -- “Bahwasanya ia, (Isa as.), akan mendapat wahyu untuk melaksanakan syariat Muhammad SAW., melalui lisan Jibril as”. (Ibid:51)
‘Ulama besar dan Pendiri Darul “Ulum Deoband, India, Maulana Muhammad Qasim Nanutvee (lahir 1248 H/1833 M; wafat 1279 H/1880 M) menulis: “Taruhlah seorang nabi diutus sesudah Nabi Muhammad SAW., maka hal itu
sedikitpun tidak menyinggung Khatamiyah dari Nabi Muhammad SAW.,” (Tahzirunnas, Kharikhwah Sarkar Press, Sharanpur, hal 25, dari Sinar Islam, Nopember 1978 : 13)
Pendirian dan opini para ‘Ulama tersebut, tentu tidak asal dikemukakan dan tidak asal ngomong saja. Ia, tentu saja, melandasi pendirian dan opininya itu, berlandaskan pada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.
Dari kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, antara lain, Prof. Drs. K.H. Hasbullah Bakrry S.H., menyatakan :
“ Menurut pendapat saya, adalah suatu kesalahan yang amat besar telah dilakukan oleh Majlis Ulama kita baru-baru ini tanpa mendengar lebih dulu pendapat ulama lain, menyatakan Ahmadiyah bukan Islam (hal ini pasti
bertentangan dengan ayat Alquran An-Nisa:94 yang mencegah kita mengkafirkan sesama Islam). Kalau kita tidak boleh mengkafirkan golongan Syi’ah, begitu juga kita tidak boleh mengkafirkan golongan Ahmadiyah, sebab
mereka tetap masih mengaku Islam dengan iman Islam. Kiranya para Ulama di Indonesia dapat menempati posisinya yang benar dalam membangun bangsa dan negara, amien”. (Kiblat, No.16/XXVII, hal 26 ).
Terhadap sebagian ulama yang suka mengkafirkan, nampaknya telah mendapat sentilan dari Sufi Besar Syekh Muhyidin Ibnu ‘Arabi. Beliau menyatakan: “Bila Imam Mahdi muncul, tak ada orang yang lebih menentangnya dari
pada yang dinamakan kaum “fuqaha”, karena mereka kuatir akan kehilangan kedudukan dan sikap mereka tidak bisa dibedakan dari masyarakat awam”. (Al Futuhat al-Makkiyah III, hal 374)
Adalah pantas untuk direnungkan, sejauh yang bersangkutan dengan pernyataan kufur tak ada satu mazhab pun yang terhindar dari tuduhan. Sebagaimana ditunjukan oleh Laporan Penyelidikan Munir, yaitu laporan Hakim
Munir tentang keributan di Punjab, Pakistan pada tahun 1953, bahwa kalau seorang akan menuruti tuduhan kafir itu maka tak seorang Pakistan jua pun yang akan dapat dinamakan Muslim. Ini adalah akibat diabaikannya
tuntunan Rasulullah SAW., yang berbunyi:
“Seorang yang bershalat sebagai yang kita lakukan, menghadap ke arah kiblat, memakan apa yang kita sembelih, adalah seorang Islam yang berada dalam lindungan Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, janganlah kamu
membuat malu Allah berkenaan dengan perjanjiannya”.(Shahih Bukhari, Kitab Al-Shalat, Bab Fadhlu Istiqbal al Qiblah, I:56).***
Kepercayaan Yang Dianut Ahmadiyah
Melengkapi uraian ini, berikut diketengahkan kepercayaan penting yang dianut Ahmadiyah, ialah:
Pertama:
Ahmadiyah meyakini sepenuhnya, Allah itu Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Esa (tunggal) dalam Dzat-Nya, dalam Sifat dan dalam Perbuatan-Nya. Penyembahan kepada-Nya (ibadah) juga tidak ada sama-Nya. Ahmadiyah
meyakini, Dzat-Nya, sifat dan perbuatan (fi ’il)-Nya, serta dalam ibadah kepada-Nya tidak boleh dipersekutukan dengan apa pun juga.
Kedua:
Ahmadiyah mempercayai Kalam Ilahi sejak alam semesta ini Dia jadikan, Sifat Allah Yang Mutakallim senantiasa hidup, tidak pernah terhenti pada masa apa pun juga. Oleh karena itu, Ahmadiyah mempercayai semua Kitab-
Nya, semua wahyu-Nya. Ahmadiyah mempercayai Kalam Ilahi diturunkan dalam bahasa apa saja, dan di daerah, wilayah atau negeri apa saja. Dalam hubungan itu Ahmadiyah meyakini, Al-Quran Suci adalah syariat terakhir,
sempurna dan lengkap lagi paripurna. Al-Quran adalah syariat bagi seluruh umat manusia, berlaku selama dunia dan penghuninya masih ada. Ahmadiyah meyakini, Al-Quran adalah satu-satunya jalan yang dapat
mengantarkan manusia kepada Ilahi, Tuhan Yang menciptakannya. Di dalam Kitab Suci Al-Quran, semua kebenaran dalam bentuknya yang sempurna, yang terdapat di dalam kitab-kitab Taurat, Zabur, Injil, dan sebagainya,
telah tercakup. Ahmadiyah meyakini pula, Al-Quran Suci adalah Kitab yang diatur tertib dan tersusun baik sebagai layaknya. Dalam Al-Quran tak ada sepotong ayat pun yang mansukh. Seluruh isinya adalah syariat yang
muhkam, bahasanya adalah bahasa Arab yang menjadi induk semua bahasa dunia. Semua kitab suci yang turun sebelum Al-Quran telah dihapuskan. Kebalikannya, tak ada dan tak akan ada Kitab apa pun yang akan
menghapuskan (memansukhkan) Kitab Suci Al-Quran.
Ketiga:
Setiap orang Ahmadiyah (Ahmadi), meyakini dan beriman kepada semua nabi-nabi. Dalam kepercayaan Ahmadiyah, sesuai dengan ajaran Al-Quran, Allah SWT., mengutus Utusan-Nya dalam tiap umat dan kaum.
Ahmadiyah mempercayai semua Nabi itu benar, suci dan ma ’shum, yaitu tidak melanggar, tidak berbuat dosa. Dalam kepercayaan Ahmadiyah, Nabi Muahmmad SAW., adalah pemimpin semua Nabi. Beliau paling mulia dan
paling afdhal. Kedatangan beliau adalah untuk seluruh umat manusia dan semua masa. Martabat beliau jauh lebih luhur dan lebih mulia dari semua nabi. Beliau selalu “hidup”. Oleh karena itu, maka beliau dinamakan
Khataman-Nabiyyin. Semua Nabi memperoleh nikmat rohani karena beliau. Baik dimasa lalu maupun dimasa yang akan datang. Ahmadiyah mempercayai, orang yang memisahkan diri dari beliau dan ummat-Nya, kemudian
ia mendakwahkan diri memperoleh nikmat rohaniah, dia adalah pendusta, lancung dan pembohong. Ahmadiyah mempercayai Nabi Muhammad SAW., sebagai Sayyidul Ma ’shumin (Pemimpin dari semua orang suci tak
berdosa). Ahmadiyah meyakini, beliau adalah jalan dan sebab untuk memperoleh hikmah rohani, kebajikan dan berkat Ilahi.
Keempat:
Ahmadiyah mempercayai Malaikat. Malaikat sebagai ciptaan Tuhan yang ma’shum, tidak berdosa. Malaikat sebagai alat melaksanakan semua perintah Allah. Malaikat tidak dapat berbuat dosa. Malaikat pengantar Kalam Ilahi,
dahulu maupun sekarang, turun kepada orang-orang (hamba) suci memberikan piagam thumanina Ilahi.
Kelima:
Ahmadiyah mempercayai, hari Qiyamat adalah hak, kebenaran Hasyar dan Nasyar tepat dan benar. Surga dan neraka juga hak. Sesudah mati setiap insan akan memperoleh ganjaran atau siksaan, sesuai amal perbuatannya.
Nikmat surga adalah kekal abadi, tak kenal henti atau putus. Kebalikannya neraka adalah tempat menghukum orang berdosa, guna memperbaiki dan meluruskan mereka yang harus dihukum. Allah adalah Ar-Rahmaan Ar-
Rahiim, paling pengasih dan paling penyayang. Ahmadiyah mempercayai, sesudah penghuni neraka itu menjalankan hukumannya dan mereka telah menjadi lurus, mereka juga akan dimasukan kedalam surga. Tuhan
Sendiri Berfirman: Rahmani wasyi ’at kulla syai’in, bahwa rahmat Ilahi itu meliputi segala yang ada, termasuk Neraka. Rahmat Ilahi itu harus terwujud, nyata terbukti.
Ahmadiyah meyakini, yaqin, bahkan haqqul yaqin, lima kepercayaan dasar tersebut adalah sepenuhnya selaras dengan petunjuk dan kemauan Al-Quran. Dan, Ahmadiyah juga meyakini, menyimpang sehelai rambut pun
dari petunjuk Al-Quran, adalah penyelewengan yang tak dapat dibenarkan. Bagi Ahmadiyah, Al-Quran adalah pegangan utama dalam semua soal dan mengenai semua masalah. Dan, dalam keyakinan Ahmadiyah, Al-Quran
adalah pedoman hidup dunia-akhirat ”. (Al-Busyra, 1970 : 15 ).***
Beberapa Perbedaan
Sepanjang yang berhubungan dengan tauhid ajaran Al-Quran, sepanjang kepercayaan Ahmadiyah diamalkan sebagai kegiatan hidup beragama, orang Ahmadiyah tidak bersujud kepada apa dan siapa pun kecuali Allah Yang
Esa dan Tunggal itu. Tidak bersujud kepada kuburan dan tidak pula kepada sesama manusia. Orang Ahmadiyah hanya mengenal al-Hayyul Qayyum, Allah Rabbul Alamiin, dalam arti yang sebenarnya.
Kewafatan Nabi Isa as.
Menurut Ahmadiyah, berdasarkan Al-Quran, Nabi Isa as., sudah wafat secara wajar, sama dengan nabi lainnya telah pulang ke rahmatullah (Ali Imran, 3:144). Kepercayaan, Nabi Isa as., masih hidup di langit, oleh Ahmadiyah
dianggap bertentangan dengan ajaran Tauhid Ilahi. Mempercayai Nabi Isa as., itu hidup di langit sejak 2000 tahun silam dengan jasad kasarnya dipandang bertentangan dengan ke-Esaan Tuhan. Oleh sebab itu, orang
Ahmadiyah mempercayai, Nabi Isa as., sudah wafat, wafat seperti manusia lainnya.
Kepercayaan ini berdasarkan bukti-bukti nyata dari Al-Quran. Dalam kepercayaan Ahmadiyah, sesudah Dzat Suci Allah SWT., dari antara semua Nabi dan Rasul, insan yang paling luhur martabat dan kemuliaannya, adalah
Nabi Muhammad SAW,. Menurut pengertian Ahmadiyah kepercayaan terhadap kehidupan Al-Masih secara luar biasa itu adalah kepercayaan Nasrani. Kemudian oleh sebagian orang Islam dianut sebagai kepercayaannya.
Kepercayaan ini bertentangan dengan kemuliaan dan keluhuran martabat Rasulullah SAW,. Oleh sebab itulah maka orang Ahmnadiyah tidak keberatan kalau dikatakan bersikeras terhadap kematian Al-Masih itu dan berusaha
meyakinkan semua orang terhadap kematian beliau itu. Ini boleh dikatakan salah satu bagian kepercayaan yang membedakan orang Ahmadiyah dengan lainnya. (Lihat, Al-Qaul Ash Sharih, 1960:12)
Masalah Nasikh-Mansukh
Hal lainnya yang membedakan orang Ahmadiyah dari yang lain dalam kepercayaannya, ialah : masalah nasikh-mansukh. Kalangan Ahlus-Sunnah wal Jamaah dan kalangan Syi’ah menganut faham nasikh-mansukh. Kalau
mereka berbeda, hanya dalam masalah banyak ayat. Ada yang mengakui lima ratus ayat yang mansukh, ada yang mengakui dua ratus, dan ada yang kurang dari itu.
Ahmadiyah, dalam hal ini berpendapat, tak ada sebuah ayat pun dalam Al-Quran yang mansukh, bahkan satu kata atau satu huruf pun tak ada yang mansukh. Seluruh isi Al-Quran utuh sempurna dan tak ada yang
dimansukhkan.
Kesinambungan Kenabian dan Wahyu
Seperti telah disebutkan diatas, orang Ahmadiyah mempercayai bahwa Rasulullah SAW., itu adalah satu-satunya wujud suci yang menjadi jalan dan sumber kelimpahan nikmat rohani yang berkelanjutan. Kepercayaan
Ahmadiyah itu didasarkan pada Al-Quran (An-Nisa, 4:69).
Berdasarkan ayat diatas dan ayat-ayat lainnya, maka Ahmadiyah mempercayai, dengan pengikutan sempurna kepada Rasulullah SAW., dengan karunia dan fadhl Allah, maka di dalam umat Muhammad SAW., dapat menjadi
nabi-ummati, orang siddiq (benar dan membenarkan Allah dan Rasul-Nya), menjadi orang syahid dan bisa menjadi wali atau orang saleh dan baik-baik. Kepercayaan orang-orang Ahmadiyah ialah, dengan pengikutan
sempurna kepada Nabi Muhammad SAW., yang hidup itu, dengan pengikutan sempurna kepada Al-Quran, Kalam Allah yang penuh kehidupan dan kasih sayang itu, karunia Allah senantiasa akan terus berlangsung dan akan
diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya (Ali Imran, 3:179, 72:26-27). Pendiri Ahmadiyah pun berkata: “Hendaknya jangan kamu mengira bahwa wahyu Ilahi tidak ada lagi, dan hanya berlaku dimasa lampau saja, dan
pada waktu sekarang Rohulqudus tidak dapat turun dan hanya turun pada zaman dahulu saja. Aku berkata dengan sesungguh-sungguhnya, segala pintu dapat tertutup, akan tetapi pintu untuk turunnya Rohulqudus tidak
tertutup untuk selamanya. Andaikata kamu sekalian menutup jendela yang melaluinya sinar matahari masuk, berarti kamu menjauhkan dirimu sendiri dari sentuhan sinar matahari. Wahai orang yang tidak faham, bangkitlah!
Bukalah jendela itu, maka dengan sendirinya matahari akan menyelinap ke dalam dirimu. Jika pada jaman ini Tuhan tidak menutup jalan anugrah duniawi bagimu, bahkan membukakannya selebar-lebarnya, apakah kamu
punya persangkaan bahwa Dia telah menutup jalan anugrah samawi bagimu? Sekali-kali tidak! Bahkan pintu itu telah dibukakan seterbuka-terbukanya …..”.(Ghulam Ahmad, Bahtera Nuh, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1997:38)
Pengakuan Terhadap Khulafaur-Rasyidin
Setelah wafat Rasulullah SAW., dalam hubungannya dengan masalah Khilafah antara kalangan Sunni dan Syi’ah terdapat pertentangan yang besar. Kalangan Sunni menerima dan mengakui susunan para Khalifah Rasyidin:
Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Sementara kalangan Syi’ah dalam hal ini hanya mengakui Ali ra., sebagai Khalifah tak terputuskan dan yang benar. Sedang para Khalifah yang lain (na’udzubillah), bukan Khalifah dan bukan
pula orang mukmin dalam arti sebenarnya.
Berkenaan dengan para Khalifah Rasyidin: Abu Bakar ra., Umar ra., Usman ra., dan Ali ra., Ahmadiyah mempercayainya sebagai Khalifah yang benar, keempat-empatnya benar, suci dan memiliki kebajikan.
Sikap Terhadap Para ‘Alim Rabbani
Mengenai para ‘Ulama Rabbani, para imam, terutama yang berjasa kepada Islam, pendirian Ahmadiyah ialah menghormati mereka. Khusus para imam dan ‘ulama rabbani baik dari kalangan Ahlus-Sunnah wal Jamaah
maupun dari kalangan Syi’ah, bagi Ahmadiyah menghormati mereka adalah satu syi’ar yang diutamakan.
Masalah Fiqh
Masalah fiqh, pendirian kalangan Sunni berbeda dengan kalangan Syi’ah sampai kepada masalah penting seperti masalah halal-haram, keduanya mempunyai pandangan yang berbeda. Dalam pegangan dasar urusan ibadah,
antara keduanya juga terdapat perbedaan yang menonjol. Dalam urusan shalat, adzan, wudhu, antara kedua kalangan ini terdapat perbedaan yang cukup menyolok.
Dalam masalah fiqh, Ahmadiyah berpendirian, harus mengutamakan Al-quran dahulu diatas segalanya, karena ia sebagai landasan dasar, sesudah itu sunnah Rasulullah SAW., kemudian hadits Nabi. Sesudah itu semuanya
barulah para fuqaha meletakan dasar ijtihad dan ijma ’ yang bertitik tolak dari ketiga sumber tersebut diatas.
Ijtihad
Dalam hal urusan Juziyyat, Ahmadiyah mengamalkan fiqh Imam Hanafi. Akan tetapi masalah-masalah baru yang timbul pada suatu kondisi atau keadaan, maka dengan dasar petunjuk-petunjuk Pendiri Jemaat Ahmadiyah,
dimanfaatkan sebaik-baiknya hokum fiqh dari semua imam dan semua golongan dalam Islam, guna memecahkan persoalan, mengadakan ijtihad. Dengan demikian Ahmadiyah menganggap pintu ijtihad itu tetap terbuka
bagi ‘alim-ulama Ahmadiyah (Al-Busyra, Juni 1970:5).
Metodologi Penafsiran Al-Quran
Tafsir Al-quran. Berkenaan dengan cara penafsiran Al-Quran, Ahmadiyah mempunyai pendirian diantaranya sebagai berikut:
Pertama:
Memberikan tafsir dengan berpedoman kepada Al-Quran sendiri. Dengan pengertian petunjuk : “Al-Quran yafassiru nafsahu”, yaitu suatu bagian Al-Quran menafsirkan bagian lainnya.
Kedua:
Tafsir itu berdasarkan pedoman Sunnah Rasulullah SAW,. Imam Syafi’I ra., berkata: “Segala yang dihukumkan oleh Rasulullah SAW., itu semuanya adalah dari apa yang difahami beliau dari Al-Quran”. Singkatnya, Imam
Syafi’i dalam Ar-Risalah, menyatakan, sunnah itu menjadi keterangan yang menjelaskan ayat-ayat yang mujmal, maka sunnah menjadi bayan takhsis, keterangan yang menentukan sesuatu dari yang umum.
Ketiga:
Berpedoman kepada Hadits-hadits Nabi SAW., yang banyak membantu memahami makna dan tujuan tidap ayat Al-Quran. Dengan sendirinya, hadits nabi SAW., itu tidak bertentangan dengan Al-Quran dan tidak pula
mungkin bertentangan dengan sunnah atau amal perbuatan Rasulullah SAW,.
Keempat:
Berpedoman kepada lughah, yaitu bahasa Arab, bahasa Kitab Suci Al-Quran sendiri. Untuk itu, orang Ahmadiyah sedapatnya mempelajari masalah ini sampai kepada akar-akar bahasa, terutama manakala terbentur pada soial
yang pelik, yang memerlukan ketelitian dan kejelian.
Kelima:
Berpedoman kepada akal, salah satu nikmat Allah yang penting dan diperlukan untuk menghadapi segala masalah. Akal adalah anugrah Allah yang di dalam Al-Quran sendiri diakui bahkan dianjurkan untuk dimanfaatkan. Allah
SWT, berulangkali menyebutkan dalam Al-Quran, seperti afalaa ta ’qilun, afalaa tatafakaruun, apakah kamu tidak mempergunakan akal dan fikiran? (Yunus, 10:16; Al-An’am, 6:50 ).
Dalam tafsir Ahmadiyah tidak terdapat kisah-kisah kosong Israiliyat, atau dongeng-dongeng yang bertentangan dengan kesucian dan kemurnian Al-Quran sendiri, tidak akan di dapat hal-hal yang menyinggung kehormatan
para nabi, para malaikat, apalagi kesucian dan keluhuran Allah SWT., dan Rasul-rasul-Nya.
Bahwa tafsir Ahmadiyah dapat diterima baik oleh para ahli, sarjana dan cerdik pandai muslim, dapat dibuktikan dengan dipergunakannya tafsir Ahmadiyah itu sebagai referensi oleh para sarjana dan ulama yang menafsirkan
Al-Quran dalam panitia penterjemah Al-Quran yang diterbitkan oleh Depatemen Agama R.I. Di Mesir, karya Ahmadiyah itu mendapat sambutan dan pujian. Ahmadiyah menyebarkan Al-Quran ke dalam berbagai bahasa di
dunia. Dalam hubungan karya Ahmadiyah yang mempersembahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jerman, berkala Perguruan Tinggi Agama di Mesir, yang paling terkenal, memberikan sambutan yang sangat menarik.
Sambutan itu ditulis oleh Dr. Muhammad Abdul Wahab, Direktur Institut Urusan Agama dan disiarkan dalam majalah Majallatul Azhar, terbitan Pebuari 1959.
Adalah tidak mengherankan jika para tokoh dunia pun berkomentar, sbb:
“ Maka oleh karena itulah, walaupun ada beberapa fasal dari Ahmadiyah tidak saya setujui dan malahan saya tolak,….., tokh saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah saya
dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasional, moderen, broad minded dan logis itu”. (Bung Karno, Di Bawah Bendera Revolusi : 346; Sinar Islam, Januari 1984 : 57 )
“Pengaruh Jemaat Ahmadiyah memang jauh sekali. Ini disebabkan kepercayaan Pendiri Jemaat Ahmadiyah dan pengikutnya, bahwa jihad dengan pedang bukanlagh masanya sekarang. Yang diperlukan ialah jihad dengan
pena, jihad dengan lisan dan tulisan. Pendirian mereka ini tidak sejalan dengan pendirian umat Islam lainnya, tetapi hakikat yang nyata ialah, kemampuan jihad dengan pedang tidak ada pada Ahmadiyah dan tidak pula terdapat
pada umat Islam lainnya. Karena kepercayaan umum umat Islam terhadap jihad dengan pedang itu, maka akhirnya jihad ‘am dan dakwah pun tidak dilakukan. Orang Ahmadiyah yang mengakui jihad dengan dakwah itu
merekalah yang melakukannya dengan menganggapnya sebagai kewajiban. Di sini mereka berhasil dan sukses”. ( Muhammad Akram M.A., Maud-i-Kauthar, 193-194; Ibid )
“Diatas nama Islam dan kaum Muslimin se-Dunia kita memuji sungguh kepada pergerakannya Ghulam Ahmad tentang mereka banyak menarik kaum Nasrani (Kristen) masuk agama Islam di tanah Hindustan dan lain-lain
tempat…..”. (Dr. H.A.Karim Amarulah, Al Qaulus-Shahih : 149; Ibid )
“Adapun kaum Ahmadi (Ahmadiyah), dan usahanya melebarkan Islam di benua Eropa dan Amerika, dengan dasar ajaran mereka, faedahnya bagi Islam ada juga. Mereka menafsirkan Qur’an ke dalam bahasa-bahasa yang
hidup di Eropa. Padahal zaman 100 tahun yang lalu masih merata kepercayaan tidak boleh menafsirkan Qur’an. Penafsiran Quran dari kedua golongan Ahmadiyah itu membangkitkan minat bagi golongan yang mengingini
kebangkitan Islam ajaran Muhammad kembali buat memperdalam selidiknya tentang Islam…..”. (Prof. Dr. Hamka, Pelajaran Agama Islam, Cet. I : 199; Ibid )
Baik pula dikemukakan disini, Ahmadiyah menganut suatu kepercayaan pokok: segala kepercayaan yang bertentangan dengan ajaran tauhid, atau kepercayaan yang dapat menyentuh kehormatan dan nama baik Rasulullah
SAW., oleh Ahmadiyah tidak diterima, dan tidak mungkin di anut. Sebabnya, ialah: dasar aqidah Ahmadiyah adalah Tauhid Ilahi yang murni dan keagungan serta kemuliaan Rasulullah SAW,.
Semua orang Islam sepakat, Rasulullah SAW., adalah Khaataman-Nabiyyiin, karena Allah menamakan beliau demikian. Namun mengenai makna dan pengertian Khaataman-Nabiyyiin itu, tafsirnya terdapat perbedaan antara
Ahmadiyah dan ulama lainnya. Ahmadiyah memandang Rasulullah SAW., sebagai Khaataman-Nabiyyiin dengan kedudukan yang paling luhur dan afdhal dalam segala hal. Ahmadiyah tidak melihat suatu kelebihan dalam arti
penutup atau penghabisan dari segi masa dan waktu. Rasulullah SAW., di pandang oleh Ahmadiyah sebagai Khaataman-Nabiyyiin dengan pengertian martabat yang paling luhur yang beliau miliki itu, melebihi siapa pun juga.
(Lihat, Al-Qaul al-Sharih, 1961:170). ***
Kesimpulan:
Dari uraian terdahulu dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1) Dari kehidupan yang lurus dan penuh cinta pada Islam, Pendiri Jemaat Ahmadiyah di akui oleh pengikutnya sebagai Mahdi dan Masih yang dijanjikan Rasulullah SAW., setelah Pendiri Ahmadiyah itu menyatakan
pengakuannya sebagai Mahdi dan Masih dengan pangkat nabi yang tidak membawa syariat baru. Ia menjalankan syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW,.
2) Pendiri Jemaat Ahmadiyah telah banyak berbuat untuk mempertahankan kehormatan Islam dan Nabinya, Muhammad Rasulullah SAW., diantaranya nampak dari karya tulisnya yang banyak dan diakui oleh kalangan lain.
3) Nabi yang tidak membawa syari ’at baru setelah Nabi Muhammad SAW., dapat terjadi dan ini bukan sekedar pendirian Ahmadiyah, tetapi juga kalangan umat Islam yang lain.
4) Ahmadiyah berkeyakinan, kepercayaannya adalah kepercayaan Islam, berdasarkan Al-Quran, Al-Sunnah, dan Al-Hadits. Dan kemenangan Islam akan terjadi melalui ilmu, akhlak karimah dan secara damai.
5) Perbedaan pemahaman dan penafsiran tentang masalah agama, tidak perlu membawa umat Islam saling mengkafirkan. Banyak petunjuk dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW., agar umat Islam saling hormat
menghormati, meskipun mempunyai pemahaman keagamaan yang berbeda.***
Penulis: Ali Abu Bakr Basalamah, Muslim Ahmadi asal Purwokerto, Jateng yang menjadi dosen IAIN Jogjakarta
Penyunting: (SYAEFUL ‘UYUN)
Makassar, 02 Oktober 2005
*) Makalah ini disampaikan dalam Debat Publik bertema: AHMADIYAH, PATUTKAH DISALAHKAN?, yang di selenggarakan oleh LDK-LDM dan FKI-K Universitas Muslim Indonesia, Minggu 02 Oktober 2005, di Auditorium Al Jibra
Kampus II UMI, Makassar.
**) Penyunting adalah Mubaligh Ahmadiyah untuk Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, tinggal di Makassar


.

PALING DIMINATI

Back To Top