Bismillahirrohmaanirrohiim

Sejarah Kemunculan Tasawuf

Menurut al-Dzahabi (1987: 23), istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2 Hijriyah, tepatnya tahun 150 H. Orang  pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini  kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu Hasyim al-Kufi, tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di dunia Islam pada awal abad ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang masihi asal Persia. Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan  dari-Nya. Adapun tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini  kemudian menjadi suatu asas  dalam  perkembangan  tasawuf  di  dunia  Islam   (Al-Taftazani,  1979:  72). Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), al- Muhasibi (w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).

Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada  abad  ke-4  H  dengan  sistem  ajaran  yang  semakin  mapan.  Belakangan,  al- Ghazali menegaskan tasawuf atau hubbullah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan yang memiliki  kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam. Pada abad ke-4 dan ke-5 hijriyah  inilah konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para fuqaha’. Umumnya, kaum sufi  dengan berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang dikembangkannya   dipandang   oleh    para    fuqaha’   sebagai   kafir,   zindiq   dan menyelisihi aturan-aturan syari’at. Konflik ini terus berlanjut pada abad berikutnya, terlebih  lagi  ketika  corak  falsafi  masuk  dalam  tradisi  keilmuan  tasawuf  dengan tokoh-tokohnya seperti Ibn al-’Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad ke-7 H .

Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam dunia  tasawuf, yaitu antara tasawuf ‘amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis). Tasawuf  praktis  atau  yang  disebut  juga  tasawuf  sunni  atau  akhlaki  merupakan bentuk tasawuf  yang memagari diri dengan al-Qur’an dan al-Hadith secara ketat dengan penekanan pada aspek amalan dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat.

Sedangkan   tasawuf   teoritis   atau   juga   disebut   tasawuf   falsafi13     cenderung menekankan  pada  aspek  pemikiran  metafisik  dengan  memadukan  antara  filsafat dengan  ketasawufan  (Shihab, 2001: 120). Di antara tokoh yang dianggap sebagai pembela tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M), al-Junaid (w. 298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu Talib al-Makki (386/996), Abu al-Qasim Ab al-Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan alGhazali (505/1112). Sedangkan tokoh yang sering  disebut  sebagai  penganut  tasawuf  falsafi  adalah  Abu  Yazid  al-Bustami (261/875), al-Hallaj  (309/992), al-Hamadani (525/1131),  al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn ‘Arabi14.

Secara  mendasar  kemunculan  pemikiran  tasawuf  adalah  sebagai  reaksi terhadap  kemewahan hidup dan ketidakpastian  nilai  (Al-Afifi,  1989:  20). Tetapi secara  umum tasawuf pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur pemikiran: (1) gagasan tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap kehidupan  urban  dan   kemewahan;  (2)  masuknya  gnostisisme  Helenisme  yang mendukung  corak  kehidupan   pertapaan  daripada  aktif  di  masyarakat;  dan  (3) masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi penghormatan pada sikap anti- dunia dan sarat dengan kehidupan asketisme. Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf: (1) pembinaan aspek moral; (2) ma’rifatullah melalui metode kasyf al-hijab dan (3) bahasan  tentang  sistem  pengenalan  dan  hubungan  kedekatan  antara  Tuhan  dan makhluk. Konsep kedekatan dalam hal ini dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya
dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah Tuhan (Al-Afifi, 1989: 20).

Dari segi  sejarah,  sufisme  sebenarnya  dapat  dibaca  dalam  2  tingkat:  (1) sufisme   sebagai  semangat  atau  jiwa  yang  hidup  dalam  dinamika  masyarakat muslim;  (2)  sufisme  yang  tampak  melekat  bersama  masyarakat  melalui  bentuk- bentuk kelembagaan termasuk tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak  semata-mata   berimplikasi  pada  persebaran   syiar  Islam  melainkan  juga berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat yang dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan fenomena kemewahan tersebut  muncul  reaksi dari beberapa sahabat seperti Abu Dzar al-Ghifari, Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah bin  ‘Umar sebagai bentuk “protes” dari perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah.

Disintegrasi  sosial  yang  parah  mempengaruhi  umat  mencari  pedoman doktrinal yang mampu memberi mereka ketenangan jiwa dan sekaligus memberi kesadaran yang mengukuhkan ikatan yang damai sesame muslim di antara mereka (Effendi, 1993: 34). Secara garis besar perkembangan tarekat dapat dibaca melalui tiga  tahapan  berikut:  (1)  khanaqah,  yakni  terbentuknya  komunitas  syaikh-murid dalam aturan yang belum ketat untuk melakukan disiplin-disiplin spiritual tertentu. Gerakan  yang  bercorak  aristokratis  ini  berkembang  sekitar  abad  ke-10  M;  (2) tariqah,  yakni  perkembangan  lebih  lanjut  di  abad  berikutnya  dimana  formulasi ajaran-ajaran, peraturan dan metode-metode  ketasawufan  mulai terbentuk mapan; (3)  taifa,  yakni  masa  persebaran  ajaran  dan  pengikut  dari  suatu  tarekat  yang melestarikan ajaran syaikh tertentu (Effendi, 1993: 67).

Tarekat  adalah  lembaga  tempat  berhimpunnya  orang-orang  yang  melalui ikatan  hirarkis tertentu sebagai murshid-murid, menjalani disiplin-disiplin spiritual tertentu   untuk   menemukan   kejernihan   jiwa   dan   hati.   Varian   tarekat   dapat disejajarkan  sebagai   mazhab  dalam  bidang  tasawuf  sebagaimana  muncul  pula varian-varian mazhabi dalam bidang pemikiran kalam dan fikih.


.

PALING DIMINATI

Back To Top