Bismillahirrohmaanirrohiim

Kajian Tafsir Ayat Penting

---

Kajian Tafsir :

 >>Zainal Wong Wongan
 
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به والمنخنقة والموقوذة والمتردية والنطيحة وما أكل السبع إلا ما ذكيتم وما ذبح على النصب وأن تستقسموا بالأزلام ذلكم فسق اليوم يئس الذين كفروا من دينكم فلا تخشوهم واخشون اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا فمن اضطر في مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور رحيم

inilah komplitnya ayat yg sering di penggal oleh sebagian oknum demi untuk mencapai secara paksa doktrin2 yg menjadi ideologinya.

Okelah saya ajukan 3 pertanyaan saja:

1. Apa perbedaan arti menyeluruh Kalimat Akmaltu dan Atmamtu yg sama2 di maknai "Telah aku sempurnakan.

2. Apa yg di maksud "Ni,maty" dalam ayat tersebut?

3. Kalimat "Lakum" Khithob kepada siapa

 
secara tafsir Akmaltu adalah:

بالنصر والإظهار على الأديان كلها ، أو بالتنصيص على قواعد العقائد ، والتوقيف على أحوال الشرائع وقوانين الاجتهاد


 
اليوم أكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا
Artinya: pada hari ini sudah aku lengkapkan bagimu agamamu, dan aku sempurnakan atasmu ni’mat dariku serta aku restui bagimu islam sabagai agama (q. s Al- Mua’idah 53)

Berdasar atas ayat ini kiranya dapat dimengerti bahwa yang tersedia bagi umat islam berkena’an dengan agamanya tidak perlu lagi berijtihad yang mengakibatkan perbedaan pendapat karena sebagaimana ditegaskan dalam ayat diatas segala sesuatu yang berkenaan dengan agama sudah disempurnakan adanya atau dengan bahasa kita. Agama sudah (sempurna) dan paripurna. Selain dinyatakan dalam surat Al-Ma’idah tadi dalam ayat lain juga disebutkan bahwa dalam Al-Qur’an tersedia penjelasan untuk segala hal.

ونزلنا عليك الكتاب تبينا لكل شيئ
Artinya: dan kami turunkan kepadamu al-qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu (Q.s Al-Nahi Ayat 89 juz 14)

Untuk melepaskan diri dari pertanyaan yang dikatomis tadi ada hal yang dapat kita sepakati:

1. kesempurnaan Al-Qur’an sebagaimana ditegaskan diatas bukanlah tatanan texnis yang bersifat detail, terperinci dan juz’iyahnya melainkan tatanan yang prensifil dan foundamental.

2. ajaran-ajaran prinsipil yang dimaksud dalam al-qur’an selaku kitab suci agama adalah sepiritualitas dan moral ajaran mana yang baik dan yang buruk untuk kehidupan manusia sebagai hamba allah yang beraqal budi sebagai acuan moral dan etika yang bersifat dasariyah. Al-Qur’an sepenuhnya sempurna tidak kurang satu apa. Adapun yang muncul dalam manusia yang dinamis dan terus berubah bisa dicarikan jawabannya dari sudut moral dengan mengembalikan pada ajaran Al-Qur’an yang prinsipil tadi inilah yang dimaksud dengan Al-Qur’an merupakan kitab yang sempurna yang menjelaskan segala hal. Jadi jangan ssekali-kali kita bayangkan bahwa kesempurnaan Al-Qur’an terus dibuktikan dalam kemampuannya menjawab pertanyaan juz’iyah apalagi yang bersifat texnis operasional
 
 
Lagi pula penjelasan moral atau etika yang tersedia tidak selalu terapan pada semua kasus etika yang terjadi dalam kehidupan kita, karena Al-Qur’an bukan kamus Ensiklopedia sehingga untuk menagkap petunjuk Al-Qur’an atas persoaan-persoalan etika yang kita hadapi dalam kehidupan nyata terlebih dulu kita mengenal prinsip-prinsip universal yang dicanangkannya. Ikhtiyar menyambungkan prinsip ajaran yang bersifat universal pada kasus-kasus kehidupan yang juz’iyah itulah disebut ijtihad yang terus dipukul dengan ketajaman nalar dan kejujuran hati manusia sebagai hambanya. Dan hasil ijtihad (sebagai proses intlektual untuk menurunkan ketentuan Universal pada kasus-kasus yang bersifat partikular sekaligus kerangka texnis operasional nya) itulah yang disebut fiqh. Seringnya terjadi perbedaan pendapat para intlektual tersebut karena dipengaruhi beberapa faktor .

a. Ajaran agama yang dicanangkan dalam Al-Qur’an atau Al-Hadits ada yang qoth’i ajaran yang bersifat prinsip dan absolut dan tidak dapat ditawar lagi sebagaimana kewajiban Sholat sewaktu puasa Rhomadlon dan lain-lainnya. Dalam hal ini tidak mungkin ajaran yang bersifat juziyah (Partikular) dan oprasional yang masih mungkin di interpretasikan denagn berbagai ma’na contoh dalam ayat Al-Qur’an disebutkan:

حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير " الأية" (المائدة أية 3)

Dalam ayat ini jelas sekali alloh mengharomkan darah dan daging babi namun tidak jelas dari berbagai hal:

Pertama: apa arti maitah itu sendiri sehingga terjadi perbedaan apa tulang dan bulu itu termasuk bagian maitah sebagaimana yang dikemukakan pendapat Syafi’I atau bukan? Sebagaimana pendapat hanafi atau tulang tergolong maitah sedangkan rambut bukan maitah, perbedaan ini muncul karna perbedaan tentang apa itu arti hidup? Imam Syafi’i berpendapat bahwa hidup adalah berkembang dan menerima makanan lain halnya dengan imam hanafi beliau berpendapat bahwa yang dikatakan hidup adalah anggota yang dapat merasakan sesuatu, demikian pula dengan imam malik hanya saja beliau berpendapat tulang dapat merasakan sesuatu.

Setelah mereka sepakat bahawa rambut yang terlepas dari hayawan yang halal untuk dimakan dagingnya ketika masih hidup tergolong barang yang suci setelah ia sepakat bahwa setiap sesuatu yang lepas dari hayawan yang masih hidup adalah maitah, karena ada suatu hadits:

ما قطع من البهيمة وهي حية فهو ميتة

Artinya : sesuatu yang lepas dari hayawan yang hidup termasuk dari pada bangkai

Kedua : mengenai sesuatu yang lepas dari hayawan yang masih hidup termasuk bangkai apakah khusus apa segala penggunaan karna kata-kata hewan hanya hanya berlaku pada kata kerja bukan kata benda.
Yang ketiga : bangkai apa saja yang diharomkan?
Contoh lagi dalam kitab al-Qur’an disana disebutkan :

اذا قمتم الى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وايديكم ......الأية المائدة 6

Dalam ayat ini jelas sekali bahwa orang yang akan melakukan sholat secara ayat disana ada tuntutan untuk melaksanakan wudlu namun kurang jelas dalam berbagai segi :
Segi pertama : apa arti sholat itu sendiri ? dan apakah sholat jenazah termasuk pada sholat yang ada dalam kata sholat yang berada dalam ayat diatas karana dalam sholat jenazah disitu tidak terdapat ruku’ dan sujud, padahal Rosululloh pernah bersabda :

صلوا كما رأيتموني اصلي

Artinya : sholatlah kalian semua sebagaiman kalian mengetahui aku sholat.
Sedangkan sholat yang kita ketahui dari Rosululloh adalah sholat yang ada ruku’ dan sujudnya sebagaiman apa yang telah sitegaskan dalam al-Qur’an :

واركعوا مع الراكعين..... البقرة 43

Demikian halnya sengan masalah thowaf apakah juga harus suci dari hadats karna ada hadits yang diceritakan oleh Imam turmudzi yang mengatakan :

الطواف بالبيت صلاة الا ان الله احل فيه الكلام

Segi kedua : perimtah wudlu’ dalam ayat diatas ini semata-mata hanya menjadi sarana sholat sehingga tidak perlu niyat sebagaimana pendapatnya imam Hanafi, karena berbeda dengan menutup aurot ataukah memang wudlu’ termasuk iabadah yang diperintahkan bukan hanya menjadi sahnya sholat saja terbukti walau masih belum hadats orang akan sholat tetap diperintahkan wudlu’ maka harus niat karena termasuk dalam ayat :

وما امروا الا ليعبد الله مخلصين له الدين.........حنفاء
 
b. Karena berbeda menentukan ajaran qot’i dan dzonni sebagaiman dilakukan satu jama’ah jum’ah dalam satu balad tanpa ada hajad mulai zaman Rosul sampai pada orang-orang yang lemah yang merasa kesulitan untuk mendatangi pada jama’ah tsb. Dan didukung dengan penuh perhatian Rosul pada kaum-kaum yang lemah . Ini berarti hal yang qot’I dan tidak dapat ditawar lagi tapi juga mungkin karena jama’ah Rosul dianjurkan satu jama’ah karena untuk mendengarkan wahyu darinya, sedangkan ada zaman shohabat hanya du hawatirkan adanya fitnah sehingga jika acuab siatas taelah tiada maka tidak ada masalah jum’atan lebih dari pada satu jama’ah, berarti ajaran tersebut dikategorikan dzonni. Demikian pula ada perbedaan penelitiian dzonni dan qot’i adanya imam harus seorang pria.

c. Berbedanya situasi dan kondisi umat sebagaimana yang terjadi dalam menentukan ajaran agama diantara intelektual Hijaz dan intelektual Irak, bagi hijaz telah mempertahankan teks hadits dan fatwa shohabat dan bagi intelektual irak lebih mengedepankan esensi dari pada teks dengan dirasionalkan dan mempertahankan dari pada tujuan syareat, contoh saja dalam hadits

ان في كل اربعين شاة شاة وان صدقة الفطر صاع من تمر او شعي وان من الشاة المصراة بعد اجتلاب لبنها رد معها صاعا من تمر

Intelektual Irak memahami hasits diatas dengan rasional dan disesuaikan dengan tujuan syareat yaitu bagi pemilik 40 kambing harus memberi santunan pada fuqoro’ dengan satu kambing atau yang senilai. Orang yang mengeluarkan zakat fitroh, wajib satu sho’ kurma atau yang senilai, air susu yang telah diperas harus diganti dengan sesamanya atau yang senilai, berbeda dengan intelektual tanah Hijaz mereka memahami teks tersebut dengan apa adanya tanpa meniggalkan syareat oleh karenannya mereka mengharuskan mengeluarkan kambing dan juga khusus dengan sho’, tidak diperbolehkan mengeluarkan dengan nilai dari barang tersebut.

Hal ini dipengaruhi setidaknya tiga hal yaitu :

>>Hadits dan fatwa shohabat yang diterima oleh para intelektual Irak tidaklah sebanyak apa yang diterima oleh para intelektual Hijaz.

>>Situasi dan kondisi di Irak telah tersebar beberapa fitnah karna negara tersebut telah menjadi pangkalan pelarian orang-orang syiah dan khowarij sehingga banyak pemalsuan hadits atau perubahan sehingga sangat perlu adanya selektif yang sangat ketat yang berakibat pada sangat minimnya hadits ynga lulus sensor.

>>Lingkungan di Irak tidak sama dengan lingkungan di Hijaz, ketegasan hukum dan kasus juga tidak sama, karena pemerintah paris telah meninggalkan beberapa adat istiadat dan muamalah yang tidak ada pada tanah Hijaz

4. Karena berbedanya cara memberi pertimbangan pada hadits dan mengedepankan stui riwayat yang lain. Misalnya Abu Hanifah dan para pengikutnya telah membuat dasar hukum dengan hadits mutawatir dan masyhur dan mengedepankan hadits yang tidak diriwayatkan oleh para intelektual agama, oleh karenya Abu yusuf berkata :

وعليك بما عليه جماعة من الحديث وما يعرفه الفقهاء

Artinya : Anda harus mengambil hadits yang telah didukung oleh golongannya ulama’ dan telah diketahui oleh para intelektual agana.

Sedang Imam Malik dan para shohabat dan pengikutnya lebih mengedepankan apa saja yang menjadi keputusannya ahli Madinah dan tidak memakai hadits Ahad yang berbeda dengan keputusan Ahli Madinah. Untuk mujtahid lain telah mengambil hadits ysng diriwayatkan orang-orang adil baik intelektual atau bukan, identik dengan fatwa Ahli Madinah atau tidak. Dari faktor ini kan berkembang bahwa intelektual Irak seperti Abu Hanifah telah membuat keputusan bahwa Hadits Masyhur sama dengan hadits mutawatir ampu mentakhsis dalil al-Qur’an yang masih umum, dan mampu mengqoyidi dalil yang mutlak, berbeda dengan intelektual yang lain.

5. Karena berbeda memberi pertimbangan fatwa shohabat yang hasil dari ijtihad mereka, Abu Hanifah dan santrinya telah menggunakan dasar hukum atas keputusan shohabat walau hasil ijtihad bagi Syafi’I serta pengikutnya menganggap bahwa hasil ijtihad shohabat tidak ma’sum ( ada jaminan kebenaran ) maka perlu ijtihad sendiri walau hasilnya berbeda dengan hasil ijtihadnya shobat.

6. Karena menanggapi dasar-dasar yang timbul karena gramatika ( susunan bahasa ) sebagaimana yang berpendapat bahwa teks dapat dijadikan dasar penetapan dalam dalil mantuq ( bahasa nyata ) dan mengantarkan keputusan dalam dalil mafhum mukolafahnya ( asumsi yang terkandungnya ) sebagian tidaklah demikian, ada yang berpendapat dalil yang masih umum maka qot’I dalam semua yang dimuat, sebagian lain ada yang berpendapat dzonni ( dugaan ) dan jika ada amar mutlaq berarti menunjukkan dasar hukum wajib kecuali ada dalil yang merubahnya, sebagian malah justru sebaliknya masih banyak. Masih banyak lagi fakyor-faktor yang mengakibatkan berbeda oendapat yang tidak mungkin disebutkan disini dengan keseluruhan.
 
Dari sudut asbabun Nuzul juga tafsir ulama sebagai berikut :

{ اليوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } يعني أتممت لكم شرائع دينكم ، وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم حيث كان بمكة لم يكن إلا فريضة الصلاة وحدها ، فلما قدم المدينة أنزل الله الحلال والحرام ، فنزلت هذه الآية { اليوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } يعني دينكم ، حلالكم وحرامكم . وروى حماد بن سلمة عن عمار بن أبي عمار عن ابن عباس ، أنه قرأ { اليوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } فقال له يهودي : لو نزلت هذه الآية علينا لاتخذنا ذلك اليوم عيداً . فقال ابن عباس فإنها نزلت في يوم عيدين يوم الجمعة ، ويوم عرفة .
قال الفقيه : حدّثنا الخليل بن أحمد ، قال : حدّثنا ابن صاعد ، قال : حدّثنا يعقوب بن إبراهيم الدورقي ، حدّثنا عبد الرحمن بن مهدي ، عن سفيان ، عن قيس بن مسلم ، عن طارق أن اليهود قالوا لعمر بن الخطاب : إنكم لتقرؤون آية لو نزلت فينا لاتخذنا ذلك اليوم عيداً { اليوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } . فقال عمر : إني لأعلم حيث نزلت ، وفي أي يوم نزلت ، أنزلت بيوم عرفة ورسول الله صلى الله عليه وسلم واقف بعرفة . فإن قيل : في ظاهر هذه الآية دليل أن الدّين يزيد حيث قال { اليوم أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } . قيل له : ليس فيها دليل ، لأنه أخبر أنه أكمل في ذلك اليوم ، وليس فيها دليل أنه لم يكمل قبل ذلك . ألا ترى أنه قال في سياق الآية { وَرَضِيتُ لَكُمُ الأسلام دِيناً } ليس فيه دليل أنه لم يرض قبل ذلك ، ولكن معناه أنه قد أظهر وقرر ، كما جاء في الخبر أن رجلاً أعتق ستة أعبد له في مرضه ، فأعتق رسول الله صلى الله عليه وسلم اثنين منهم يعني أظهر عتقهما ، وقرر ولم يرد به الابتداء وقال مجاهد : معناه اليوم أتممت لكم ظهور دينكم وغلبة دينكم ونصرته . وقال قتادة : معناه أخلص لكم دينكم .
ثم قال : { وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى } يعني منتي ، فلم يحج معكم مشرك { وَرَضِيتُ } يعني اخترت { لَكُمُ الأسلام دِيناً } وروي في الخبر أن النبي صلى الله عليه وسلم عاش بعد نزول هذه الآية إحدى وثمانين ليلة ، ثم مضى لسبيله صلوات الله عليه . وقال الزجاج : { اليوم } صار نصباً للظرف ، ومعناه اليوم أكملت لكم دينكم . وقال معاذ بن جبل : النعمة لا تكون إلا بعد دخول الجنة ، فصار كأنه قال : رضيت لكم الجنة لأنه لا تكون النعمة تماماً حتى يضع قدميه فيها


 
TAFSIR SuraT an-Najm ayat 39 ( وَاَنْ لَيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعَى (النجم: ٣٩ 
Oleh : Mbah Jenggot (Admin)
“Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”(QS,an-Najm:39)

1. Syekh Sulaiman bin Umar Al-‘Ajili menjelaskan

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ هَذَا مَنْسُوْخُ الْحُكْمِ فِي هَذِهِ الشَّرِيْعَةِ أَيْ وَإِنَّمَا هُوَ فِي صُحُفِ مُوْسَى وَاِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِمَا السَّلاَمِ بِقَوْلِهِ “وَأَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِيَّتَهُمْ” فَأُدْخِلَ اْلأَبْنَاءُ فِي اْلجَنَّةِ بِصَلَاحِ اْللأَبَاءِ. وَقَالَ عِكْرِمَةُ إِنَّ ذَلِكَ لِقَوْمِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى عَلَيْهِمَا السَّلَامُ وَأَمَّا هَذِهِ اْلأُمَّةُ فَلَهُمْ مَا سَعَوْا وَمَا سَعَى لَهُمُ غَيْرُهُمْ (الفتوحات الإلهية,٤.٢٣٦)

“Ibnu Abbas berkata bahwa hukum ayat tersebut telah di-mansukh atau diganti dalam syari’at Nabi Muhammad SAW. Hukumnya hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS, kemudian untuk umat Nabi Muhammad SAW kandungan QS. Al-Najm 39 tersebut dihapus dengan firman Allah SWT وَأَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِيَّتَهُمْ Ayat ini menyatakan bahwa seorang anak dapat masuk surga karena amal baik ayahnya. Ikrimah mengatakan bahwa tidak sampainya pahala (yang dihadiahkan) hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS. Sedangkan untuk umat Nabi Muhammad SAW mereka dapat menerima pahala amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikan orang lain” (Al-Futuhat Al-Ilahiyyah, Juz IV, hal 236)

2. Menurut Mufti Mesir Syekh Hasanain Muhammad Makhluf :

وَأَمَّا قَوْلُهُ تَعَلَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ اِلاً مَاسَعَى فَهُوَ مُقَيًدٌ بِمَا إِذَالَمْ يَهَبِ الْعَامِلُ ثَوَابَ عَمَلِهِ لِغَيْرِهِ وَمَعْنىَ ألْاَيَةِ أَنًهُ لَيْسَ يَنْفَعُ الْإِنْسَانَ فِي الْأَخِرَةِ إِلًا مَا عَمِلَهُ فِي الدُّنْيَا مَالَمْ يَعْمَلْ لَهُ غَيْرُهُ عَمَلًا وَيَهَبَهُ لَه فَاِّنَهُ يَنْفَعُهُ كَذَلِكَ (حكم الشريعة الإسلامية في مأتم الأربعين : ٢٣-٢٤ )

“Firman Allah SWT وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ اِلاً مَاسَعَى perlu diberi batasan, yaitu jika orang yang melakukan perbuatan baik itu tidak menghadiahkan pahalanya kepada orang lain. Maksud ayat tersebut adalah, bahwa amal seseorang tidak akan bermanfaat di akhirat kecuali pekerjaan yang telah dilakukan di dunia bila tidak ada orang lain yang menghadiahkan amalnya kepada si mayit. Apabila ada orang yang mengirimkan ibadah kepadanya, maka pahala amal itu akan sampai kepada orang yang meninggal dunia tersebut” (Hukm Al-Syari’ah Al-Islamiyah fi Ma’tam Al-Arbai’n, 23-24)

3. Menurut Syekh Muhammad Al-Arabi:

أُرِيْدُ اْلِإنْسَانُ اْلكَافِرُ وَأَمَّا اْلمُؤْمِنُ فَلَهُ مَاسَعَى أَخُوْهُ (اسعاف المسلمين والمسامات,٤٧)

“Yang dimaksud dengan kata “al-insan” ialah orang kafir. Sedangkan manusia yang beriman, dia dapat menerima usaha orang lain. (Is’af Al-Muslimin wa Al-Muslimat, 47).

Di antara sekian banyak tafsir QS. Al-Najm, 39 yang paling mudah dipahami, sekaligus dapat dijadikan landasan yang kuat untuk tidak mempertentangkan antara ayat dan hadits yang tegas menjelaskan bahwa seseorang yang meninggal dunia dapat menerima manfaat dari amalan orang yang hidup, adalah tafsir dari Abi Al-Wafa’ Ibnu ‘Aqil Al-Baghdadi Al-Hanbali (431-531 H) sebagai berikut:

اَلْجَوَابُ الْجَيِّدُ عِنْدِيْ أَنْ يُقَالَ أَلْإِنْسَانُ بِسَعْيِهِ وَحُسْنِ عُشْرَتِهِ إِكْتَسَبَ اَلْأَصْدِقَاءَ وَأَوْلَدَ اْلأَوْلَادَ وَنَكَحَ اْلأَزْوَاجَ وَأَسْدَى اْلخَيْرَوَتَوَدَّدَ إِلَى النَّاسِ فَتَرَحَّمُوْا عَلَيْهِ وَأَهْدَوْا لَهُ اْلعِبَادَاتِ وَكَانَ ذَلِكَ أَثَرُسَعْيِهِ (الروح, صحيفه: ١٤٥)

“Jawaban yang paling baik menurut saya, bahwa manusia dengan usahanya sendiri, dan juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik, serta menyintai sesama. Maka, semua teman-teman, keturunan dan keluarganya tentu akan menyayanginya kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika telah meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya merupakan hasil usahanya sendiri.” (Al-Ruh, 145).
Dr. Muhammad Bakar Ismail, seorang ahli fiqh kontemporer dari Mesir menjelaskan:

وَلَا يَتَنَافَى هَذَا مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى فِى سُوْرَةِ النَّجْمِ وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّمَاسَعَى فَإِنَّ هَذَا التَّطَوُّعَ يُعَدُّ مِنْ قَبِيْلِ سَعْيِهِ فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ بَارًا بِهِمْ فِى حَيَاتِهِ مَا تَرَحَّمُوْا عَلَيْهَ وَلَاتَطَوَّعُوْا مِنْ أَجْلِهِ فَهُوَ فِى الْحَقِيْقَةِ ثَمْرَةٌ مِنْ ثِمَارِ بِرِّهِ وَإِحْسَانِهِ (الفقه الوضح,ج: ١,ص: ٤٤٩)

“Menghadiah pahala kepada orang yang telah mati itu tidak bertentangan dengan ayat وان ليس للإنسا الإماسعى karena pada hakikatnya pahala yang dikirimkan kepada ahli kubur dimaksud merupakan bagian dari usahanya sendiri. Seandainya ia tidak berbuat baik ketika masih hidup, tentu tidak akan ada orang yang mengasihi dan menghadiahkan pahala untuknya. Karena itu sejatinya, apa yang dilakukan orang lain untuk orang yang telah meninggal dunia tersebut merupakan buah dari perbuatan baik yang dilakukan si mayit semasa hidupnya.” (Al-Fiqh Al-Wadlih, juz I, hal 449).

Dari penjelasan para ulama ahli tafsir di atas jelaslah bahwa QS. Al-Najm ayat 39 bukanlah dalil yang menjelaskan tentang tidak sampainya pahala kepada orang yang sudah meninggal, QS. Al-Najm ayat 39 tersebut bukanlah ayat yang melarang kita untuk mengirim pahala, do’a, shodaqoh kepada orang yang telah meninggal.
Oleh : Mbah Jenggot (Admin)

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Allah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ( سورة الشورى : 11 )

“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11)

Penjelasan:
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur'an yang berbicara tentang tanzih (mensucikan Allah dari menyerupai makhluk), at-Tanzih al Kulliy; pensucian yang total dari menyerupai makhluk. Jadi maknanya sangat luas, dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Allah maha suci dari berupa benda, dari berada pada satu arah atau banyak arah atau semua arah. Allah maha suci dari berada di atas arsy, di bawah arsy, sebelah kanan atau sebelah kiri arsy. Allah juga maha suci dari sifat-sifat benda seperti bergerak, diam, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain dan sifat-sifat benda yang lain.
Al-Imam Abu Hanifah berkata:

أنـّى يُشْبِهُ الْخَالِقُ مَخْلُوْقَـهُ
"Mustahil Allah menyerupai makhluk-Nya".
Dengan demikian Allah tidak menyerupai makhluk-Nya, dari satu segi maupun semua segi. Al-Imam Malik berkata:

وَكَيْفَ عَنْهُ مَرْفُوْعٌ

"Kayfa ( bagaimana; sifat-sifat benda) itu mustahil bagi Allah".
Perkataan al-Imam Malik ini diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Bayhaqi dengan sanad yang kuat. Maksud perkataan al-Imam Malik ini adalah bahwa Allah maha suci dari al Kayf (sifat makhluk) sama sekali. Definisi al Kayf adalah segala sesuatu yang merupakan sifat makhluk seperti duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak dan lain–lain.

الْمَحْدُوْدُ عِنْدَ عُلَمَاءِ التّوْحِيْدِ مَا لَهُ حَجْمٌ صَغِيْرًا كَانَ أوْ كَبِيْرًا، وَالْحَدُّ عِنْدَهُمْ هُوَ الْحَجْمُ إنْ كَانَ صَغِيْرًا وَإنْ كَانَ كَبِيْرًا، الذَّرَّةُ مَحْدُوْدَةٌ وَاْلعَرْشُ مَحْدُوْدٌ وَالنُّوْرُ وَالظَّلاَمُ وَالرِّيْحُ كُلٌّ مَحْدُوْدٌ.

"Menurut ulama tauhid yang dimaksud dengan al-mahdud (sesuatu yang berukuran) adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil maupun besar. Sedangkan pengertian al-hadd (batasan) menurut mereka adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah (sesuatu yang terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela) mempunyai ukuran dan disebut Mahdud demikian juga arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing mempunyai ukuran dan disebut Mahdud ".

Penjelasan:
Allah berfirman:
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ (سورة الأنعام : 1)

"Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menjadikan kegelapan dan cahaya" (QS. al An'am : 1).
Dalam ayat ini Allah ta'ala menyebutkan langit dan bumi, keduanya termasuk benda yang dapat dipegang oleh tangan (Katsif). Allah juga menyebutkan kegelapan dan cahaya, keduanya termasuk benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan (Lathif). Ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa pada Azal (keberadaan tanpa permulaan) tidak ada sesuatupun selain Allah, baik itu benda katsif maupun benda lathif. Dan ini berarti bahwa Allah tidak menyerupai benda lathif maupun benda katsif.
Allah ta'ala menciptakan alam ini terbagi menjadi dua bagian: benda dan sifat benda. Benda terbagi menjadi dua: Pertama: benda katsif yaitu benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti pohon, manusia, air dan api. Kedua: Benda Lathif, yaitu benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan seperti cahaya, kegelapan, ruh, udara.
Masing-masing benda memiliki batas, ukuran, dan bentuk, Allah berfirman:

وَكُلُّ شَىْءٍ عِندَهُ بِمِقْدَارٍ ( سورة الرعد : 8 )

"Segala sesuatu bagi Allah memiliki ukuran (yang telah ditentukan)" (QS. ar-Ra'd: 8)
Bahwa benda katsif memiliki ukuran adalah hal yang sudah jelas. Sedangkan mengenai bahwa benda lathif memiliki ukuran adalah sesuatu yang memerlukan pengamatan dan penelitian yang seksama. Cahaya misalnya memiliki tempat dan ruang kosong yang diisi olehnya, cahaya matahari menyebar ke areal/jarak yang sangat luas yang diketahui oleh Allah, ukurannya sangat luas. Sementara cahaya lilin ukurannya sangat kecil. Cahaya kunang–kunang yang berjalan di rerumputan di malam hari, Allah jadikan cahayanya sekecil itu. Cahaya yang paling luas adalah cahaya surga. Jadi masing-masing cahaya tersebut memiliki batas dan ukuran yang membatasinya. Kegelapan juga memiliki ukuran dan ruang kosong yang diisi olehnya. Kadang tempat kegelapan tersebut sempit dan kadang luas. Demikian juga angin memiliki tempat yang diisi olehnya. Para Malaikat diperintahkan oleh Allah untuk menimbangnya dan mengirimkannya sesuai dengan perintah dan ketentuan Allah. Ada angin yang dingin, angin yang panas. Ada angin yang Allah kirimkan untuk menghancurkan suatu kaum, begitu juga ada angin yang dikirimkan sebagai rahmat. Jadi masing-masing angin tersebut memiliki timbangan yang telah ditentukan oleh Allah. Demikian juga, ruh memiliki ukuran. Ketika ruh berada pada tubuh manusia, ruh berukuran sama dengan badan orang tersebut dan ketika ruh berpisah, meninggalkan badan seseorang ia bertempat di udara tanpa menyatu dengan jasadnya. Kesimpulannya; setiap makhluk pasti memiliki tempat, baik tempat yang besar maupun yang kecil.
Benda paling kecil yang diciptakan oleh Allah dan bisa dilihat oleh mata adalah haba'. Haba' adalah sesuatu yang kecil yang terlihat apabila sinar matahari masuk ke dalam rumah dari jendela, nampak seperti debu yang kelihatan oleh mata, benda ini disebut haba'. Memang masih ada lagi benda yang lebih kecil dari haba', yang bahkan tidak dapat dilihat oleh mata karena sangat kecilnya, walaupun demikian tetap saja benda tersebut memiliki bentuk yaitu bentuk yang paling kecil yang diciptakan oleh Allah yang disebut dalam istilah tauhid al-Jawhar al-Fard; bagian yang tidak bisa dibagi-bagi lagi. Al-Jawhar al-Fard adalah benda yang paling kecil yang diciptakan oleh Allah, al-Jawhar al-Fard adalah asal bagi semua benda.
Semua benda ini memilki batas dan ukuran dan karenanya membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut, dan dengan begitu benda tidak sah menjadi tuhan. Ketuhanan hanya sah berlaku bagi yang tidak memiliki ukuran sama sekali, yaitu Allah yang maha suci dari status Mahdud (Allah tidak memiliki batas dan ukuran). Makna Mahdud di sini tidak hanya berlaku bagi sesuatu yang memiliki bentuk kecil saja akan tetapi sesuatu yang memiliki bentuk yang besar juga disebut Mahdud.
Sedangkan al-A'radl adalah sifat benda seperti bergerak, diam, warna, rasa dan lain–lain. Jadi di antara sifat benda adalah bergerak dan diam, sebagian benda terus-menerus bergerak, yaitu bintang, bahkan an-Najm al-Quthbi (bintang yang bisa menunjukkan arah kiblat) sekalipun bergerak, hanya saja gerakannya pelan dan bergerak di tempatnya. Sebagian benda lagi ada yang terus–menerus diam seperti tujuh langit yang ada. Sebagian benda lagi kadang diam dan kadang bergerak seperti manusia, malaikat, jin dan binatang.
Termasuk di antara sifat benda juga adalah berwarna kadang sesuatu berwarna putih, ada yang berwarna merah, kuning atau hijau. Matahari juga memiliki sifat, di antara sifatnya adalah panas. Angin juga memiliki sifat di antara sifatnya adalah dingin, panas, berhembus dengan kuat atau pelan.
Jadi Allah ta'ala yang menciptakan alam ini dengan berbagai macam jenis dan bentuknya, maka Dia tidak menyerupainya, dari satu segi maupun semua segi. Allah ta'ala tidak menyerupai benda katsif maupun benda lathif dan juga tidak bersifat dengan sifat–sifat benda, Allah tidak menyerupai satupun dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya, oleh karena itu Ahlussunnah mengatakan:

اللهُ مَوْجُوْدٌ بِلاَ مَكَانٍ وَلاَ جِهَةٍ

"Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah".
Allah menjadikan arah atas sebagai tempat bagi arsy dan para Malaikat yang mengelilinginya dan juga sebagai tempat bagi al-Lauh al-Mahfuzh dan lain-lain. Allah menjadikan manusia, binatang, serangga dan lain-lain bertempat di arah bawah. Jadi Dzat yang menciptakan sebagian makhluk bertempat di arah arsy dan sebagian yang lain di arah bawah mustahil bagi-Nya memiliki arah. Karena seandainya dikatakan dia berada di salah satu arah atau bertempat di semua arah niscaya akan ada banyak serupa bagi-Nya, padahal Allah telah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ( سورة الشورى : 11 )

"Tidak ada satupun yang menyerupai-Nya". Inilah aqidah yang diyakini oleh semua kaum muslimin di negara-negara muslim; Indonesia, Mesir, Irak, Turki, Maroko, AlJazair, Tunisia, Yaman, Somalia dan daratan Syam, mereka semua dan yang lain di negara-negara lain semua mengajarkan keyakinan ini.
Sedangkan orang yang meyakini bahwa Allah adalah benda yang sama besarnya dengan arsy, memenuhi arsy atau separuh dari arsy atau meyakini bahwa Allah lebih besar dari arsy dari segala arah kecuali arah bawah atau bahwa Allah adalah cahaya yang bersinar gemerlapan atau bahwa Allah adalah benda yang besar dan tidak berpenghabisan atau berbentuk seorang yang muda atau remaja atau orang tua yang beruban, maka semua orang ini tidak mengenal Allah. Mereka tidak menyembah Allah, meskipun mereka mengira diri mereka muslim. Mereka bukanlah orang yang menyembah (beribadah) Allah, yang mereka sembah adalah sesuatu yang mereka bayangkan dan gambarkan dalam diri mereka, sesuatu yang sesungguhnya tidak ada. Musibah mereka yang paling besar adalah bahwa mereka tidak memahami adanya sesuatu yang bukan benda. Oleh karena itu mereka –dengan segenap upaya- berusaha menjadikan Allah benda yang bersifat dengan sifat-sifat benda pula, lalu bagaimana bisa mereka mengaku mengenal dan memahami firman Allah: Laysa Ka Mitsli Syai’ (QS. Asy-Syura: 11) dan beriman kepadanya?!! Seandainya mereka benar-benar mengetahui ayat tersebut dan beriman dengannya niscaya mereka tidak akan menjadikan Allah sebagai benda, karena alam ini seluruhnya adalah benda dan sifat-sifat yang ada padanya.
Seandainya terjadi perdebatan antara orang-orang Musyabbihah (orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) seperti orang Wahhabi -yang meyakini bahwa Allah adalah benda, yang memiliki ukuran- dengan orang yang menyembah matahari. Orang Wahhabi akan mengatakan kepada penyembah matahari: Anda, wahai penyembah matahari, matahari yang engkau sembah ini tidak berhak untuk menjadi tuhan. Penyembah matahari akan menjawab dan berkata kepada orang Wahhabi: bagaimana mungkin matahari tidak berhak untuk disembah, padahal bentuknya indah, manfaatnya sangat besar, anda bisa melihatnya dan saya juga melihatnya dan semua orang melihatnya, semua orang mengetahui dengan baik manfaatnya. Bagaimana mungkin agama saya batil dan agamamu benar, sementara anda menyembah sesuatu yang anda bayangkan dalam diri anda, anda tidak melihatnya dan kami juga tidak melihatnya, anda mengatakan tuhan anda adalah bentuk yang besar yang duduk di atas arsy ?!!.
Orang Wahhabi tidak akan memiliki dalil 'aqli (argumen rasional), seandainya orang Wahhabi mengatakan : al Qur'an telah menegaskan bahwa Allah adalah pencipta alam, Dia-lah yang berhak untuk disembah, tidak ada sesuatu selain-Nya yang berhak untuk disembah. Maka orang yang menyembah matahari tersebut akan mengatakan kepadanya: Saya tidak beriman dengan kitab suci anda, berikan kepada saya dalil 'aqli bahwa matahari tidak berhak untuk dijadikan tuhan yang disembah dan bahwa apa yang anda sembah yang anda bayangkan (dalam benak anda) itu berhak untuk disembah! Maka orang Wahabi akan terdiam dan membisu.
Sedangkan kita, Ahlussunnah memiliki jawaban yang rasional. Kita akan mengatakan kepada penyembah matahari : matahari yang anda sembah, yang mempunyai ukuran tertentu dan bentuk tertentu, pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran dan bentuk tersebut. Sedangkan tuhan kami, Ia adalah sesuatu yang ada tetapi tidak menyerupai segala sesuatu yang ada, tidak menyerupai sesuatupun dari makhlukNya, Dia tidak memiliki ukuran, tidak memiliki bentuk, tidak memiliki arah, tidak memilki tempat dan tidak memiliki permulaan. Inilah Dzat yang ada, yang kami sembah yang dinamakan Allah. Dialah yang berhak untuk disembah. Dia yang menciptakan matahari yang anda sembah, manusia dan segala sesuatu yang lain.
Seorang Sunni; penganut akidah Ahlussunnah ketika mengeluarkan hujjah 'aqli ini tanpa mengatakan: Allah ta'ala berfirman demikian, telah mampu mengalahkan orang kafir yang menyembah matahari tersebut. Maka segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita petunjuk kepada keyakinan yang benar ini, kita tidak akan menemukan kebenaran dan petunjuk semacam ini seandainya tidak karena mendapat petunjuk Allah.

Al-Imam Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- berkata:

مَنْ زَعَمَ أنَّ إِلهَـَنَا مَحْدُوْدٌ فَقَدْ جَهِلَ الْخَالِقَ الْمَعْبُوْدَ (رَوَاه أبُو نُعَيم)

"Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)" (Diriwayatkan oleh Abu Nu'aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 72).

Penjelasan :
Maksud dari perkataan sayyidina Ali ini adalah bahwa orang yang berkeyakinan atau beranggapan bahwa Allah adalah benda yang besar atau kecil maka dia adalah kafir, tidak mengenal Allah, seperti orang yang meyakini bahwa Allah menempati salah satu arah seperti arah atas. Karena dengan keyakinan seperti ini orang tersebut telah menjadikan Allah mahdud (memiliki ukuran), padahal setiap yang mahdud (berukuran besar atau kecil) pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut, sementara yang membutuhkan itu lemah dan yang lemah mustahil menjadi tuhan.
Dengan demikian dalam perkataan sayyidina Ali ini terdapat dalil yang jelas bahwa Allah maha suci dari hadd (ukuran) sama sekali. Maka barangsiapa yang menyandarkan kepada Allah sifat duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak maka sesungguhnya dia tidak mengenal Allah, dan barangsiapa berkeyakinan demikian terhadap Allah maka sesungguhnya ia seorang kafir yang rusak akidahnya.
Haba' memiliki ukuran, semut memiliki ukuran, manusia memiliki ukuran, matahari memiliki ukuran, langit memiliki ukuran, arsy memiliki ukuran. Jadi masing-masing yang disebutkan memiliki ukuran dan membutuhkan kepada yang menjadikannya dengan ukuran tersebut.
Jadi, setiap sesuatu yang memiliki ukuran pasti dia adalah makhluk, yang membutuhkan (kepada selainnya) dan lemah maka tidaklah sah baginya sifat ketuhanan. Ketuhanan hanya sah bagi yang tidak memiliki bentuk dan ukuran; yaitu Dialah Allah yang tidak membutuhkan kepada seluruh alam, Dialah yang tidak mempunyai bentuk dan ukuran.
Al-Imam al-Ghazali (semoga Allah merahmatinya) berkata:

لاَ تَصِحُّ الْعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ

“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.
Artinya barangsiapa yang tidak mengenal Allah dengan menjadikan-Nya memiliki ukuran yang tidak berpenghabisan misalnya maka dia adalah kafir. Dan tidak sah bentuk-bentuk ibadahnya seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya.

Al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi ( 227-321 H) berkata:

تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالغَايَاتِ وَالأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ

"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut".

Penjelasan :
Al-Imam ath-Thahawi adalah Ahmad bin Muhammad bin Sallamah, lahir tahun 227 H. Jadi beliau masuk dalam makna hadits yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam:

خَيْرُ الْقُرُوْنِ قَرْنِي ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ )رَوَاهُ التّرمِذِي(

"Sebaik–baik abad adalah abad-ku, kemudian satu abad setelahnya, kemudian satu abad setelahnya" (HR. at-Tirmidzi)
Al-Imam ath-Thahawi menyebutkan perkataannya tersebut dalam kitab penjelasan aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah, yang kitab ini telah dianggap baik dan diterima oleh seluruh ummat Islam dari generasi ke generasi.
Makna dari “Ta'ala” adalah bahwa Allah maha suci.
Maksud perkataan ath-Thahawi bahwa Allah maha suci dari ”Hudud” adalah bahwa Allah maha suci dari Hadd sama sekali. Hadd adalah benda dan ukuran, besar maupun kecil. Suatu benda pasti berada pada suatu tempat dan arah. Sedangkan Allah maha suci dari berupa benda, berarti Allah ada tanpa tempat. Seandainya Allah adalah benda niscaya akan ada banyak serupa bagi-Nya, padahal Allah ta'ala telah berfirman:

فَلاَ تَضْرِبُوْا لِلّهِ الأمْثَالَ (سورة النحل : 74)

"Janganlah kalian membuat serupa-serupa bagi Allah"(QS. an-Nahl: 74)
Dengan demikian barangsiapa mengatakan bahwa Allah memiliki hadd yang hadd tersebut tidak ketahui oleh kita, hanya Allah saja yang mengetahuinya maka sungguh orang ini adalah seorang yang kafir, karena dengan demikian dia telah menetapkan Allah sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran.
Maksud perkataan ath-Thahawi ”La Tahwihi al-Jihat as-Sittu...” bahwa Allah mustahil berada di salah satu arah atau di semua arah karena Allah ada tanpa tempat dan arah. Enam arah yang dimaksud adalah adalah atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang.
Maksud perkataan ath-Thahawi ”Ka Sa-ir al-Mubtada’at” adalah bahwa semua makhluk diliputi oleh arah, sedangkan Allah tidak menyerupai makhluk-Nya dari satu segi maupun semua segi dan Allah tidak bisa digambaarkan dalam hati dan benak manusia. al-Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan:

مَهْمَا تَصَوَّرْتَ بِبَالِكَ فاللهُ بِخِلاَفِ ذَلِكَ (روَاه أبُو الفَضْلِ التَّمِيْمِيُّ)

"Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu". (Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi).
Jika ada pertanyaan: Bagaimana hal demikian itu bisa terjadi (bahwa ada sesuatu yang ada tetapi tidak bisa dibayangkan dan digambarkan dengan benak)? Jawab: Bahwa di antara makhluk ada yang tidak bisa kita bayangkan akan tetapi kita harus beriman dan meyakini adanya. Yaitu bahwa cahaya dan kegelapan keduanya dulu tidak ada. Tidak ada satupun di antara kita yang bisa membayangkan pada dirinya bagaimana ada suatu waktu atau masa yang berlalu tanpa ada cahaya dan kegelapan di dalamnya?! Meski demikian kita wajib beriman dan meyakini bahwa telah ada suatu masa yang berlalu tanpa dibarengi dengan cahaya dan kegelapan, karena Allah berfirman:

وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنّوْرَ (سورةالأنعام : 1)

"...dan Dia yang telah menjadikan kegelapan dan cahaya" (QS. Al-An'am: 1). Artinya bahwa Allah yang telah menciptakan kegelapan dan cahaya dari yang sebelumnya tidak ada. Jika demikian halnya yang terjadi pada makhluk, maka lebih utama kita beriman dan percaya tentang Allah Yang mengatakan tentang Dzat-Nya: Laysa Kamitslihi Syai’ (QS. Asy-Syura: 11), maka Allah tidak tergambar dalam benak dan tidak diliputi oleh akal, Allah ada, maha suci dari bentuk dan ukura, ada tanpa tempat dan arah.

Al-Imam ath-Thahawi juga berkata:

وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِـي الْبَشَرْ فَقَدْ كَفَرَ

“Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir”.

Penjelasan :
Barangsiapa menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir. Sifat–sifat manusia banyak sekali. Sifat yang paling nyata adalah baharu, yakni ”ada setelah sebelumnya tidak ada”. Di antara sifat manusia juga adalah mati, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain, bergerak, diam, infi'al (merespon peristiwa dengan kegembiraan atau kesedihan atau semacamnya yang nampak dalam raut muka dan gerakan anggota tubuh), turun dari atas ke bawah, naik dari bawah ke atas, berpindah, memiliki warna, bentuk, panjang, pendek, bertempat pada suatu arah dan tempat, membutuhkan, memperoleh pengetahuan yang baru, terkena lupa, bodoh, duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak, berjarak, menempel, berpisah dan lain–lain. Jadi barangsiapa mensifati Allah dengan salah satu sifat manusia tersebut maka dia telah kafir.

Al-Imam Ahmad ar-Rifa'i (W 578 H) dalam al-Burhan al-Mu-ayyad berkata:

صُوْنُوْا عَقَائِدَكُمْ مِنَ التَّمَسُّكِ بِظَاهِرِ مَا تَشَابَهَ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ أُصُوْلِ الْكُفْرِ

“Hindarkan aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir ayat al Qur'an dan hadits yang mutasyabihat, sebab hal demikian merupakan salah satu pangkal kekufuran”.

Penjelasan :
Al-Imam ar-Rifa'i hidup pada abad ke enam hijriyyah, beliau adalah seorang ahli hadits, ahli tafsir, pengikut al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari dalam rumusan aqidah dan pengikut madzhab Syafi'i dalam fiqih. Beliau adalah orang paling mulia dan paling alim di masanya. Beliau sangat menekankan tanzih (mensucikan Allah ta'ala dari menyerupai makhluk). Di antara perkataan beliau dalam masalah tanzih adalah perkataan yang beliau sebutkan dalam kitab al-Burhan al-Muayyad tersebut. Maksud perkataan beliau adalah bahwa orang yang mengambil zhahir sebagian ayat al Qur'an dan hadits Nabi, yang memberikan persangkaan bahwa Allah adalah benda yang bersemayam di atas arsy atau bahwa Allah berada di arah bumi atau bahwa Allah mempunyai anggota badan, bergerak dan yang semacamnya maka orang tersebut telah kafir.
Seperti orang yang menafsirkan ayat:

الرّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5)

dengan duduk maka orang tersebut telah kafir. Karena mengatakan duduk bagi Allah adalah cacian terhadap-Nya sebab duduk adalah sifat malaikat, Jin, manusia, anjing, babi dan monyet. Makna ayat tersebut yang benar adalah bahwa Allah maha menguasai arsy. Makna ini layak bagi Allah karena Allah telah menamakan Dzat-Nya:

اللهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّار (يوسف: 39)

”Allah maha esa lagi maha berkuasa”. Oleh karena itu orang-orang Islam biasa menamakan anak mereka dengan Abdul Qahir atau Abdul Qahhar, tidak ada seorangpun yang menamakan anaknya Abdul Jalis atau Abdul Qa'id.
Demikian pula orang yang mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy dengan ada jarak antara Allah dengan arsy, artinya tanpa menyentuhnya maka tetap saja dia seorang yang kafir. Karena setiap sesuatu yang berada di atas sesuatu yang lain pasti berkemungkinan berukuran sama dengan sesuatu tersebut atau lebih besar atau lebih kecil. Dan segala sesuatu yang menerima ukuran maka dia adalah makhluk, yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut.
Adapun pernyataan sebagian kaum Musyabbihah seperti kaum Wahhabiyah sekarang bahwa Allah berada di atas arsy yang di atas arsy tersebut tidak ada tempat pernyataan ini terbantahkan dengan hadits riwayat al-Bukhari, al-Bayhaqi dan lainnya bahwa Rasulullah bersabda:

إنّ اللهَ لَمَا قَضَى الْخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابٍ فَهُوَ مَوْضُوْعٌ عِنْدَهُ فَوْقَ العَرْشِ إنَّ رَحْمَتِيْ غَلَبَتْ غَضَبِيْ

"Sesungguhnya Allah ketika menciptakan makhluk menciptakan kitab (tulisan) yang terletak di atas arsy dan dimuliakan oleh Allah yang berbunyi sesungguhnya (tanda-tanda) rahmat-Ku lebih banyak dari (tanda-tanda) murka-Ku" (HR. al-Bukhari, al-Bayhaqi dan lainnya)
Dan dalam riwayat Ibnu Hibban dengan redaksi:

وَهُوَ مَرْفُوْعٌ فَوْقَ الْعَرْشِ

"Dan dia arsy terangkat (diletakan) di atas arsy".
Dengan demikian hadits ini adalah dalil bahwa di atas arsy terdapat tempat. Karena bila di atas arsy tidak ada tempat maka tentu Rasulullah tidak akan mengatakan bahwas kitab tersebut diletakkan di atasnya.
Adapun kata “’Indahu” dalam hadits tersebut adalah dalam makna “dimuliakan”, karena penggunaan kata “’Inda” mengandung makna untuk memuliakan, sebagaimana firman Allah tentang orang-orang yang saleh:

وَإنّهُمْ عِنْدَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الأخْيَارِ (ص: 47)

Kata “’Indana…” dalam ayat ini artinya untuk memuliakan bukan untuk menyatakan bahwa Allah berada pada tempat yang bertetanggaan atau bersampingan dengan tempat orang-orang saleh tersebut.
Dengan demikian dalam keyakinan kaum Musyabbihah yang menetapkan Allah bertempat di atas arsy telah menjadikan kitab tersebut di atas sebagai keserupaan bagi-Nya. Ini artinya sama saja mereka telah mendustakan firman Allah: “Laysa Kamitslihi Syai’ (Qs. Asy-Syura: 11).
Demikian juga orang yang memahami firman Allah:

إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ (الآعراف: 54)

dengan menafsirkan bahwa Allah berada pada arah bawah atau arah bumi kemudian naik ke arah atas lalu menciptakan langit, kemudian Dia naik ke arsy lalu bersemayam (bertempat) maka orang ini telah menjadi kafir. Makna ayat yang benar adalah bahwa Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan bahwa Allah sebelum menciptakannya telah menguasai arsy. Kata “tsumma” artinya dalam makna ”wa”; maknanya “dan”. Al-Imam Abu Manshur al-Maturidi berkata: Firman Allah:

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

artinya adalah " sungguh Allah telah menguasai arsy " .
Begitu pula orang yang menafsirkan firman Allah:

فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ (البقرة: 115)

diartikan dengan anggota tubuh atau bahwa Dia berada pada arah bumi maka dia seorang yang kafir. Makna yang benar; Wajhullah adalah Kiblat Allah, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Mujahid; murid dari sahabat Abdullah ibn Abbas.
Demikian pula orang yang memahami firman Allah:

كُلُّ شَيءٍ هَالِكٌ إلاّ وَجْهَهْ (القصص: 88)

dengan mengartikan bahwa alam ini adalah sesuatu maka ia akan punah, begitu pula Allah adalah sesuatu maka Dia akan punah, dan tidak ada sesuatu yang kekal dari Allah kecuali bagian wajah saja maka orang ini dihukumi kafir. Pemahaman buruk seperti ini sebagaimana penafsiran seorang Musyabbih yang bernama Bayan ibn Sam'an at-Tamimi. Adapun makna yang benar dari kata ”Wajhahu..” di atas adalah dalam makna ”kerajaan”, atau dalam makna ”sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allah” sebagaimana takwil ini telah dinyatakan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Sufyan ats-Tsauri.
Demikian juga orang menafsirkan firman Allah tentang perahu Nabi Nuh:

تَجْرِيْ بأعْيُنِنَا (القمر: 14)

dengan anggota tubuh (mata) maka orang tersebut telah kafir. Adapun makna yang benar adalah ”memelihara”, artinya bahwa perahu Nabi Nuh tersebut berjalan dengan ”pemeliharan” dan ”penjagaan” dari Allah sebagaimana hal ini telah dinyatakan oleh para ahli tafsir.
Demikian pula orang yang memahami firman Allah:

يَدُ اللهِ فَوْقَ أيْدِيْهِمْ (الفتح: 10)

dalam pengertian anggota tubuh maka orang tersebut telah kafir. Makna yang benar kata ”yad” di sini adalah ”al-’ahd”; artinya ”janji” sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama.
Demikian pula orang yang menafsirkan firman Allah:

وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (الفجر: 22)

dalam makna bahwa Allah bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain maka orang tersebut telah kafir. Makna yang benar adalah ”datang kekuasaan Allah”, artinya tanda atau pengaruh dari sifat kuasa-Nya, sebagaimana demikian telah ditafsirkan oleh al-Imam Ahmad ibn Hanbal (sebagaimana telah diriwayatkan oleh al-Hafidz al-Baihaqi dengan sanad yang kuat dari al-Imam Ahmad).
Demikian juga dengan orang yang menafsirkan firman Allah:

أأمِنْتُمْ مَنْ فِي السّمَاءِ أنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ (الملك: 16)

dengan mengatakan bahwa Allah mengambil tempat dilangit maka orang tersebut telah kafir. Makna yang benar dari maksud ”man fi as-sama’” adalah ”Malaikat”, sebagaimana pemahaman ini telah dinyatakan oleh Syaikh al-Huffadz al-Imam Zainuddin Abdrrahim al-Iraqi dalam kitab al-Amaliy al-Mishriyah. Dalam menafsirkan hadits:

ارْحَمُوْا مَنْ فِي الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

”Sayangilah oleh kalian orang yang berada di bumi niscaya kalian akan disayangi oleh yang berada di langit”, al-Imam al-’Iraqi menafsirkannya dengan hadits riwayat lain dengan redaksi:

ارْحَمُوْا أهْلَ الأرْضِ يَرْحَمْكُمْ أهْلُ السّمَاءِ

"Sayangilah oleh kalian penduduk bumi niscaya kalian akan disayangi oleh penduduk langit", karena hadits yang kedua ini sangat jelas memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud adalah para Malaikat.
Demikian juga orang yang menafsirkan hadits al-Jariyah as-Sauda yang terdapat dalam riwayat al-Imam Muslim dengan berkesimpulan bahwa Allah mengambil tempat di arah atas (berada di langit) maka orang ini telah kafir. Hadits ini oleh sebagian ulama tidak diambil dengan alasan bahwa hadits tersebut adalah mutharib (hadits yang memiliki banyak redaksi yang satu sama lainnya berbeda-beda), karenanya mereka manganggapnya cacat, disamping karena telah menyalahi dasar keyakinan. Sesungguhnya Rasulullah tidak pernah menghukumi ke-islam-an seseorang hanya karena mengatakan ”Allah di langit”, karena kata-kata ini adalah keyakinan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Bagaimana mungkin kata-kata ”Allah di langit” sebagai tanda bagi keimanan seseorang?!
Sebagian ulama lainnya menerima hadits ini; namun tidak dipahami dalam makna zhahirnya, tetapi mereka mentakwilkannya. Bahwa pertanyaan Rasulullah kepada budak perempuan tersebut adalah dalam makna ”Bagaimana engkau mengagungkan Allah?”. Dan makna jawaban budak tersebut ”Fi as-Sama’” adalah dalam pengertian ”sangat tinggi derajat-Nya”. Maka berdasarkan pemahaman dua pendapat ulama tersebut di atas tidak ada jalan bagi orang-orang Wahhabi untuk membatah kita.
Begitu juga dengan orang yang menafsirkan hadits Nabi:

يَنْـزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السّمَاءِ الدُّنْيَا حِِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرِ يَقُوْلُ مَنْ يَدْعُوْنِي فأسْتَجِيْبَ لَهُ منْ يَسْألُنِيْ فأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

dengan menafsirkan bahwa Allah bergerak dan turun dari atas ke langit dunia dan berdiam di sana sampai terbit fajar kemudian setelah itu Dia naik ke arah arsy maka orang tersebut telah menjadi kafir. Yang sangat mengherankan dari kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah sekarang, mereka meyakini bahwa Allah sama besar dengan arsy, lalu mereka mengatakan bahwa Allah turun ke langit dunia, padahal mereka tahu bahwa besarnya langit dunia dibanding besarnya arsy seperti setetes air dibanding lautan luas, ini artinya dalam keyakinan mereka bahwa Allah ketika turun ke langit dunia menjadi sangat kecil, na’udzu Billah. Ini merupakan bukti nyata akan kebodohan akal mereka. Lalu dengan pemahaman tersebut mereka juga berarti menetapkan bahwa perbuatan Allah hanya turun dan naik saja agar bersesesuaian dengan masing-masing sepertiga akhir malam di setiap bagian bumi ini oleh karena sepertiga akhir malam itu berbeda–beda satu wilayah dengan lainnya. Ini juga merupakan bukti nyata akan kebodohan akal mereka.
Makna yangbenar dari hadits tersebut adalah bahwa Malaikat turun dengan perintah Allah ke langit dunia, hingga ketika datang sepertiga akhir malam maka mereka menyeru bagi penduduk bumi sesuai apa yang diperintahkan oleh Allah sehingga terbit fajar: “Sesungguhnya Tuhan kalian berkata: Barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku beri ia, barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku maka akan Aku kabulkan baginya, barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni ia”. Pemahaman ini sebagaimana terdapat dalam riwayat al-Imam an-Nasa-i dengan riwayat shahih bahwa Rasulullah bersabda:

إنَّ اللهَ يُمْهِلُ حَتَّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ الأوَّلُ فَيأْمُرُ مُنَادِيًا فَيُنَادِيْ ....

“Sesungguhnya Allah membiarkan malam berlalu hingga lewat separuh malam pertama, setelah itu lalu Allah memerintahkan kepada malaikat untuk menyeru (bagi penduduk bumi), maka ia berseru:…..”.
Kemudian dari pada itu sebagian para perawi al-Imam Bukhari telah memberi harakat “Dlammah” pada kata “Yanzilu..” menjadi “Yunzilu…”, dengan demikian maknanya semakin jelas bahwa yang turun ke langit dunia tersebut adalah adalah malaikat; dengan perintah Allah. Kesimpulannya, siapapun yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, walaupun hanya dengan satu sifat saja, maka dia digolongkan sebagai Musyabbih Mujassim, dan sesuangguhnya seorang Mujassim itu seorang yang kafir sebagaimana dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’i.
Adapun makna perkataan al-Imam ar-Rifa’i tersebut di atas adalah bahwa berpegangteguh dengan makna-makna zhahir dari teks-teks mutasyabihat, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun hadits, maka hal itu telah menjatuhkan banyak orang dalam kekufuran, karena hal itu telah menjatuhkan mereka dalam keyakinan tasybih.
Al-Imam Ahmad ar-Rifa’i juga berkata:

غَايَةُ الْمَعْرِفَةِ بِاللهِ الإيْقَانُ بِوُجُوْدِهِ تَعَالَى بِلاَ كَيْفٍ وَلاَ مَكَانٍ

“Puncak pengetahuan seseorang itu kepada Allah adalah dengan berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa sifat benda dan tanpa tempat“.
Maksudnya adalah bahwa puncak yang dapat diraih oleh seorang hamba untuk mengenal Allah adalah meyakini keberadaan-Nya tanpa mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda, dan meyakini bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Sesungguhnya ini inilah puncak pengetahuan (ma’rifah) kepada Allah dari para Nabi dan para Malaikat, serta para wali Allah. Karena mengenal (ma’rifah Allah) Allah bukan dengan cara membayangkan, bukan dengan cara memprakirakan, dan juga bukan dengan cara menyerupakan-Nya. Allah bukan benda dan Allah juga tidak dapat diperumpamakan oleh gambaran dan pikiran manusia. Sesuatu yang memiliki bentuk dan ukuran maka pasti bisa digambarkan oleh akal pikiran, sementara Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran maka Dia tidak dapat digambarkan oleh akal pikiran manusia. Mengenal Allah cukup dengan meyakini-Nya bahwa Dia Maha ada, tidak dengan membayangkan-Nya berada pada arah tertentu; seperti arah atas.
Jika orang Wahabiy mengatakan: “Sesuatu yang ada itu harus memiliki arah dan tempat, bagaimana kalian mengatakan bahwa Allah ada tanpa arah dan tempat?!”, kita katakan kepadanya bahwa jika Allah memiliki arah dan tempat niscaya Dia akan mempunyai banyak keserupaan, juga jika Dia memiliki arah maka berarti ada yang menjadikan-Nya pada arah tersebut, padahal setiap yang ”dijadikan” itu pastilah dia itu makhluk, bukan Tuhan. Demikian inilah makna yang dimaksud dari perkataan al-Imam Ahmad ar-Rifa’i di atas, dan beliau adalah seorang yang sangat mendalam dalam ilmu akidah, beliau telah mengungkapkan perkataannya tersebut dalam kitab “Halatu Ahl al-Haqiqah Ma’a Allah “ .
Sebagian ulama berkata:

عَلَيْكَ بِطُوْلِ الصَّمْتِ يَا صَاحِبَ الْحِجَا
لِتَسْلَمَ فِي الدُّنْيَا وَيَوْم القِبَامَة

“Hendaklah anda memperpanjang diam wahai orang yang punya akal, agar selamat di dunia dan akhirat / kiamat.”
Perkataan ini diambil dari sabda Rasulullah kepada Abu Dzar:

عَلَيْكَ بِطُوْلِ الصَّمْتِ إلاّ مِنْ خَيْرٍ فَإنّهُ مَطْرَدَةٌ لِلشّيْطَانِ عَنْكَ وَعَوْنٌ لَكَ عَلَى أمْرِ دِيْنِكَ (رواه ابن حبان)

“Hendaklah kamu memperpanjang diam kecuali kepada hal yang baik, karena demikian itu dapat megalahkan syaitan dan menolong kamu dalam urusan agamamu “ (HR. Ibnu Hibban).
Seorang yang memiliki akal cerdas adalah orang yang selalu menghadirkan makna firman Allah:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إلاّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ (ق: 18) 

“Tidaklah seseorang itu berucap dari sebuah perkataan kecuali dicatat oleh Malaikat Raqib dan Atid“ (QS. Qaf: 18). Dia tidak akan berkata-kata kecuali bila ada manfaatnya.

Wa Allah A’lam Bi Ash-Shawab
Wa Ilaih at-Tuklan Wa al-Ma’ab.
 
 


.

PALING DIMINATI

Back To Top