Bismillahirrohmaanirrohiim

MENCONTEK KARYA LAMA



Anda pasti sudah pernah menonton film tentang mumi, mayat yang dibalsem dan dibedong ribuan tahun itu. Pasti sudah! Karena film mumi konon sudah pernah dibuat lebih dari 15 kali. Mulai dari The Mummy buatan tahun 1932, Abbot and Castello Meet the Mummy (1955), The Mummy, Legend of The Mummy, Scream of the Mummy (99), The Mummy Returns (2001) dan sebagainya. Film mumi mungkin yang paling banyak dibuat ulang. The Jaws, Frankenstein, King Kong dan banyak film lainnya juga ada versi barunya. Inilah daftar film-film yang pernah dibuat ulang dari A sampai Z. Dengan menggunakan teknologi komputer yang mutakhir memang dapat dihasilkan special effect yang mengagumkan seperti adegan mumi Imhotep ini. Mummy yang barupun menjadi lebih enak ditonton dan lebih layak dijual. Tapi tetap saja ada kesan mendaur-ulang karena kehabisan kreatifitas dan inovasi.

Dengan tulisan berjudul "Hollywood! Biarkan tahun 80 berlalu!", David Gritten kritikus film Inggris menulis bahwa para eksekutif studio Hollywood yang rata-rata berusia antara 30-40an, telah dilanda oleh obsesi yang mencemaskan. Tahun 2010 mereka merencanakan untuk membuat ulang 30 judul film dari tahun 80an yaitu dari masa kanak-kanak mereka. Mentang-mentang waktu kecil mereka kagum menonton film Tarzan mungkin, mereka lalu bertekad untuk membuatnya kembali. Tetapi, kata Gritten, banyak film yang sekarang dibuat ulang, aslinya memang parah, jadi obsesi mereka untuk mendaur-ulang itu tidaklah terlalu merusak dunia perfileman.

Bukan hanya perfileman di Hollywood, dunia musik pop juga kecanduan dengan masa lampaunya sendiri dan asyik mendaur-ulang karya-karya masa lampau. Simon Reynolds seorang kritikus musik dalam bukunya yang baru, Retromania: Pop Culture's Addiction to Its Own Past, mengamati bahwa dunia musik pop telah kehabisan ide-ide baru sampai keambang kebangkrutan kreatifitas dan kemacetan budaya. Selama duapuluh tahun terakhir, semangat eksplorasi yang pernah mendorong musik pop maju pesat telah bergeser fokus dari masa kini ke masa lampau. Para musisi dan penggemarnya sama-sama berubah menjadi arkeolog (ahli purbakala); begitu ia menjuluki mereka. Ini bukan sekedar nostalgia, tetapi mengusung musik masa lampau dalam segala bentuknya menjadi suasana budaya masa kini. Gerakan mundur kebelakang yang banar-benar merasuk ini bukan saja menjadikan kawula muda mengabdikan diri untuk masa lampau, tetapi juga menyesatkan pandangan para perintis musik pop dan menumpulkan ujung tombak budaya. Lebih-lebih sekarang dimana musik dibuat dan didistribusikan dalam bentuk file digital, kita dapat menghadirkan semua musik dari era dan jenis yang berbeda-beda dengan mudah. Maka membanjirlah musik masa lampau berbaur dengan musik masa kini. Lagu-lagu Nat King Cole, Bing Slamet, Agnes Monica dan Rihanna semua menempel diujung telunjuk kita; tinggal klik saja. Kita hidup di masa lampau dan masakini secara bersamaan.

Website Surfmusic (teman saya bekerja tiap hari) misalnya, menyediakan banyak pilihan musik era tahun 50-an, 60-an, 70-an dan 80-an, serta macam-macam jenis musik lainnya seperti jazz, blues dan klasik. Semuanya seperti berada dalam sebuah kolam. Kita boleh berkecimpung didalamnya dan menikmati semuanya secara simultan! Bahkan lagu-lagu tahun 50-an terletak dikolom paling atas, paling cepat dan mudah di klik. Bagaimanapun ini berarti memperdagangkan musik masa lampau. Yang menyedihkan, sebagaimana yang diamati oleh penulis buku Retromania diatas, bahwa para pencipta lagu mencongkel sedikit musik masa lampau dari sana-sini, dimodifikasi dengan sedikit kreasi dan menjualnya sebagai karya baru. Semacam lagu-lagu campur sari! Ini namanya mengais rejeki dari masa lampau. Tetapi kalau sudah dilakukan secara massal maka namanya menjarah budaya masa lampau. Tepat sekali istilah yang dipakai oleh Simon Reynold “Menumpulkan ujung tombak budaya”. 


.

PALING DIMINATI

Back To Top