Bismillahirrohmaanirrohiim

Post-Islamisme : Wajah Baru Islam Politik


oleh Ahmad Rizky Mardhatillah Umar pada 12 Februari 2012 pukul 19:41 

Pergulatan demokratisasi di negara-negara Timur Tengah memberi warna baru dalam diskursus Political Islam kontemporer. Kaum Islamis yang menjadi oposisi utama di masa pemerintahan otoriter mulai mengadopsi demokrasi sebagai strategi politik mereka. Wacana-wacana demokrasi, HAM, masyarakat sipil, dan sejenisnya –yang dulu ditentang karena dianggap berasal dari Barat— justru menjadi “jalan” untuk merebut kekuasaan. Klaim Huntington (1997) bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi terbantahkan; demokrasi justru mendapatkan tempat di hati mereka yang sangat memperjuangkan “negara Islam” dan “syariah”.

Gambaran di atas menjadi tema sentral dari buku Dr. Asif Bayat, seorang scholar terkemuka dari Universitas Leijden, Belanda, yang banyak meneliti tentang studi Islam kontemporer, bil khususgerakan sosial Islam. Buku tersebut diberi titel “Making Islam Democratic” dan didasarkan pada studi Bayat mengenai perkembangan gerakan Islam di Iran dan Mesir, dua negara Timur Tengah yang banyak dihuni oleh gerakan Islamis.

Judul buku     : Pos-Islamisme (Judul Asli : Making Islam Democratic: Social Movements and Post-Islamist Turns)

Penulis           : Dr. Asif Bayat
Penerbit         : LKiS, Yogyakarta
Cetakan        : Pertama, 2012
Tebal             : xviii + 431 halaman
Peresensi       : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar


Asif Bayat memulai tulisannya dengan mempertanyakan sebuah “pertanyaan keliru”: apakah Islam sesuai dengan demokrasi? Pertanyaan ini, bagi Bayat, adalah keliru dan tidak relevan. Baginya, persoalan bukan terletak pada sesuai tidaknya Islam dan demokrasi, tetapi bagaimana proses adaptasi yang dilakukan oleh umat Islam sehingga ide demokrasi bersesuaian dengan realitas umat yang ada (h. 8).

Sehingga, pandangan dunia (worldview) yang dianut oleh kaum Islamis tidak serta-merta menolak demokrasi –seperti selama ini diklaim oleh para ideolog mereka. Akan tetapi, seperti studi Prof. Vedi R. Hadiz,  kritisisme tersebut didasarkan pada sebuah upaya pencarian solusi mengatasi defisit sosial-ekonomi-politik yang disebabkan oleh ekspansi kapital negara-negara Barat sejak era imperialisme.

Gerakan sosial di dua negara yang menjadi subjek penelitian Bayat, Mesir dan Iran, memiliki dua pendekatan berbeda dalam mengartikulasikan “Islamisme”. Gerakan-gerakan di Iran lebih memilih “serangan frontal” atas simbol-simbol kekuatan Islam yang diinterpretasikan oleh negara, sementara Mesir lebih menggunakan “cara reformis” atau “perang posisi” –meminjam wacana Gramscian— vis-à-vis negara (h. 76). Ini yang disebut oleh Asif Bayat sebagai “pos-Islamisme”, atau tren-tren pergeseran wacana dalam sebuah ranah besar “Gerakan Islamisme”.

Mempertautkan Islam dan Demokrasi
Mengapa gerakan Islam di dua negara ini menampilkan perbedaan yang mencolok dalam pilihan wacananya? Asif Bayat memberikan argumen kunci: perbedaan struktur politik menentukan arah gerak gerakan Islamis.

Di Iran, Bayat melihat gerak Islamisme bergerak lebih inklusif dan pro-kebebasan, sementara Mesir mengalami fenomena yang berlawanan, yaitu mengarah pada “Islamisasi Ruang Publik” (h. 79). Perbedaan ini, menurut Bayat, disebabkan oleh struktur politik yang berbeda. Iran menampilkan struktur politik yang kental dengan nuansa Islam sementara Mesir justru kental dengan sekularisme dan ide-ide sosialisme.

Ketika mengelaborasi perubahan sosial-politik di Iran, Bayat menemukan beberapa fakta menarik. Di sana, ada kecenderungan gerakan-gerakan mahasiswa, gerakan perempuan, ruang publik kota, dan intelektual keagamaan untuk bergerak menjadi lebih “liberal”, keluar dari ruang batas doktrin Islam yang dibangun oleh negara (h. 159). Penyebabnya tentu sederhana: warisan revolusi Islam menjadikan struktur negara Islam sangat kuat, berlawanan dengan kehendak generasi muda dan kelas menengah yang ingin lebih merdeka.

Ini tentu berbeda dengan Mesir yang lebih akrab dengan sekularisme. Gerakan-gerakan Islamis pasca-1980 cenderung untuk mendekatkan Mesir dengan Islam tetapi pada lajur yang sama sekali tidak politis, seperti ekspansi dakwah ke level elite yang menginginkan input spiritual sebagai ganti hedonisme duniawi, penguasaan kaum profesional dan wirausaha, serta mulai bicara soal “pluralisme” dalam masyarakat Islam (h. 328). Jika dibaca dari struktur politik Mesir yang otoriter, sekular, dan ditopang oleh militer yang kuat, gejala ini tentu dapat dimengerti.

Ada dua kecenderungan menarik yang ditemukan oleh Bayat. Kecenderungan pertama lebih menitikberatkan pada gerakan pro-demokrasi dan menginginkan kebebasan secara lebih luas. Sementara golongan kedua lebih akrab dengan argumentasi akar rumput, ide-ide sosialisme, dan “kesetaraan kelas”. Golongan ini banyak terlibat dalam masyarakat sipil yang bergerak di akar-rumput. Produksi wacana mereka tidak jauh dari pendekatan kelas, sebagaimana direpresentasikan Ali Syariati di Iran (h. 51).

Dua kecenderungan ini terlihat di Mesir dan Iran, bahkan dalam wujud gerakan Islamis sendiri. Post-Islamisme di Mesir menampilkan sebuah suasana “liberalisasi” (mengutip Prof. Darmaningtyas) yang terjadi pada gerakan Ikhwanul Muslimin. Bayat, misalnya, mencatat adanya pernyataan Mustafa Masyhur, seorang tokoh IM yang sangat disegani, mengenai “pluralisme” Padahal, wacana ini sangat dekat dengan liberalisme yang membawa seorang tokohnya pada pengkafiran oleh negara.

Liberalisasi juga tercermin dari adanya fragmentasi wacana keislaman di tokoh IM pasca-Al Banna. Faksi pertama, diwakili oleh Sayyid Quthb, menampilkan karakter Islam yang “keras”, skripturalis, serta mengesankan corak perlawanan terhadap wacana-wacana Barat. Sementara faksi kedua, diwakili Hasan Al-Hudhaiby yang mewarisi semangat gradualis dari Al-Banna, lebih moderat, kontekstualis, serta menampilkan “perang posisi” alih-alih perlawanan frontal kepada negara dan wacana-wacana Barat.

Dua faksi ini, diakui oleh Prof. Vedi R. Hadiz dalam kuliah umumnya di Fisipol UGM (2011), masih terwariskan di antara pegiat Ikhwanul Muslimin di Mesir. Dengan adanya proses demokratisasi, wacana moderat akhirnya mendapatkan tempat lebih nyaman di hati masyarakat Mesir, terbukti dari kemenangan partai mereka di Pemilu.

Pengalaman Indonesia
Bagaimana relevansi pembacaan Asif Bayat ini terhadap kondisi gerakan Islamis di Indonesia? Walaupun secara struktur politik dekat dengan Mesir dan Turki yang memperlihatkan perlawanan kaum Islamis vis-à-vis rezim sekular,  Indonesia tidak serta merta memperlihatkan gejala Islamisme yang inheren dengan kedua negara tersebut.

Radikalisme keagamaan di Indonesia disebabkan bukan oleh kuatnya identitas “agama” di diri pemeluknya, tetapi justru oleh desakan ekonomi dan politik yang gagal dipenuhi oleh rezim politik (Umar, 2011). Hal ini kemudian mengemuka oleh terfragmentasinya “Islam Politik” yang mengambil jalur moderat, nonviolent, atau demokrasi formal (PKS, HTI, dll) dengan “Islam Politik” yang jalurnya radikal.

Studi Dr. Yudi Latif tentang Islamisasi dan Sekularisasi di Indonesia memperlihatkan gejala ini. Meminjam argumen Dr. Yudi Latif, proses Islamisasi dan Sekularisasi tidak akan terjadi secara total karena kedua proses tersebut –Islamisasi dan Sekularisasi— berjalan secara simultan dan beriringan. Islamisasi bergerak dari bawah secara kultural, melalui pembudayaan di masyarakat. Sementara sekularisasi difasilitasi negara Hindia-Belanda dan juga diwariskan dalam struktur politik kontemporer.

Kesimpulan Latif, adanya simultansi proses “Islamisasi dari bawah” dan “sekularisasi dari atas” ini menampilkan ketidakmungkinan “Islamisasi Total” dan “sekularisasi total”. Keduanya terus memainkan dialektika sejak kemerdekaan hingga saat ini. Kaum “Islam Politik” boleh mengonsolidasi diri di parlemen, dalam wujud PKS, misalnya, tetapi mereka tetap tidak memiliki akar yang kuat dalam seting keindonesiaan. Sebab, gejala Islamisasi itu terbentuk secara kultural dalam wadah-wadah organisasi kemasyarakatan macam NU atau Muhammadiyah.

Yang menarik untuk diulas adalah peta gerakan Islamis di Indonesia sendiri. Proses demokratisasi yang telah bergulir sejak 1998 membawa perubahan wacana di kalangan Islamis. Jika sebelum 1998 kalangan Islamis masih berkutat pada dakwah yang tanzhimi (berorientasi perkaderan dan struktur organisasi tertutup), pasca-1998 dakwah mereka mulai masuk pada ranah politik formal (parpol atau ormas).

Perubahan ini juga terjadi pada diskursus internal pada gerakan Islamis itu sendiri. Orientasi tanzhimiyang berhaluan skriptural dalam penafsiran keagamaan perlahan mulai bergeser. Persis seperti kata Bayat, ada pergeseran haluan keagamaan menjadi lebih inklusif, justru pada kaum Islamis itu sendiri.

Peta kecenderungan ini dapat dilihat pada jama’ah tarbiyah yang mengadopsi ideologi IM sebagai basis geraknya (Rahmat, 2005). Pasca-1998, tarbiyah mendapatkan momentum politik melalui proses demokratisasi. Partai Keadilan (sekarang PKS) dideklarasikan dan menjadi kendaraan politik baru. Perolehan politik yang stabil pada Pemilu 2004 dan 2009 menempatkan kader-kader partai ini di parlemen.

Akibatnya, terjadi perubahan orientasi. Basis dakwah kini diarahkan tidak hanya kepada parlemen, tetapi juga relasi yang lebih baik dengan negara dan pemilik modal. Taujih ustadz banyak mengulas masalah ekonomi, dengan harapan ada suntikan kapital kepada partai. Dalam analisis Vedi R. Hadiz (2011), ada kecenderungan PKS untuk mengadopsi model Partai AKP di Mesir yang memiliki basis ekonomi kuat, alias menguasai struktur borjuasi nasional.

Dengan demikian, karena kebutuhan partai adalah mendapatkan suara dan membiayai kampanye, konstruksi pendekatan politik-keagamaan menjadi lebih inklusif. Kampanye partai tidak lagi mempersoalkan masalah syariah, tetapi lebih populis dengan menggaet kawula muda. Tidak berbeda dengan Mustafa Masyhur yang bicara soal pluralisme, beberapa elit partai menyatakan diri sebagai “partai terbuka”, mengakibatkan adanya faksionalisasi dengan kubu konservatif (Munandar, 2011).

Pergeseran orientasi ini, jika meminjam wacana Asif Bayat, adalah indikasi kuat munculnya gejala “post-Islamism” dalam gerakan Islam di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, ini merupakan implikasi globalisasi dan cepatnya akses informasi yang menyebabkan hubungan antar-gerakan Islam pada skala global semakin cepat. Artinya, peluang menguatnya gerakan “post-Islamisme” juga cukup kuat di Indonesia.

Catatan Kritis
Buku Asif Bayat ini cukup memberikan gambaran mengenai tren perubahan perilaku gerakan Islam abad 21. Pertanyaan yang belum terjawab adalah bagaimana post-Islamisme bertahan jika lajur demokrasi benar-benar dikuasai oleh gerakan Islam.

Arab Spring 2011 telah membuka jalan baru bagi kalangan Islamis untuk tampil ke dalam politik praktis melalui jalur demokratis. Pertanyaannya, apakah “demokrasi” yang diakomodasi oleh kalangan Islamis itu hanya “lipstik” untuk menarik simpati rakyat, bagian dari strategi politik, ataukah memang benar-benar tujuan dari aktivis politik Islamis itu? Buku ini (yang ditulis enam tahun sebelum Arab Spring) belum menjawab pertanyaan itu.

Akan tetapi, fenomena Arab Spring justru membuka peluang bagi penstudi Islam Politik untuk menelaah arah perubahan itu. Buku ini menawarkan kerangka metodologis yang khas. Islam tidak hanya dilihat pada pendekatan tekstual belaka, tetapi perlu pula menyertakan pendekatan sosiologis. Sehingga, kacamata yang digunakan dalam melihat Islam dapat lebih objektif, tidak melulu skeptis atau justru terjebak pada truth claim.

Tren perubahan gerakan Islam tentu tidak bergerak secara linear. Masih terbuka kemungkinan perubahan peta gerakan Islam setelah musim semi berlalu. Apakah pola perubahan tren Islamisme itu akan menyebar ke seluruh dunia dan menampilkan wajah baru politik Islam, masih menjadi pertanyaan yang perlu dijawab secara lebih tuntas.

Referensi
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar. “Melacak Akar Radikalisme Islam di Indonesia”. Jurnal Sosial Politik.Vol. 23 No. 2 (2011): 165-183.

Arief Munandar. Antara Jemaah dan Partai Politik”, Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004. Depok: FISIP UI, 2011. Disertasi tidak diterbitkan

Asif Bayat. Post-Islamisme diterjemahkan oleh Faiz Tajul Millah. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Darmaningtyas. “Liberalisasi Kalangan Islamis”. Koran Tempo, 19 November 2011

Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Martin van Bruinesen. Comparing Secularism and Political Islam in Turkey and Indonesia Can Turkey’s AKP be a model to be followed in Indonesia? Kuliah umum di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Oktober 2009.  

Vedi R. Hadiz. Political Islam in Post-Authoritarian Indonesia. Oxford: CRISE, 2010.

____________. Islamic New Populism in Indonesia, Turkey and Egypt: A Political Economic Perspective. Kuliah Umum di Fisipol UGM, Yogyakarta, November 2011.

Yudi Latif. Dialektika Islam: Tafsir Sosiologis atas Sekularisasi dan Islamisasi di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra, 2005.


*) Peresensi adalah Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM, meminati Studi Timur Tengah dan Political Islam


.

PALING DIMINATI

Back To Top