Bismillahirrohmaanirrohiim

Studi Maslahah Perspektif al-Buthy Bagian ke-2

oleh Muhammad Mahrus Ali pada 15 Maret 2012 pukul 5:24 


  1. I. Batas-Batas Nalar Maslahah dalam Syari'at Islam
      Maslahah, menurut al-Buthy bukanlah dalil mandiri sebagaimana al-Qur'an, al-Sunnah, al-Ijma' dan al-Qiyas. Maslahah adalah nilai-nilai universal yang diperoleh dari penelitian terhadap hukum-hukum partikular yang digali dari dalil-dalil syariah secara spesifik, artinya ketika kita melakukan penelitian terhadap hukum-hukum partikular maka kita menemukan bahwa di antara hukum-hukum tersebut terdapat satu titik temu yaitu tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Dengan demikian, tujuan mewujudkan kemaslahatan adalah nilai-nilai universal, sementara hukum-hukum partikular tersebut adalah bagian bagian partikularnya. Nilai-nilai universal tersebut tentu saja tidak bisa wujud secara tersendiri tanpa hukum-hukum partikular itu. Karenanya, maslahah yang dapat dinilai sebagai maslahah hakiki haruslah maslahah yang ditopang dengan dalil-dalil syar'i atau minimal tidak berlawanan dengan dalil syar'i. Berdasarkan ini maka maslahah tersebut haruslah memiliki batas-batas(dlowâbith)yang dapat membatasi nilai-nilai universal itu dari satu sisi dan bisa menghubungkannya dengan dalil-dalil syar'i secara spesifik  dari sisi yang lain, sehingga dengan ini terjadi kesingkronan antara nilai-nilai universal tersebut dengan hukum-hukum partikularnya. 
Korelasi antara pemahaman Mujtahid terhadap maslahah sebagai muara hukum secara universal dengan dalil-dalil Syar'i secara spesifik sebagai muara hukum secara partikular sangatlah mirip dengan korelasi antara Takhrij al-Manath dengan Tahqiq al-Manath yang biasa dijelaskan oleh ulama' ushul fikih di dalam pembahasan masâlik al-'illah. Penyingkapan Mujtahid bahwa muara hukum Syariah adalah kemaslahatan manusia adalah Takhrij al-Manâth. Kemudian setelah itu, Mujtahid dituntut untuk melakukan tahqiq al-manath atau aplikasi muara hukum tersebut di dalam permasalahan-permaslahan patrikular dengan menggunakan piranti dalil-dalil secara tafsil yang terdapat di dalam al-Quran, al-Sunnah dan al-Qiyas.  
        Bagi al-Buthy, akal secara independen tidak mungkin bisa menangkap maslahah dalam masalah-masalah partikular. Hal ini, menurutnya  karena beberapa hal: 
  • Apabila akal mampu menangkap maslahah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal adalah hakim sebelum datangnya Syara'. Hal tidak mungkin menurut mayoritas Ulama'.
  • Apabila anggapan  diatas sah-sah saja maka batallah keberdaan atsar/efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hokum, karena kesamaran subtansi maslahah bagi mayoritas akal manusia. Dan apabila itu benar maka batal pula dalil yang menunjukkan bahwa hukum syari'ah berlaku sesuai tuntutan maslahah. Karena dalil tersebut adalah penelitian yang diambil dari dalil-dalil tafsil tersebut. 
  •  Apabila akal secara independen mampu menangkap kemaslahahatan dan tingkatan-tingkatannya secara mendetail maka tidak mungkin para Filosof itu mengalami perbedaan di dalam menentukan kemaslahatan. Sementara sejak dulu sampai sekarang tidak pernah ada kesepakatan antara manusia dalam menentukan kemaslahatan.
       Dengan demikian, bagi al-Buthy maslahah adalah buah tasyri' bukan akar tasyri', dalam arti di mana ada hokum syariah maka di situ terdapat  maslahah. Baginya, jika maslahah dinilai sebagai akartasyri' maka akan menimbulkan kesimpulan bahwa hukum-hukum Allah lebih akhir dari maslahah.
      Jika kita runut kebelakang masalah ini sebenarnya adalah buntut dari perdebatan dalam ilmu kalam mengenai al-Tahsin wa al-Taqbih yakni apakah baik dan buruk itu dzati(esensial) ataukah'aridli(aksidental)? Menurut mu'tazilah baik dan buruk itu adalah bagian dari entitas sesuatu(sifat Dzati, esensial). Kemudian dari pemikiran ini, mereka berpendapat bahwa hokum-hukum Allah harus berpijak pada baik dan buruk yang secara esensial sudah wujud dalam pekerjaan tersebut. Karena jika tidak demikian, maka hokum-hukum Allah tersebut berlawanan dengan sifat kemahasempurnaan-Nya. Bagi mereka, jika Allah memerintahkan yang buruk, maka berarti Allah bukan tuhan yang baik, akan tetapi tuhan yang jelek, kejam dan sebagainya. Padahal sifat-sifat demikian merupakan bentuk kekurangan dalam diri manusia. Logikanya jika manusia mempunyai karakter yang buruk saja dinilai sebagai manusia yang tidak berperadapan dan penuh kekurangan, tentu saja Tuhan juga dapat dinilai demikian. Kemudian kelanjutan dari pandangan diatas, mereka juga berkeyakinan bahwa Akal mampu menangkap baik dan buruk dalam pekerjaan. Sehingga bagi mereka, meski tidak ada Rasul dan tidak turun wahyu manusia yang berakal dituntut mengikuti sesuatu yang secara esensial adalah baik dan menjauhi segala yang secara esensial adalah buruk. Menurut mereka, diutusnya seorang Rasul tidak lebih adalah untuk mengukuhkan apa yang oleh akal dinilai baik atau buruk, atau untuk menyingkap sesuatu yang tidak memiliki sifat baik atau buruk yang jelas yang bias ditangkap oleh akal. Dari sini dapat kita ketahui bahwa bagi mu'tazilah maslahah adalah pemicu timbulnya hokum, dimana ada maslahah maka disitu pasti ada hokum.
       Sementara menurut Asya'irah, madzhab al-Buthy, baik dan buruk bukanlah bagian dari entitas sesuatu. Hal ini, karena segala sesuatu memandang kepada kondisi awalnya adalah sama dan tidak bias disebut baik atau buruk. Nilai baik kejujuran atau nilai jelek kebohongan misalnya, menurut mereka muncul dari pengaruhnya dalam kehidupan social. Lebih jelasnya, Allah menciptakan manusia sebagai makhluk social, mereka tidak bias hidup sendiri tanpa sama sekali butuh kepada orang lain. Kebutuhan ini menuntut adanya saling tolong menolong diantara mereka. Tolong menolong ini tidak akan terwujud kecuali ada kepercayaan. Dan  kepercayaan ini tidak akan tercipta kecuali dengan adanya kejujuran. Sementara semua ini terjadi dengan pengaturan dan penciptaan Allah. Dengan demikian, baiknya kejujuran dan jeleknya kebohongan muncul dari pengaturan Allah ini. Dan seandainya Allah menghendaki, bisa saja Allah membuat pengaturan hidup yang lain yang akan menyebabkan penilaian terhadap kejujuran dan kebohongan mengalami perubahan [1]. Dari sini, bagi Asya'irah Tuhan tidak harus berbuat sesuai dengan yang baik menurut penilaian akal. Menurut mereka, mu'tazilah terlalu gegabah dalam menilai Tuhan. Mereka memandang Tuhan dengan sudut pandang dan kaca mata manusia. Pada hal baik buruk adalah nilai yang diciptakan Allah menuju keteraturan hidup. Tuhan adalah Dzat yang berada diluar realiatas yang tentunya terlepas dari dari segala nilai kemakhlukan. Selain itu Tuhan adalah sebagai pencipta segala sesuatu maka Tuhan berhak melakukan segala yang dikehendakinya, tanpa ada yang boleh mencampurinya. Kelanjutan dari pandangan ini, bagi Asyairah maslahah adalah apa yang ditetapkan Tuhan sebagai maslahah. Begitu juga sebaliknya, mafsadah adalah apa yang ditetapkan oleh Tuhan sebagai mafsadah.
      Berangkat dari pemikiran diatas, batas-batas maslahah  yang nanti akan penulis uraikan, menurut al-Buthy berperan sebagai penyingkap hakikat maslahah bukan berposisi mengecualikan dan mempersempit maslahah. Dengan arti sesuatu yang tidak sesuai dengan dlowâbith tersebut  sama sekali tidak bisa disebut maslahah hakiki meski sebagian kalangan mengasumsikannya sebagai maslahah. Al-Buthy mengajukan kesimpulan bahwa sebuah maslahah bisa dinilai sebagai maslahah hakiki adalah jika memenuhi lima dlowâbith, yang pertama berkaitan dengan penyingkapan makna universal maslahah tersebut, sementara empat yang lain membatasinya dengan cara menghubungkan dengan dalil-dalil syar'i yang spesifik.
  1. Maslahah haruslah berkisar dalam lingkup tujuan syari'
        Maqasid Al Syariah berarti tujuan Allah SWT. atau Rasul-Nya dalam mensyariatkan hukum Islam. Tujuan-tujuan itu berkisar pada lima hal, yaitu memelihara tegaknya agama (hifzh al-dîn), perlindungan jiwa (hifzh al-nafs), perlindungan terhadap akal (hifzh al-'aql), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), dan perlindungan atas harta kekayaan (hifzh al-mâl). Segala sesuatu yang mengandung upaya pemeliharaan terhadap lima tujuan dasar  ini dinyatakan sebagai maslahah. Sebaliknya, segala sesuatu yang mengabaikan semua atau sebagian dari lima tujuan dasar ini, maka dinyatakan sebagai mafsadah. Kemudian kelima tujuan ini  merupakan batu loncatan untuk mewujudkan satu tujuan universal yaitu agar manusia menjadi hamba Allah secara total, yang dengan itu manusia akan mendapatkan kebahagian abadi didalam surga.
        Cara pencapaian lima tujuan diatas masing-masing memiliki penekanan berdasarkan tiga strata kemaslahatan. Pertamaal-dlarûriyyat, yakni hal-hal yang mesti ada dalam kehidupan manusia untuk mewujudkan lima tujuan  diatas. Jika ini tidak ada, maka tata kehidupan di dunia akan timpang, kebahagiaan akhirat tak tercapai, bahkan siksalah yang bakal mengancam. Kewajiban Iman, membaca dua syahadat, membayar zakat, puasa ramadlan, haji, jihad, hukuman bagi orang murtad dll. disyariatkan untuk mewujudkan dan memelihara tegak dan lestarinya agama. Kehalalan makanan pokok, hukuman qisos dan hukuman membayar diyat disyariatkan untuk melindungi hak hidup dan keterjaminan keagamaan. Nikah, hokum-hukum yang berkaitan dengan nafaqoh dan perawatan anak, keharaman zina dan sangsi atas pelakunya disyariatkan dengan tujuan mewujudkan dan memelihara keturunan. Perintah menkonsumsi makanan dan minuman bergizi dan mecerdasarkan, keharaman minuman memabukkan dan hukuman atas peminumnya disyariatkan untuk memelihara akal manusia. transaksi-transaksi pokok, larangan mencuri dan hukuman atas pelakunya disyariatkan untuk menjamin hak milik atas suatu harta.  
Kedua, al-hâjiyyat, yakni hal-hal yang sangat dibutuhkan sebagai sarana mempermudah dan menghindari kesulitan. Jika ini tidak terwujud, maka manusia akan mengalami kesulitan dan kesempitan tanpa sampai mengakibatkan tidak terwujudnya sama sekali lima tujuan diatas. Untuk mewudkan dan memelihara kemaslahatan dengan taraf semacam ini, maka untuk tujuan pemeliharaan agama, Syâri‘(pemegang otoritas syara’, Allah dan Rasul-Nya) mensyariatkan ritual-ritual ibadah dan dispensasi keringanan seperti bolehnya mengucapkan kata-kata kufur untuk melindungi jiwa, diperbolehkannya melakukan jama’ dan qashar shalat bagi musafir, perkenan tidak berpuasa Ramadlan bagi wanita hamil dan menyusui serta orang-orang sakit, tidak adanya kewajiban shalat ketika haid dan nifas, diperbolehkannya mengusap khuf (sepatu) ketika wudlu dan lain sebagainya. Untuk tujuan melindungi jiwa Syari' memperbolehkan hewan buruan dan makanan-makanan enak. Untuk tujuan memelihara harta kekayaan syari' menggariskan beragam ketentuan tata laksana mu’amalah berupa jasa persewaan, bagi hasil, akad pesan dll. Dan untuk memelihara garis keturunan syari' mensyariatkan adanya mas kawin, perceraian dan terpenuhinya syarat saksi dalam hukuman zina. 
KetigaAl-tahsîniyyat, yakni hal-hal yang ketiadaannya tidak sampai menyebabkan kesulitan, hanya saja perwujudannya sesuai dengan dasar melakukan yang pantas dan menjauhi yang tidak layak serta sesuai dengan budi pekerti luhur dan kebiasaan yang baik. Seperti pensyari’atan thahârah (bersuci) sebelum shalat, hokum najasah, perintah menutup aurat dll. untuk hal-hal yang berkaitan dengan agama. Pensyariatan etika makan dan minum, pengharaman makanan-makanan yang tidak baik dan anjuran menjauhi  terlalu berlebihan dan terlalu irit untuk hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan jiwa. Pelarangan menjual barang najis untuk hal yang berkaitan perlindungan terhadap harta benda.  Dan pensyariatan hokum kafaah(sepadan) dan etika hubungan suami istri untuk tujuan melindungi nasab.
         Sementara mengenai hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan syariah, menurut al-Buthy terbagi menjadi dua macam. Pertama, adalah sesuatu yang kandungannya bertentangan dengan tujuan-tujuan syariah. Seperti membunuh tanpa hak, mencuri dll. Tindakan-tindakan tersebut meski bias saja dianggap sebagai maslahah dilihat dari sisi keuntungan kepada pelaku. Namun maslahah tersebut diabaikan karena berlawanan dengan tujuan-tujuan syariah. Kedua, sesuatu yang melihat kandungannya tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan syariah, hanya saja karena niat yang buruk ia berubah menjadi instrumen yang dapat memadamkan dan merusak ruh tujuan-tujuan syariah tersebut. Dasar yang kedua ini, disamping karena lima tujuan diatas merupakan jalan bagi manusia untuk menjadi hamba Allah secara totalitas, adalah sabda Nabi bahwa sahnya amal adalah tergantung kepada niatnya dan setiap orang mendapatkan balasan sesuai dengan yang mereka niati.
         Salah satu contoh masalah kedua ini adalah hadist Abu Musa al-Asy'ary," seorang laki-laki badui bertanya kepada Nabi SAW., seorang lelaki berperang demi mendapatkan harta rampasan, seorang yang lain supaya disanjung, sedang seorang lagi karena ingin tinggi drajatnya. Siapakah yang termasuk pejuang dijalan Allah? Rasulullah menjawab, barang siapa berperang  supaya agama Allah Berjaya berarti dia dijalan Allah".(HR. Bukhory dan Muslim). Hadits ini menunjukkan urgensitas niat dalam menentukan status seseorang di hadapan Allah. Secara lahir berperang adalah sama saja, akan tetapi niatlah yang membedakan antara seseorang yang berperang di jalan Allah dengan orang yang berperang untuk kepentingan duniawi.
        Menurut al-Buthy, masalah yang kedua ini tidak ada kaitannya dengan hukum sah atau batal yang bermuara pada pekerjaan secara dlohir, karena banyak sekali pekerjaan dianggap sah secara hokum dhohir tetapi dinilai batal dalam hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya.  Hukum sah atau tidak hanyalah berkaitan dengan terpenuhinya rukun dan syarat, sedangkan hubungan antara Allah dengan Makhluk-Nya disamping memandang hokum dhahir juga memandang kepada ketulusan dan ketundukan penuh seorang hamba kepada Tuhannya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan maslahah yang berubah menjadi mafsadah disebabkan niat yang tidak tulus adalah melihat kepada hubungan antara manusia dengan Allah bukan melihat kepada hukum dhohir.

  1. 1.     Tidak bertentangan dengan al-Quran
           Secara logis dlobit ini mutlak adanya. Karena tujuan syari'at diatas bisa diketahui dari hasil penelusuran terhadap hukum-hukum syari'at yang bersandar pada dalil-dalilnya secara kasuistik. sedangkan dalil-dalil hukum syari'at semuanya bermuara pada al-Quran. jika maslahah yang diakui legalitasnya bertabrakan dengan al-Quran, maka terjadi pertentangan antara madlûl (yang ditunjukan) dan dalil (petunjuk)nya. Ini jelas tidak mungkin karena madlul selama-selamanya pasti sesuai dalil. Teks-teks syariah sendiri memberikan justifikasi bahwa kemaslahatan haruslah selaras dengan Al-Qur'an. Salah satu firman Allah menyatakan:Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.(QS: Al-Maidah 49) Demikian pula dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal tatkala diutus oleh Rasulullah sebagai qâdlî ke daerah Yaman. Rasulullah bertanya, “Ketika dihadapkan suatu permasalahan, dengan cara bagaimana engkau memberikan putusan?” Mu‘adz menjawab, “Saya akan memutusinya berdasarkan Kitab Allah.” Rasulullah bertanya lagi, “Bila engkau tidak menemuinya dalam Kitab Allah?”  Mu‘adz menjawab, “Saya akan memutusinya dengan sunnah Rasulullah”. Beliau kembali bertanya, “Bila dalam Sunnah Rasulullah pun tidak kau jumpai?” Mu‘adz menegaskan, “Saya akan berijtihad berdasarkan pendapat saya dan saya akan berhati-hati dalam menerapkannya.”Kemudian Rasulullah menepuk dada Mu‘adz dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang memberikan petunjuk pada utusan Rasulullah dengan apa yang diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya." (HR. Abu Dawud dan Turmudzi).
          Maslahah yang dinilai bertentangan dengan al-Quran adalah maslahah imajinatif yang bertentangan dengan teks, baik bertipe nash ataupun dhohir.  Hal ini karena teks bertipe nashmaknanya adalah qoth'i dan kemungkinan majaznaskhtakhshis dan idlmar  sudah tertutup dengan kewafatan Nabi dan selesainya penelitian Ulama'. Sementara teks bertipe dhohir yaitu teks yang menunjukkan makna namun masih mungkin menunjukkan makna lain, meski penunjukannya kepada maknanya tidak qoth'i namun kewajiban mengamalkan sesuai makna tersebut adalah qot'i dan merupakan konsensus Ulama'.
          Namun, ketika sebuah teks memiliki makna lebih dari satu tentu bisa saja sebagian Pakar hukum bisa mengunggulkan makna majaz berdasarkan indikasi ekternal. Dan jika indikasi menjadi pertimbangan dalam menentukan makna yang ditunjukkan teks bertipe dohir maka mungkin saja sebagian pihak berasumsi bahwa maslahah juga layak menjadi indikasi tersebut.  Menurut al-Buthy, ijtihad dalam masalah-masalah yang sudah dijelaskan oleh al-Quran baik dengan teks bertipe nashataupun teks bertipe dhohir terbagi menjadi dua macam. Pertama ijtihad yang berakhir dengan kesimpulan yang bertentangan dengan al-Quran yaitu ijtihad yang keluar dari makna teks bertipe Nashatau seluruh makna yang terdapat dalam teks bertipe dhohir. Ijtihad semacam ini adalah batil dan tak ada satupun ulama' yang melegalkannya. Kedua ijtihad yang yang terbatas dalam wilayah nash dandhohir yang mana wilayah kerja mujtahid dalam hal ini hanya untuk mengeluarkan illat, membatasi makna teks, hakikat ataukah majas, melakukan tarjih diantara kemungkinan-kemungkinan makna yang terdapat dalam teks, menyingkap apakah ia teks umum yang ada mukhossisnya atau tidak, dan ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ada penjelasan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah.
        Mengenai batas-batas kemungkinan makna teks bertipe dhohir, menurut al-Buthy, terangkum dalam sejumlah syarat-syarat melakukan ta'wil yang diantaranya interpretasi tersebut tidak boleh berlawanan dengan makna bahasa, tradisi masyarakat Arab atau traridisi Syari' , dan sejumlah syarat menentukan illat yang diantaranya illat tersebut tidak boleh menyebabkan batalnya hukum Ashal.
         Ketentuan-ketentuan ini, menurut penulis sangat logis dan bisa diterima. Sebab, ijtihad didalam syariat Islam adalah upaya maksimal untuk mengetahui hukum-hukum yang dikehendaki Allah. Hal ini, meniscayakan bahasa arab yang notabene merupakan bahasa pilihan Allah, sebagai jalan untuk memahami hukum-hukum tersebut. Berdasarkan cara pandang seperti ini, ahli Ushul Fikih(teorisi hukum islam)merumuskan bahwa sebuah teks terlebih dahulu harus diarahkan pada tradisi autornya. Jika teks tersebut adalah teks syari' maka terlebih dahulu harus diarahkan pada makna syar'i, kemudian maknaurf dan jika tidak ada makna urf maka diarahkan pada maknanya secara bahasa.     

  1. 2.     Tidak bertentangan dengan as-Sunnah  
          Maksud dari as-Sunnah di sini adalah periwayatan secara berantai hingga Rasulullah, berupa ucapan, tindakan atau persetujuan (ketetapan) beliau, baik yang ditransmisikan secara massal (mutawâtir) maupun perorangan[2](âhad).
          Mengenai keharusan mashlahah tidak bertentangan dengan hadist mutawatir barangkali  tidak perlu ditampilkan dalil karena ia qath'i al-wurud(definitive channel). Namun, untuk keharusan tidak bertentangan dengan hadist ahad sangat penting untuk dibuktikan dengan dalil karena ia adalahdhonni al-wurud(speculative chennel), sehingga bisa saja ada sebagian pihak yang beranggapan tidak ada kewajiban mengamalkan kandungan hadits ahad karena ia hanya sebatas asumsi. Selain itu, terjadinya kontradiksi antara maslahah dengan hadits ahad tersebut bisa saja dipahami sebagai indikasi bahwa hadist tersebut tidak benar-benar dari Nabi, dengan dasar maslahah bersifat pasti sementara hadist ahad masih bersifat dhonni, serta bisa saja mereka mempertanyakan, bagaimana bisa ada sesuatu yang datangnya bersifat dhonni namun mengamalkannya bersifat qath'i?
        Menurut al-Buthy, sama sekali tidak ada kontradiksi antara keberadaan datangnya hadits ahad bersifat dhanny(spekulative) dengan keharusan mengamalkannya bersifat qath'i(definitive), karena keduanya berada dalam tinjauan yang berbeda. Hadist ahad bersifat spekulatif dipandang dari sisi kesesuaian perkataan pembawa berita dengan fakta, sementara kewajiban mengamalkannya bersifat definitif adalah dipandang dari sisi hukum Allah. Tentu saja tidak  kontradiksi apabila Allah mewajibkan seseorang untuk mengamalkan sesuatu berdasarkan tuntutan dhon-nya. Menurut al-Buthy, ada dua dalil yang menunjukkan kewajiban mengamalkan hadist ahad dinilai qath'iPertama, konsensus shahabat menerima hadist ahad dan mengamalkannya. Kedua, banyaknya riwayat yang semakna yang menunjukkan  bahwa  rasulullah SAW. mengirimkan delegasi ke berbagai negeri Islam dan mewajibkan para penduduknya untuk membenarkan keterangan mereka mengenai hokum-hukum syariah.
          Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa syarat tidak adanya kontaradiksi dengan al-Quran dan as-Sunnah, baik diriwayatkan secara massal ataupun perorangan merupakan barometer kebenaran suatu pendapat. Karenanya, maslahah yang hanya berdasarkan logika belaka, jika bertentangn dengan keduanya dinilai sebagai maslahah semu yang tidak bisa dijadikan pertimbangan dalam pencetusan sebuah hukum, baik pertentangan tersebut secara menyeluruh sehingga sama sekali tidak memungkinkan untuk dilakukan singkronisasi  dengan cara takhshis atautaqyid atupun hanya dalam sebagian saja, sehingga masih memungkinkan dilakukan takshis al-Sunnahbi al-Maslahah atau Taqyid al-Sunnah bi al-Maslahah. Hal ini, karena Takkshis dan Takyid hanya bisa dilakukan dengan dalil yang juga diakui oleh syari' sementara maslahah tidak memiliki otoritas demikian.
          Sebagian kalangan menampilkan fatwa-fatwa sebagian sahabat dan sebagian Aimmah sebagai justifikasi asumsi mereka bahwa maslahah bisa didahulukan dari al-Quran atau al-Sunnah, namun asumsi ini menurut al-Buthy sama sekali tidak benar. Sebab, sahabat dan aimmah tersebut tidak mengeluarkan fatwa-fatwa tersebut berdasarkan pengutamaan maslahah dari al-Quran dan al-Sunnah akan tetapi berdasarkan wujudnya mukhoshshis, baik dari al-Qur an, al-sunnah, ataupun al-Qiyas., atau tindakan Nabi itu termasuk kebijakan beliau yang muncul atas nama imam, sehingga bisa berubah sesuai situasi dan kondisi, atau as-Sunnah tersebut menurut mereka tidak shohih, atau karena menurut mereka illat hokum tersebut tidak wujud.
         Sementara mengenai asumsi bahwa imam Malik telah melakukan takhsis al-Sunnah bi al-maslahah al-mursalah menurut al-Buthy juga tidak benar. Karena faktanya di dalam fikih imam Malik tidak pernah ditemukan istilah tersebut bahkan tidak mungkin terjadi ada istilah maslahah mursalah berlawanan dengan al-Kitab atau al-Sunnah, sebab hal itu menjadikannya tidak bisa disebut sebagai maslahah mursalah lagi, karena sudah keluar dari definisinya, yaitu sesuatu yang masuk dalam lingkup tujuan-tujuan syariah, namun tidak ditemukan dalil spesifik yang mengakui atau menolaknya. Menurut al-Buthy, Asumsi demikian terjadi karena mereka tidak memahami metode ijtihad imam Malik ketika menemukan nampak terjadi kontradiksi antara Nash dengan Nash yang lain atau antara Nash dengan al-Qiyas. Dalam hal ini ada tiga prinsip yang dipakai oleh imam Malik yaitu mendahulukan makna dlohir al-Quran daripada tuntutan makna hadist ahad kecuali jika dikuatkan oleh dalil lain, tidak memakai hadist ahad dan yang sesamanya jika bertentangan dengan dalil qot'I, baik al-Quran ataupun hadist mutawatir, dan mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadist ahad. Hal ini, karena bagi imam Malik, amal penduduk madinah hampir mencapai tingkat hadist mutawatir karena mereka tidak akan melakukan itu kecuali atas petunjuk Nabi.
       Ada banyak contoh yang ditampilkan al-Buthy dalam masalah ini. Namun, disini penulis hanya akan menampilkan beberapa contoh saja, sekedar sebagai bukti ketidakbenaran asumsi bahwa sebagian sahabat dan aimmah mendahulukan maslahah daripada al-Quran atau as-Sunnah.
Pertama, kebijakan Umar menghentikan pendistribusian zakat kepada para Mu'allaf. Sebagian pihak berasumsi kebijakan ini didasarkan kepada pengutamaan maslahah daripada teks al-Quran, namun menurut al-Buthy asumsi ini tidak benar. Sebab, kebijakan ini tidak lebih dari aplikasi kaidah, al-hukmu yaduru ma'a 'illatihi wujudan wa 'adaman. Bagi Umar illat pemberian zakat kepada Mu'allaf adalah untuk melunakkan hati mereka demi agama. Dalam ilmu Ushul Fikih(teori hukum islam)dijelaskan ketika sebuah hokum digantungkan pada kalimat yang berbentuk isim musytaq maka akar kata isim itu adalah illathokum tersebut[3]. Penggunaan kata Muallafah menunjukkan bahwa factor melunakkan hati itu adalahillat pemberian zakat, sebagaimana factor kefakiran dan kemiskinan adalah penyebab seseorang berhak diberi harta zakat. Karenanya, bagi Umar Mu'allaf pada masanya sudah tidak berhak mendapakan zakat lagi karena Islam sudah mengalami kejayaan sehingga tidak perlu lagi merebut hati orang lain melalui zakat. Cara berpikir seperti ini sama sekali tidak keluar dari teks akan tetapi ini merupakan aplikasi muara hokum yang merupakan salah satu fase ijtihad yang didalam buku-buku Ushul Fikih disebut Tahqiq al-Manath.
Kedua, keputusan Umar tidak menghukum potong tangan terhadap pencuri di masa paceklik. Dalam hal ini, Umar dinilai telah berani memberikan putusan yang berlawanan dengan ketentuan teks al-Quran hanya demi kemaslahatan. Namun, menurut al-Buthy anggapan ini juga sama sekali tidak benar. Sebab, pada hakikatnya firman Allah, wa as-Sariqu wa as-Sariqatu faqtha'uw aydiyahuma adalah teks yang berbentuk umum yang mungkin untuk dipersempit cakupannya dengan cara dikaitkan dengan teks-teks yang lain. Ada banyak sekali dalil-dalil yang dapat mempersempit cakupan ayat ini. Diantaranya adalah hadits yang menjelaskan batas minimal nominal barang yang dicuri, hadits yang menjelaskan adanya perintah untuk menghindari hudud tatkala terdapat syubhat, dll. Dalam pristiwa pencurian itu Umar menganggap kondisi kelaparan yang merajalela termasuk bagian dari syubhat yang dapat menggugurkan had. Kondisi demikian menyebabkan ada syubhat hak bagi para pencuri karena seseorang yang berada dalam kondisi darurat diperbolehkan untuk mengambil barang orang lain meskipun tanpa izin pemilik dengan syarat tidak melebihi kebutuhannya. Maka mungkin saja kondisi darurat itulah yang mendorong mereka untuk melakukan pencurian.  
Ketiga, pendapat Hanafiyyah mengenai tidak adanya hukuman had pengasingan terhadap pelaku zina. Sebagian pihak menilai pendapat ini dibangun berdasarkan pengutamaan maslahah perlindungan agama terhadap ketentuan teks hadist ahad yang menjelaskan hukuman pelaku zina yang masih perawan adalah sanksi dera(jilid)seratus kali dan diasingkan selama satu tahun.  Namun, asumsi ini menurut al-Buthy juga tidak benar. Ia menulis, dalil pendapat Hanafiyyah ini, sebagaiman ditulis as-Sarkhosy(w. 490 H.) adalah firman Allah yang artinya, maka jilidlah tiap-tiap dari mereka dengan delapan puluh jilidan(QS, an-Nur 24). Dalam ayat ini, menurut mereka Allah menjadikan sanksi dera sebagai total Had zina. Jika disamping itu diwajibkan deportasi pelaku zina maka akan berarti sanksi dera adalah sebagian Had bukan total Had. Hal ini termasuk penambahan terhadap teks al-Quran, sementara penambahan terhadap teks menurut mereka termasuk naskh dan hadist ahad tidak boleh menaskh ketentuan teks al-Quran atau hadist mutawatir karena ia adalah dlonni  sementara al-Quran atau hadist mutawatir adalah qoth'i. Dari cara berpikir seperti, Hanafiyyah berpendapat deportasi(pengasingan)pelaku zina bukanlah termasuk had tetapi ta'zir yang ketentuannya diserahkan pada kebijakan imam.  
Ketiga, pendapat imam Malik bahwa orang zindik harus dibunuh meski mengucapkan dua kalimah syahadah. Pendapat ini oleh sebagian kalangan dinilai sebagai hasil ijtihad imam Malik yang didasarkan pada pengutamaan maslahah terhadap teks as-Sunnah yang memerintahkan untuk tidak membunuh orang yang membaca dua syahadah meskipun ia orang munafik. Namun asumsi ini juga ditolak oleh al-Buthy. Menurutnya,  makna kata "al-Nas" dalam hadist tersebut adalah orang-orang musyrik, kafir kitabi, orang-orang muslim dan orang-orang munafik. Sementara klompok zindik baru muncul setelah kewafatan Nabi ketika islam sudah semakin meluas. Bagi para pemilik pendapat ini, orang-orang zindik masuk dalam klompok orang yang jelas-jelas kafir. Mereka tidak  bisa dimasukkan dalam katagori  orang munafik dipandang dua hal. Pertama, orang munafik adalah orang yang menyembunyikan kekufurannya dengan menampakkan diri sebagai orang muslim, sementara oang zindik adalah orang yang tidak menganut agama apapun. Kedua, orang munafik tidak mudah diketahui hakikat kekufurannya kecuali berdasarkan dugaan-dugaan. Sementara orang zindik kekufurannya dapat dengan mudah diketahui sehingga ketika itu tersingkap mereka segera membaca dua syahadat.    

  1. 3.     Tidak bertentangan dengan al-Qiyas
          Dalam istilah hubungan kata, antara qiyas dengan akomodasi terhadap maslahah adalah al-'umum wa al-khusus al-muthlaq, artinya dua kata yang salah satunya umum sedangkan yang lain adalah khusus, keduanya terdapat dalam sesuatu, sementara yang umum terdapat dalam sesuatu yang lain secara tersendiri. Qiyas dan akomodasi maslahah terdapat dalam masalah far‘(kasus baru yang sedang dicari hukumnya) yang dianalogikan dengan ashl (kasus lama yang sudah ada ketetapan hukumnya baik dari nash ataupun ijma') karena terdapat illat (ratio-legis) yang menggabungkan keduanya. Sedangkan akomodasi maslahah secara mutlak wujud secara tersendiri tanpa qiyas dalam maslahah mursalah. Dengan  demikian, setiap qiyas merupakan bentuk akomodasi terhadap maslahah, namun akomodasi terhadap maslahah belum tentu merupakan qiyas. Berdasarkan ini, qiyas memiliki kelebihan dari akomodasi terhadap maslahah dengan wujudnya illat(kausa) yang menggabunggkan antara kasus lama dengan kasus baru. Karenanya, sangat tidak benar jika akomodasi maslahah diutamakan daripada qiyas.
Untuk membuktikan kebenaran dhobit ini maka kita perlu memahami hakikat qiyas. Secara singkat qiyas didefinisikan dengan menyamakan kasus baru yang belum ada kejelasan hukumnya dengan kasus lama yang sudah dijelaskan hukumnnya, baik oleh Nash ataupun Ijma'. Dengan demikian hakikat qiyas terdiri dari empat pilar yaitu Ashl, Far', hukum Ashl, dan Illat.  Dari keempat pilar qiyas ini yang menjadikan pebedaan mendasar antara qiyas dengan akomodasi terhadap maslahah secara mutlak adalah pilar pertama yaitu Ashl. Sebab, akomodasi terhadap maslahah secara mutlak hanyalah memiliki dua pilar yaitu Far' dan illat yang dalam pandangan Mujtahid memiliki kesesuaian dengan maslahah yang diakui oleh Syara'.
          Qiyas bisa menjadi dalil yang legal apabila keempat pilar tersebut sudah memenuhi syarat-syarat tertentu, yang mayoritasnya berkisar pada syarat-syarat illat, yiatu antara lain adalah:
  • Keberadaan illat tersebut didalam hukum Ashal harus diakui. Artinya illat tersebut ditunjukkan oleh nash atau ijma' atau berupa sifat yang pantas dan sesuai menjadi muara hukum.
  • Illat tersebut harus wujud di dalam far'.
  • Pengakuan terhadap illat tersebut tidak menyebabkan batalnya hukum ashl.
  • berupa sifat yang jelas dan bisa dibatasi dengan akal.
          Menurut al-Buthy, syarat-syarat ini tidak lain adalah untuk mengetahui bahwa sebuah illat  memang diakui oleh syara', sehingga ia bisa legal dijadikan sebagai muara penetapan hukum. Kemudian untuk memahami letak terjadinya kontradiksi antara  maslahah dengan qiyas dan kontradiksi antara qiyas itu sendiri, serta mana yang yang harus diprioritaskan, maka kita perlu mengetahui stratifikasi al-Washf al-Munasib  dilihat dari sisi diakui atau tidaknya, sebagaimana berikut ini:
  • al-Munasib al-Mulgha yaitu suatu sifat yang ditolak oleh Syari' untuk dijadikan sebagai muara hukum yaitu dengan cara memberlakukan hukum tidak sesuai dengan sifat tersebut. Contoh paling populer tentang hal ini adalah fatwa imam Yahya ibn Yahya al-Laitsy al-Maliky terhadap seorang raja ketika ia meminta fatwa terkait tindakannya, mennyetubuhi istrinya pada siang hari bulan Ramadan. Imam Yahya berfatwa ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Hal ini, karena menurutnya kaffarat disyariatkan untuk tujuan menjerakan sementara yang efektif bagi seorang raja hanyalah puasa berturut-turut selama dua bulan. Namun ini ditolak oleh Syari' karena dalam hal ini--sebagaimana ditulis al-Syatibi didalam al-I'tishom--hanya ada dua alternatif yaitu mengikuti pendapat syafiiyah yang mengatakan kaffarat ini adalah kaffaratyang harus tertib atau mengikuti pendapat Malikiyyah yang mengatakan kaffarat ini kaffarat takhyir.[4]
  • al-Munasib al-Mursal yaitu suatu sifat yang yang mana tidak pernah ditemukan dalil-dalil syar'i yang spesifik baik yang mengakui ataupun menolaknya. Sifat ini terbagi menjadi dua macam.Pertama, al-Mursal al-Ghorib yaitu apabila antara jenis sifat tersebut dengan jenis hukum atau antara jenis salah satu dari keduanya dengan macam yang lain tidak ada korelasi yang diakui oleh Syari'. Sifat seperti ini sama dengan sifat yang jelas-jelas tidak diakui oleh Syari'. Kedua, Mulaim al-Mursal atau biasa disebut al-Maslahah Mursalah yaitu apabila antara jenis sifat dengan jenis hukum atau antara jenis salah satunya dengan macam yang lain ada korelasi yang diakui Syari'. Dalam analisis al-Buthy terhadap berbagai referensi  mengenai masalah ini dapat disimpulkan bahwa secara global sifat semacam ini diterima oleh para ulama secara konsensus.
  • al-Munasib al-Mula'im yaitu suatu sifat yang yang tidak ditetapkan oleh Nash atau Ijma' sebagaiillat suatu hukum tertentu namun ada hukum lain berdasarkan Nash atau Ijma' yang ditetapkan berdasarkan kesesuaian dengan sifat tersebut. Sifat ini, menurut al-Buthy tidak lepas dari dua hal. Pertama, pengakuan Syari' terhadap sifat tersebut terbatas pada hukum yang ditetapkan berdasarkan kesesuainnya dengan sifat itu. Hal ini, seperti tindak kejahatan yang dilakukan seseorang karena ingin lebih cepat memperoleh keinginannya. Sifat ini secara rasio layak untuk menjadi pencegah sampainya pelaku kejahatan untuk memperoleh keinginannya. Namun ketika dilakukan pengkajian ternyata hanya ditemukan satu hukum syar'i yang ditetapkan berdasarkan kesesuaian dengan sifat tersebut yaitu tercegahnya pembunuh untuk mendapatkan warisan dari orang yang terbunuh. Selain ini tidak ditemukan hukum lain yang ditetapkan berdasarkan sifat itu, baik dengan jalan menetapkan hokum sejenis berdasarkan kesesuaian dengan sifat sejenis , hukum itu sendiri bedasarkan sifat sejenis, ataupun hokum sejenis berdasarkan sifat itu sendiri. Jenis sifat dalam contoh ini adalah ketergesa-gesaan untuk memperoleh sesuatu sebelum waktunya, sedangkan jenis hukumnya adalah terhalang untuk memperoleh keinginan. Ketika dilakukan pengkajian tidak pernah ditemukan nash atau ijma' menetapkan jenis hukum ini berdasarkan jenis sifat tersebut. Oleh karenanya, ia merupakan sifat yang asing yang sehingga dinilai sebagai yang rendah dari macam-macam sifat yang layak dijadikan sebagai muara penetapan hukum oleh Syari'. Namun secara global ia masih layak untuk dijadikan pedoman dalam qiyas. Karenanya, suami yang menceraikan istrinya pada saat ia sakit yang biasa berakhir kematian bisa dianalogikan dengan orang yang membunuh dengan alasan keduanya sama-sama tindakan terlarang untuk tujuan yang jelek. Kedua, suatu sifat yang disamping ada hukum ditetapkan berdasarkan kesesuaian dengan sifat tersebut juga ada hal lain yang bisa dijadikan jalan untuk menjadikannya sebagai illat yaitu adanya hukum lain yang sejenis ditetapkan berdasarkan sifat sejenisnya, hukum itu sendiri juga ditemukan ditetapkan berdasarkan sifat sejenis atau hukum yang sejenis diterapkan berdasarkan sifat itu sendiri.   
  • al-Munasib al-Muatstsir yaitu suatu sifat yang mana nash atau ijma' menetapkannya sebagaiillat hukum. Misalnya adalah sifat Shighor terkait dengan kekuasaan wali terhadap anak kecil, mencuri terkait dengan hukum potong tangan dll.
          Berdasarkan stratifikasi diatas al-Buthy kemudian memberikan contoh tentang hukum meminum Bir. Sebagian kalangan barangkali akan berpandangan bahwa dalam Bir terdapat sifat yang layak untuk dijadikan sebagai illat kehalalan meminumnya yaitu adanya rasa enak ataupun faidah lain yang diasumsikan sebagai illat, namun dalam Bir juga terdapat sifat lain yaitu termasuk jenis minuman yang memabukkan yang notabene ia adalah illat keharaman khomr. Dalam hal ini berarti terjadi kontradiksi antara sesuatu yang diasumsikan sebagai maslahah dengan qiyas, maka qiyas harus didahulukan yaitu dengan menganalogikan Bir dengan Khomr  karena sama-sama memabukkan. Contoh lain adalah masalah potong tangan. Sebagian kalangan berasumsi bahwa dalam potong tangan terdapat sifat Hadmaka adalah sangat layak ia diposisikan dalam posisi dlolman. Dalam hal ini sudah ada hukum qishosyang ditetapkan berdasarkan kesesuaian dengan sifat tersebut yaitu diposisikan qishos tersebut dalam posisi diyat. Dengan demikian, potong tangan bisa disamakan dengan qishos dalam hal bisa menggugurkan kewajiban untuk mengganti barang yang telah dicuri sebagaima dilakukannya qishosmenggugurkan kewajiban membayar diyat. Namun, qiyas ini tidak benar karena dalam pencurian terdapat sifat lain yaitu rusaknya harta ditangan orang jahat sementara sifat ini berdasarkan ijma'berpengaruh terhadap kewajiban mengganti barang ghosoban. Dalam hal ini berarti terjadi kontradiksi antara qiyas yang berdasarkan sifat mulaim dengan qiyas yang berdasarkan sifat Muastsir maka qiyas yang kedua ini harus didahulukan dari pada qiyas pertama.
          Namun, sebagian kalangan barangkali mempertanyakan, jika maslahah tidak boleh bertentangan dengan qiyas maka bagaimana dengan kalangan Hanafiyah dll. yang memakai Istihsan sebagai salah satu metode penggalian hukum mereka?
          Menurut al-Buthy, istihsan sama sekali tidak berlawanan dengan dhobith ini. Sebab, jika kita kaji makna istihsan dan contoh-contoh hukum yang dihasilkan berdasarkan istihsan dalam madzhab Hanafiyyah dan madzhab yang lain ternyata disamping istihsan itu tetap ditemukan dalil-dalil syar'i yang lain yang mereka pakai. Oleh karenanya, istihsan pada dasarnya bukanlah dalil mandiri, istihsanadalah pengecualian dari kaidah karena ada tuntutan dalil lain yang legal. Dari sini, tidak benar jika dikatakan bahwa dengan berdasarkan istihsan berarti Hanafiyyah telah mengunggulkan maslahah  terhadap qiyas. Jika demikian, mengapa as-Syafii dll. Mengingkari Istihsan? Menurut al-Buthy, pengingkaran al-Syafii dll. terhadap istihsan adalah karena kalimat ini merupakan kalimat yang kurang layak digunakan dalam masalah metode penggalian hukum Syar'i karena istihsan adakalanya muncul dari logika saja dan adakalanya muncul dari syara' . Dan yang pertama itulah yang dimaksud al-Syafii dalam statmennya yang terkenal, man istahsana fa qod syarra'a.
  1. 4.     Tidak mengabaikan maslahah yang lebih urgen
        Telah dipaparkan dimuka bahwa tujuan hukum-hukum Syari'ah adalah untuk kemaslahatan manusia. Hal ini meniscayakan semua usaha untuk meraihnya sebanyak mungkin. Oleh karenanya, jika terdapat beberapa maslahah maka langkah awal yang perlu dilakukan adalah meraih maslahah tersebut secara keseluruhan. Namun, ketika beberapa bentuk maslahah tersebut dilematis, maka harus ada salah satu bentuk maslahah yang diprioritaskankan. Menurut al-Buthy ada tiga sudut tinjauan dalam menentukan skala prioritas ini. Pertama tinjauan berdasarkan nilai dan urgensi dari bentuk kemaslahatan tersebut. Kedua tinjauan berdasarkan kadar cakupan kemaslahatan. Ketigatinjauan berdasarkan kemungkinan terjadi.
       Dalam tinjauan pertama telah kita tetahui bahwa seluruh maslahah dipandang dari sisi nilainya tersusun secara sistematis dalam lima tingkatan, yaitu perlindungan terhadap agama, perlindungan tehadap jiwa, perlindungan terhadap akal, perlindungan terhadap keturunan dan perlindungan terhadap harta[5]. Maslahah yang mengandung perlindungan agama didahulukan daripada maslahah yang berkaitan dengan perlindungan jiwa, maslahah yang mengandung perlindungan jiwa didahulukan dari maslahah yang berkaitan dengan perlindungan akal, dan seterusnya. Kemudian cara meraih tiap tiap dari lima kemaslahatan ini dilihat dari tingkat urgensitasnya  memiliki urutan secara sistematis dalam tiga strata yaitu dloruriyyat , hajiyyat dan tahsiniyat. Dengan demikian, apabila terjadi kontradiksi antar strata maslahah, maka strata dlaruriyyat harus dikedepankan dari strata hajiyyat dantahsiniyyat, strata hajiyyat harus diprioritaskan dari strata tahsiniyyat
       Apabila dua bentuk kemaslahatan tersebut berstrata setara, sebagaimana apabila dua bentuk kemaslahatan tersebut sama-sama dalam strata dloruriyat, sama-sama dalam strata Hajiyyat atau sama-sama dalam strata Tahsiniyyat, maka kita perlu menenguk kepada tingkat nilai maslahah tersebut. Dalam hal ini, ada dua kemungkinan.
Pertama, kedua maslahah yang bertentangn berada dalam nilai yang berbeda maka dalam hal ini kita harus mendahulukan maslahah yang nilainya lebih tinggi daripada maslahah yang berada ditingkat bawahnya. Maslahah perlindungan agama didahulukan dari maslahah perlindungan jiwa, maslahah perlindungan jiwa didahulukan dari maslahah perlindungan akal, dan seterusnya.
Kedua, kedua maslahah yang bertentangan berada dalal tingkat nilai yang sama. Hal ini, seperti apabila kedua maslahah tersebut sama-sama terkait dengan perlindungan hak milik atau sama-sama terkait dengan maslahah perlindungan akal. Dalam kondisi demikian maka kita perlu menengok pada tinjauan kedua yaitu tinjauan kadar cakupan kemaslahatan tersebut pada umat.
     Dalam tinjauan kedua ini, maslahah yang berdampak  umum didahulukan daripada maslahah yang berdampak khusus. Oleh karenanya, hak masyarakat untuk menggunakan air dan rumput ditanah tak bertuan didahulukan daripada hak seseorang untuk memilikinya secara penuh, maslahah mempelajari ilmu agama lebih utama daripada melakukan ibadah sunnah, karena manfaat ilmu tidak hanya secara vertical tetapi juga secara horizontal, dan maslahah melindungi pemikiran masyarakat dari kontaminasi ajaran sesat didahulukan daripada hak asasi setiap orang untuk untuk menyampaikan pemikiran dan pendapatnya secara bebas tanpa memperhatian dampak negatifnya kepada masyarakat.
       Selain menggunakan dua tinjauan diatas, dalam menakar skala prioritas maslahah diperlukan pula tinjauan bentuk ketiga, yaitu dengan mempertimbangkan kadar potensi terjadinya maslahah yang diakibatkan dari sebuah tindakan. Hal ini karena setiap tindakan bisa dinyatakan sebagai maslahah atau mafsadah juga berdasarkan akibat yang ditimbulkannya. Jika akibat tindakan itu maslahah maka ia juga dinilai maslahah dan jika akibat yang ditimbulkan adalah mafsadah maka ia juga dinilai mafsadah. Ulama' menjelaskan bahwa maslahah atau mafsadah yang ditimbulkan dari sebuah tindakan adakalanya memiliki potensi bertaraf pasti (mu'akkidah al-waq'i) seperti transaksi harta anak yatim yang dilakukan oleh walinya secara kontan untuk contoh maslahah dan membuat sumur didepan pintu rumah yang gelap untuk contoh mafsadah, sebatas asumsi kuat(madhnun al-waq'i) seperti transaksi harta anak yatim yang tidak dilakukan dengan kontan akan tetapi memakai jaminan untuk contoh maslahah dan menjual anggur pada pada pembuat minuman keras untuk contoh mafsadah, atau bahkan sekedar keragu-raguan atau imajinasi belaka (masykuk aw mauhum al-waq'i) seperti transaksi harta anak yatim tidak secara kontan serta tidak memakai jaminan,. Dalam kaitannya dengan skala prioritas terhadap dua bentuk maslahah ini, tidak dibenarkan melakukan pengunggulan (tarjih) yang hanya berdasarkan akibat yang memiliki potensi maslahah dengan taraf keragu-raguan atau imajinasi.Tarjih hanya dibenarkan bila berdasarkan dua klasifikasi awal, yakni tindakan yang memiliki potensi maslahah dengan taraf pasti atau asumsi.
        Dasar dlobit ini, menurut al-Buthy diantaranya adalah sabda Nabi; Iman memiliki lebih dari tiga puluh cabang, yang paling tinggi adalah bersaksi tiada tuhan selain Allah sedangkan yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu dari jalan(HR, an-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah). Sabda Nabi ini, menurutnya, menunjukkan bahwa maslahah yang diakui syara' memiliki perbedaan tingkat urgensi. Karenanya, jika maslahah yang paling tinggi berada pada persaksian keesaan Allah dan yang paling rendah adalah membuang sesuatu yang mengganggu dari jalan maka tentu saja maslahah yang berada diantara keduanya juga memiliki tingkat urgensi yang berbeda sesuai dekat dan jauhnya dengan tiap-tiap dari dua maslahah tersebut.
       Termasuk dalilnya juga adalah firman Allah dalam al-Quran; Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang, niscaya Kami hapus kesalahah-kesalahanmu dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia(Surga)(QS, an-Nisa' 31). Menurut al-Buthy, ayat ini menunjukkan bahwa kemaksiatan menimbulkan dosa yang berbeda-beda. Dan perbedaan dosa ini tidak bisa diakibatkan oleh perbedaan kekuatan tuntutan untuk meninggalkannya, karena tuntutan yang mantap(tholab jazim)dilihat dari subtansinya tidak berbeda. Akan tetapi, perbedaan itu diakibatkan oleh perbedaan mafsadah yang ditimbulkannya. Memandang mafsadah adalah lawan dari maslahah maka perbedaan mafsadah itu tentu saja merupakan cabang dari perbedaan urgensi maslahah.
      Kemudian mengenai standar perbedaan nilai dan stratifikasi urgensi maslahah diatas menurut al-Buthy adalah berdasarkan penelitian(istiqra') terhadap hokum-hukum partikular. Pensyariatan jihad di jalan Allah meski harus mengorbankan jiwa menunjukkan perlindungan agama didahulukan dari perlindungan jiwa, Konsensus Ulama', diperbolehkan meminum minuman keras ketika dalam kondisi darurat menunjukkan perlindungan jiwa diutamakan daripada perlindungan akal, konsensus ulama' bahwa sanksi dera atas pelaku zina tidak boleh sampai mengakibatkan kematian atau rusaknya akal, menunjukkan perlindungan jiwa dan akal lebih diutamakan daripada perlindungan nasab, dan larangan menjadikan perbuata zina sebagai sarana mendapatkan uang menunjukkan perlindungan nasab lebih diutamakan daripada perlindungan hak milik.
       Kewajiban untuk berjihad meski bersama pemimpin yang jahat menunjukkan bahwa mewujudkan kebutuhan dlaruriyyat(primer)diutamakan dari kebutuhan hajiyyat(skunder)dalam perlindungan agama. Keharusan melaksanakan sholat berjama'ah meski dengan Imam yang jahat menunjukkan kebutuhan hajiyyah didahulukan daripada kebutuhan tahsiniyyat(tersier), demikian pula kewajiban sholat bagi orang yang tidak menemukan penutup aurat menunjukkan kebutuhan hajiyyat didahulukan dari tahsiniyyat.
  1. II.                Kaidah-kaidah yang Bisa Dinilai Kontaradiktif  dengan Batas-batas Maslahah
        Sebagai penutup pembahasan batas-batas maslahah, al-Buthy menampilkan beberapa kaidah yang bisa saja dipahami secara kontaradiktif dengan dhobith-dhobith di atas yaitu kaidah al-masyaqqah tajlib al-taysir, taghoyyur al-ahkam bi taghoyyur al-azman, dan al-hiyal al-syar'iyyah.Namun menurutnya, kaidah-kaidah tersebut jika dikaji secara komprehensip dan tidak sepotong-potong sama sekali tidak ada kontradiksi dengan dlôbith-dhôbith tersebut. Sebab, keringanan yang diberikan pada orang Mukallaf  karena masyaqqah yang ia rasakan dalam melaksanakan hukum-hukum syariah adalah dispensasi yang tidak boleh berlawanan dengan dalil-dalil syariah. Masyaqqoh perang bagi para tentara misalnya, tidak boleh sampai memperbolehkan mereka meninggalkan sholat atau mengakhirkan ke luar waktunya, kesulitan untuk menghindari praktek riba pada masa ini tidak boleh sampai memperbolehkan bertransaksi dengan cara riba tersebut, demikian pulamasyaqqah-masyaqqah yang lain tidak boleh melebihi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan syara'.
        Perubahan hukum kerena perubahan zaman juga hanya berlaku dalam masalah-masalah yang penerapannya dikembalikan pada kebijakan pemerintah atau masalah-masalah yang oleh syara' tidak diberi ketentuan pasti dan dikembalikan kepada Urf, maka sudah tentu ketika 'Urf  mengalami perubahan, hukum itu juga akan mengalami perubahan. Hal ini, seperti perbedaan istilah masyarakat dalam pengungkapan serah terima yang menjadi muara hokum dalam berbagai transaksi, bentuk-bentuk tindakan yang dapat menggugurkan harga diri seseorang yang merupakan muara hokum bisa diterima atau tidaknya persaksian seorang saksi, dan contoh-contoh yang lain yang tidak diberi batasan pasti oleh syara'. Dalam hal ini, berlaku kaidah, setiap sesuatu yang tidak memiliki batasan pasti didalam syara' dan bahasa maka ketentuannya dikembalikan kepada Urf.
      Demikian pula rekayasa untuk melegalkan sesuatu yang berdasarkan ketentaun nash merupakan sesuatu yang terlarang dengan cara mengganti kata-kata atau cara-cara yang lain juga disyaratkan berdasarkan cara-cara yang sesuai dengan ketentuan Syara'. Oleh karenanya, banyak sekali praktekhilah yang disepakati keharamannya oleh para ulama, kendati secara dhohir  praktek hilah tersebut menyampaikan pihak pelaku kepada tujuannya, karena tidak menggunakan cara-cara yang legal secara syar'i. Seperti praktek hilah yang dilakukan oleh seseorang yang hendak menghindar darikaffarat bersetubuh di siang hari puasa ramadon dengan cara makan terlebih dahulu sebelum melakukan persetubuhan, praktek hilah yang dilakukan seorang istri yang ingin berpisah dari suaminya dengan cara melakukan perbuatan yang dapat mengeluarkannya dari islam(murtad), atau praktekhilah yang dilakukan oleh pihak terdakwa terhadap saksi yang didatangkan oleh pihak pendakwa dengan menciptakan permusuhan dengan saksi tersebut, sehingga akibat itu persaksiannya tidak bisa diterima.
  1. III.             Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan, meski benar bahwa maslahah merupakan spirit teks-teks syariat, namun hal itu tidak berarti bahwa maslahah bisa dijadikan amunisi untuk menganulir ketentuan-ketentuan teks. Maslahah di dalam syariat Islam memiliki batas-batas nalar yang jelas, yang harus selalu dijadikan pedoman oleh para mujtahid dan pengkaji hukum Islam. Mengabaikan batas-batas nalar tersebut di dalam penggunaan maslahah sama halnya dengan mengginginkan buah dari sebuah pohon dengan mencabut akar-akarnya. Dalam hal ini, tentu tidak mungkin buah akan diperoleh. Oleh karenanya, pengetahuan mengenai batas-batas nalar maslahah tersebut tidak saja merupakan suatu yang urgen tetapi juga merupakan sesutau yang seharusnya diketahui terlebih oleh para mujtahid dan pengkaji hukum Islam.
  1. VII.       Bibliografi 
  2. Al-Buthy, Muhammad Said Ramadlan al-Buthy. Dlowâbith al-Maslahah fî as-Syarîah al-Islâmiyyah. Cet.ke-7. Dâr el-Muassasah.
  3. As-Sullamy, Izz ad-Din Abd 'Aziz Ibn 'Abd as-Salam. 1999.  Qawâ'id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm. Cet.ke-1. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.
  4. Al-Ghazâly, Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad. 2007.  al-Mustashfâ Min 'Ilmi al-Ushûl. Cet.ke-1. Muassasah ar-Risalah.
  5. Ar-Raisuny, Ahmad. 1996. Nadhâriyyah al-Maqâshid 'Inda al-Imâm asy-Syâtiby. Cet.ke-2. al-Dâr al-'Imiyyah li al-Kitab al-Islamy.
  6. Asy-Syatiby, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Lakhmy al-Ghurnathy, al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari'ah, Beirut, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, cet. Ke-1, 2004 M.
  7. Asy-Syatiby, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Lakhmy al-Ghurnathy, al-I'tisham, Dar al-Ma'rifah, Cet.0
  8. Al-Baghdady, Abu al-Fath Ahmad ibn 'Aly ibn Burhan, al-Wushul ila al-Ushul, Riyad, Maktabah al-Ma'arif, Cet.-ke I, 1984 M.
  9.  Thohari Muslim dan Muhammad Kholid Afandi, Maqoshid as-Syari'ah dan Dhawabith al-Mashlahah; pergulatan seputar wacana, , Lirboyo Kediri 2005 M.
*


[1]. Muhammad Said Ramadlan al-Buthy, al-Insan Musayyar am Mukhayyar,( Damasykus Dar al-Fikr) cet. ke-0 h.168   

[2] . Maksud secara perorangan disini adalah jumlah periwatnya tidak mencapai jumlah priwayat hadits mutawatir.(lihat,  Ghayah al-Wushul 'Ala syarhi Lubbi al-Ushul,)

[3] . Ahmad ibn 'Ali ibn Burhan al-Baghdady, al-Wushul ila 'al-Ushul( Riyad Makatabah al-Ma'arif) cet. Ke-1, 1984 M. juz 2 h. 283

[4] .  Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Lakhmy al-Ghurnathy asy-Syatiby, al-I'tisham, (Dar al-Ma'rifah), Cet.-ke 0, jilid 2, h 113.


1. Menurut al-Buthy urutan skala prioritas seperti ini merupakan consensus Ulama'. Sementara menurut az-Zuhaily, Malikiyyah dan Syafiiyah mengurutkan sebagai berikut, perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan kemudian perlindungan atas harta. Sedangkan Hanafiyyah mengurutkan dengan urutan sebagai berikut, perlindungan terhadap agama, jiwa, nasab, akal lalu perlindungan atas harta. Akan tetapi al-Raisuni menilai al-Buthy dan az-Zuhaily dalam hal ini terlalu jauh melangkah.  Sebab, urutan-urutan seperti ini menurutnya, murni ijtihad pribadi dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan madzhab fikih. Kedua urutan tersebut sebenarnya muncul dari ahli Ushul Syafiiyah, lalu diikuti oleh ahli Ushul Malikiyyah dan Hanafiyyah. (lihat, al-Raisuni, Nadhoriyyah al-Maqoshid 'Inda asy-Syatiby h. 46)


.

PALING DIMINATI

Back To Top