Bismillahirrohmaanirrohiim

Analisis Hadis Tawassul : Hadis Utsman bin Hunaif

Hadis Utsman bin Hunaif merupakan hadis yang menjadi bantahan telak bagi para pengingkar tawassul yang lebih dikenal dengan sebutan “salafy”. Hadis ini menjadi dasar dibolehkannya tawassul kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam baik ketika Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam hidup maupun wafat. 
حدثنا طاهر بن عيسى بن قيرس المصري التميمي حدثنا أصبغ بن الفرج حدثنا عبد الله بن وهب عن شبيب بن سعيد المكي عن روح بن القاسم عن أبي جعفر الخطمي المدني عن أبي أمامة بن سهل بن حنيف عن عمه عثمان بن حنيف أن رجلا كان يختلف إلى عثمان بن عفان رضي الله عنه في حاجة له فكان عثمان لا يلتفت إليه ولا ينظر في حاجته فلقي عثمان بن حنيف فشكا ذلك إليه فقال له عثمان بن حنيف ائت الميضأة فتوضأ ثم ائت المسجد فصلي فيه ركعتين ثم قل اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد صلى الله عليه و سلم نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربك ربي جل وعز فيقضي لي حاجتي وتذكر حاجتك ورح إلي حتى أروح معك فانطلق الرجل فصنع ما قال له عثمان ثم أتى باب عثمان فجاء البواب حتى أخذ بيده فأدخله عثمان بن عفان فأجلسه معه على الطنفسة وقال حاجتك فذكر حاجته فقضاها له ثم قال له ما ذكرت حاجتك حتى كانت هذه الساعة وقال ما كانت لك من حاجة فأتنا ثم ان الرجل خرج من عنده فلقي عثمان بن حنيف فقال له جزاك الله خيرا ما كان ينظر في حاجتي ولا يلتفت إلي حتى كلمته في فقال عثمان بن حنيف والله ما كلمته ولكن شهدت رسول الله صلى الله عليه و سلم وأتاه ضرير فشكا عليه ذهاب بصره فقال له النبي صلى الله عليه وآله وسلم أفتصبر فقال يا رسول الله إنه ليس لي قائد وقد شق علي فقال له النبي صلى الله عليه و سلم إئت الميضأة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم ادع بهذه الدعوات قال عثمان فوالله ما تفرقنا وطال بنا الحديث حتى دخل علينا الرجل كأنه لم يكن به ضرر قط
Telah menceritakan kepada kami Thahir bin Isa bin Qibarsi Al Mishri At Tamimi yang berkata menceritakan kepada kami Asbagh bin Faraj yang berkata menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Wahb dari Syabib bin Sa’id Al Makkiy dari Rawh bin Qasim dari Abu Ja’far Al Khatami Al Madini dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif dari pamannya Utsman bin Hunaif bahwa seorang laki-laki berkali-kali datang kepada Utsman bin ‘Affan radiallahu ‘anhu untuk suatu keperluan [hajat] tetapi Utsman tidak menanggapinya dan tidak memperhatikan keperluannya. Kemudian orang tersebut menemui Utsman bin Hunaif dan mengeluhkan hal itu. Maka Utsman bin Hunaif berkata “pergilah ke tempat berwudhu’ dan berwudhu’lah kemudian masuklah ke dalam masjid kerjakan shalat dua raka’at kemudian berdoalah “Ya Allah aku memohon kepadamu dan menghadap kepadamu dengan Nabi kami, Nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad aku menghadap denganmu kepada TuhanMu Tuhanku agar memenuhi keperluanku” kemudian sebutkanlah hajat atau keperluanmu, berangkatlah dan aku dapat pergi bersamamu. Maka orang tersebut melakukannya kemudian datang menghadap Utsman, ketika sampai di pintu Utsman penjaga pintu Utsman memegang tangannya dan membawanya masuk kepada Utsman bin ‘Affan maka ia dipersilakan duduk disamping Utsman. Utsman berkata “apa keperluanmu” maka ia menyebutkan keperluannya dan Utsman segera memenuhinya. Utsman berkata “aku tidak ingat engkau menyebutkan keperluanmu sampai saat ini” kemudian Utsman berkata “kapan saja engkau memiliki keperluan maka segeralah sampaikan”. Kemudian orang tersebut pergi meninggalkan tempat itu dan menemui Utsman bin Hunaif, ia berkata “Semoga Allah SWT membalas kebaikanmu, ia awalnya tidak memperhatikan keperluanku dan tidak mempedulikan kedatanganku sampai engkau berbicara kepadanya tentangku”. Utsman bin Hunaif berkata “Demi Allah, aku tidak berbicara kepadanya, hanya saja aku pernah menyaksikan seorang buta menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengeluhkan kehilangan penglihatannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “bersabarlah”. Ia berkata “wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penuntun yang dapat membantuku dan itu sungguh sangat menyulitkanku”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata “pergilah ke tempat wudhu’, berwudhu’lah kemudian shalatlah dua rakaat kemudian berdoalah” yaitu doa ini. Utsman bin Hunaif berkata “demi Allah kami tidaklah berpisah dan berbicara lama sampai ia datang kepada kami dalam keadaan seolah-olah ia tidak pernah kehilangan penglihatan sebelumnya” [Mu’jam As Shaghir Ath Thabrani 1/306 no 508]
Hadis ini diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam As Shaghir 1/306 no 508 danMu’jam Al Kabir 9/30 no 8311 dengan jalan dari Abdullah bin Wahb dari Syabib bin Sa’id Al Makki dari Rawh bin Qasim dari Abu Ja’far Al Khatami dari Abu Umamah bin Sahl dari Utsman bin Hunaif. Dan diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Dala’il An Nubuwah 6/167 dengan jalan dari Ismail bin Syabib dari ayahnya Syabib bin Sa’id Al Makki dari Rawh bin Qasim dari Abu Ja’far Al Khatami dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif. Kemudian diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Dala’il An Nubuwah 6/168 dan Abdul Ghani Al Maqdisi dalam At Targhib fi Du’a no 61 dengan jalan dari Ahmad bin Syabib bin Sa’id dari ayahnya Syabib bin Sa’id Al Makki dari Rawh bin Qasim dari Abu Ja’far Al Khatami dari Abu Umamah bin Sahl dari Utsman bin Hunaif.
Kedudukan hadis ini adalah shahih. Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya dimana Syabib bin Sa’id seorang yang tsiqat dan telah meriwayatkan hadis ini darinya Abdullah bin Wahb seorang yang tsiqat dan kedua anaknya Ahmad bin Syabib yang tsiqat dan Ismail bin Syabib yang tidak dikenal kredibilitasnya. Berikut para perawi Thabrani
  • Thahir bin Isa At Tamimi adalah syaikh Thabrani yang tsiqat dimana Ath Thabrani sendiri telah menshahihkan hadisnya dalam Mu’jam As Shaghir. Ibnu Makula menyatakan ia tsiqat [Al Ikmal 1/296]
  • Asbagh bin Faraj adalah seorang yang tsiqat. Ia adalah perawi Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i. Al Ijli berkata “tsiqat”. Abu Hatim berkata “shaduq”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Abu ‘Ali bin Sakan berkata “tsiqat tsiqat” [At Tahdzib juz 1 no 657]. Ibnu Hajar menyatakan “tsiqat” [At Taqrib 1/107]
  • Abdullah bin Wahb bin Muslim adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Abu Hatim berkata “shalih al hadits, shaduq lebih saya sukai daripada Walid bin Muslim”. Abu Zur’ah menyatakan tsiqat. Al Ijli berkata “tsiqat”. As Saji berkata “shaduq tsiqat”. Al Khalili berkata “disepakati tsiqat”. [At Tahdzib juz 6 no 141]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat ahli ibadah dan hafizh [At Taqrib 1/545]
  • Syabib bin Sa’id At Tamimi adalah perawi Bukhari dan Abu Dawud yang tsiqat. Ali bin Madini menyatakan ia tsiqat. Abu Zur’ah dan Abu Hatim berkata “tidak ada masalah padanya”. Daruquthni menyatakan tsiqat. Adz Dzuhli menyatakan tsiqat. Ath Thabrani menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 534]. Al Hakim berkata “tsiqat ma’mun” [Al Mustadrak no 1929]. Ibnu Hajar berkata “tidak ada masalah pada hadisnya jika yang meriwayatkan darinya adalah anaknya Ahmad tetapi tidak untuk riwayatnya dari Ibnu Wahb” [At Taqrib 1/411]. Dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang tsiqat kecuali riwayatnya dari Ibnu Wahb [Tahrir At Taqrib no 2739].
  • Rawh bin Qasim At Tamimi adalah perawi Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i yang dikenal tsiqat. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Abu Hatim dan Ahmad bin Hanbal menyatakan tsiqat. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 557]. Ibnu Hajar menyatakan “tsiqat hafizh” [At Taqrib 1/305]
  • Abu Ja’far Al Khatami adalah Umair bin Yazid Al Anshari perawi Ashabus Sunan yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Hibban, Ibnu Numair, Al Ijli dan Ath Thabrani menyatakan “tsiqat” [At Tahdzib juz 8 no 628]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/756] dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 5190]
  • Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Diperselisihkan apakah ia sahabat atau bukan. Ia dinyatakan hidup di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi tidak mendengar hadis darinya. Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat dan Abu Hatim berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 1 no 497]
Tidak diragukan lagi para perawi riwayat Thabrani di atas adalah para perawi tsiqat. Tetapi sanad tersebut mengandung illat [cacat] yaitu yang meriwayatkan dari Syabib bin Sa’id At Tamimi adalah Ibnu Wahb dan Ibnu Ady mengatakan kalau telah meriwayatkan Ibnu Wahb dari Syabib hadis-hadis munkar [Al Kamil Ibnu Ady 4/30]. Ibnu Ady membawakan hadis-hadis yang menjadi bukti bahwa riwayat Ibnu Wahb dari Syabib adalah mungkar tetapi setelah kami teliti hadis-hadis tersebut tidaklah tsabit untuk dikatakan mungkar. Tetapi kami tidak perlu membahas hal ini karena pada hadis ini perawi yang meriwayatkan dari Syabib bin Sa’id At Tamimi tidak hanya Abdullah bin Wahb tetapi juga anaknya yaitu Ahmad bin Syabib bin Sa’id At Tamimi.
Ahmad bin Syabib bin Sa’id At Tamimi adalah salah satu guru Bukhari yang tsiqat. Abu Hatim menyatakan ia tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil 2/54-55 no 70]. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Ats Tsiqat juz 8 no 12050]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/36] tetapi dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau ia seorang yang tsiqat [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 46]
Oleh karena itu tidak diragukan lagi kalau kedudukan hadis ini shahih. Dan seperti biasa salafy yang mengingkari tawasul berusaha mencacatkan hadis ini dengan melemahkan Syabib bin Sa’id At Tamimi seperti yang dilakukan Syaikh Al Albani dan pengikutnya. Syaikh Al Albani dan pengikutnya mengatakan hadis Syabib bin Sa’id shahih jika memenuhi dua syarat yaitu pertama:  yang meriwayatkan darinya adalah Ahmad bin Syabib dan keduaSyabib meriwayatkan dari Yunus bin Yazid dan yang tidak memenuhi kedua persyaratan tersebut maka riwayatnya dhaif. Sudah jelas persyaratan yang mereka tetapkan itu ngawur dan tidak ada dasarnya sama sekali.
Syabib bin Sa’id telah mendapat predikat ta’dil dari para ulama terdahulu, tidak ada dari mereka ulama yang menta’dilkan Syabib mencacatkan hadisnya Syabib bin Sa’id atau membuat persyaratan-persyaratan aneh. Satu-satunya cacat yang ada padanya adalah apa yang dinukil dari Ibnu Ady bahwa hadisnya yang diriwayatkan dari Ibnu Wahb terdapat hadis-hadis mungkar. Tentu saja bukan berarti semua hadis Ibnu Wahb dari Syabib dinilai mungkar, jika perkataan Ibnu Ady ini dijadikan pegangan maka hadis Ibnu Wahb dari Syabib itu mengandung keraguan sehingga memerlukan pendukung dari yang lain. Nah hadis ini ternyata dikuatkan oleh Ahmad bin Syabib yang juga meriwayatkan dari Syabib bin Sa’id. Jadi sudah jelas tidak ada lagi cacat yang bisa dipermasalahkan. Persyaratan yang diajukan salafy itu sudah jelas mengada-ada dan tentu saja mereka bersikeras mengada-ada daripada menerima keshahihan hadis yang bertentangan dengan keyakinan mereka.
.
.
Penjelasan Hadis
Hadis di atas mengandung faedah bahwa tawasul kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berdoa atau memohon kepada Allah SWT adalah perkara yang dibolehkan dalam syariat Islam. Dan pembolehan ini tidak dibatasi baik saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup atau sudah wafat. Buktinya adalah pada hadis di atas dengan jelas Utsman bin Hunaif mengajarkan doa tawasul kepada seorang laki-laki di masa pemerintahan khalifah Utsman bin ‘Affan. Sudah jelas pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah wafat. Lafaz hadisnya pun sangat jelas menyebutkan tawasul kepada Nabi yaitu dengan lafaz doa “Ya Allah aku memohon kepadamu dan menghadap kepadamu dengan Nabi kami, Nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad aku menghadap denganmu kepada TuhanMu Tuhanku agar memenuhi keperluanku”. Jika lafaz doa seperti ini dikatakan syirik oleh salafiyun maka orang-orang seperti mereka tidak pantas mengaku-ngaku sebagai pengikut sunnah.
Bisa dikatakan salafiyun itu tidak mengerti apa yang dinamakan tawasul. Tawasul dalam islam adalah memohon kepada Allah SWT, menghadap kepada Allah SWT dengan perantara dalam hal ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena kedudukan Beliau yang tinggi di sisi Allah SWT. Nah kalau mereka memahami ini dengan baik maka mereka tidak akan membedakan soal masih hidup atau sudah wafat. Baik ketika hidup ataupun sudah wafat kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetaplah tinggi di sisi Allah SWT. Bahkan dalam perkara doa pun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetap bisa berdoa kepada Allah SWT baik ketika masih hidup ataupun setelah wafat. Yang berkuasa dan memiliki kekuasaan hanyalah Allah SWT oleh karena itu tidak ada bedanya baik hidup maupun wafat.
Bagaimana mungkin ada orang yang mau mengatakan karena sudah wafat maka tidak bisa lagi diminta bantuan, meminta bantuan itu hanya kepada yang hidup. Ini sangat tidak benar, ketika seseorang berdoa memohon kepada Allah SWT maka disini hanya Allah SWT sebagai pemegang kuasa. Seorang muslim harus meyakini bahwa tiada daya dan upaya selain milik Allah SWT, tawasul berarti menganggap orang yang mulia tersebut sebagai wasilah atau perantara bukan sebagai yang punya kemampuan atau yang berkuasa mengabulkan doa. Kedudukan sebagai wasilah ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang memang mulia dan tinggi kedudukannya di sisi Allah SWT dan ini sekali lagi tidak terkait hidup dan mati. Justru salafy yang meributkan atau membedakan soal hidup dan mati, seolah-olah mereka meyakini kalau orang yang hidup memiliki kuasa sedangkan yang mati tidak. Lha sudah jelas batil, apa perlu diingatkan bahwa tiada daya dan upaya selain milik Allah SWT yang Maha Agung.
Sungguh yang membuat perkara ini semakin aneh adalah salafy begitu bersemangat menjadikan ini sebagai masalah akidah dan tidak jarang mensesat-sesatkan dan menyatakan syirik kepada mereka yang melakukan tawasul. Tingkah salafy ini mengingatkan kami pada kaum yang disebut sebagai tidak memahami tetapi berbicara hal-hal besar seolah-olah mereka yang paling paham dan paling ahli. Pendapat yang kami yakini dalam perkara ini adalah seorang muslim diberikan pilihan dalam berdoa atau memohon kepada Allah SWT, boleh melakukannya dengan tawasul dan boleh juga tidak. Salam damai

Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Yang selalu hidup, tiada pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad. Perluaskanlah jalan masuknya, demi Nabi-Mu dan para nabi sebelumku

---------------------------------------------------------------
Tambahan, sebagian mereka yang berusaha mendho'ifkan riwayat ini, dijawab secara seksama sbb :


berkata akhuna Muslim :
komentar saya: inilah yang riwayat saya maksud, riwayat yang diperbincangkan termasuk oleh At-Thabrani.
Beliau (At-Thabrani) mengatakan: “syabib ini diperbincangkan terutama dalam riwayat dari ibnu wahb darinya, akan halnya ayahnya, syabib munurut mereka tsiqot tetapi lemah hapalannya.
As : baiklah mari kita simak perkataan at-thobroni mengenai riwayat ini berkata al-hafidz at-thobroni dalam kitabnya al-mu`jam as-shoghir j 1 hal 184 setelah meriwayatkan hadist diatas : tidak ada yang meriwayatkan hadist ini dari Rouh ibn al-qosim kecuali SYABIB bin sa`id abu said al-makki dan dia tsiqoh , dan dialah yang mengambil hadist darinya Ahmad (ibn ahmad) bin syabib dari ayahnya dari yunus bin yazid al-abali , hadist ini juga diriwayatkan oleh Syu`bah dari abu ja`far al-Hathmi dan namanya adalah umair bin yazid dan dia tsiqoh , utsman bin umar bin faris menyendiri dalam riwayatnya dari syu`bah , dan Hadist ini Shahih. (pent).
Lihatlah at-thobroni mengatakan Hadist ini shahih , sama sekali tidak memperbincangkan Syabib sebagaimana yang disampaikan akh- muslim diatas , ( entah akhuna muslim dapat dari mana kata2 diatas itu , apalagi mengatasnamakan Imam At-thobroni.)
Muslim :
imam dzahabidalam al mizan mengatakan “syabib ini jujur tetapi gharib (menyendiri dalam meriwayatkan)”.
As : berkata adzahabi tentang syabib : dalam al-mughni j 1 hal 195 : Tsiqoh walahu ghoroib , dalam ad-diwan hal 141 : tsiqoh ya ti bi ghoroib , dan dalam al-kasyif hal 2/3 Shoduuq , tsiqoh , tsiqoh , shoduq , artinya menurut pandangan adzahabi Syabib adalah rowi yang Dhobith baik hafalan maupun tulisan , lalu dari mana syeikh al-bani mengatakan Syabib dhoif alias lemah hapalannya…….?
Muslim :
Ibnu Addiy mengatakan dalam Al-Kamil : ibnu addi berkata: boleh jadi syabib salah dan ragu-ragu apabila meriwayatkan dari hapalannya dan aku berharap agar dia tidak menyengaja, apabila ahmad anaknya meriwayatkan darinya dgn hadits-hadits yunus maka sepertinya adalah yunus yg lain. yakni bahwa ia baik perkataan ini menunjukkan bahwa hadits syabib ini boleh dipakai dengan 2 syarat,
pertama hendaknya dari riwayat anaknya ahmad darinyaa, kedua hendaknya dari riwayat syabib dari yunus demikian itu karena dia memiliki beberapa kitab yunus sbgaimana dikatakan oleh ibnu abi hatim dalam kitab jarh wa ta’dil dari ayahnya, apabila dia meriwayatkan hadits dari kitab-kitabnya ini maka baik, tp jika meriwayatkan dari hapalannya maka diragukan.
As : akhuna muslim menukil perkataan Ibnu `adi dalam al-kamil j 4 / 1347 secara tidak lengkap ada bagian paling penting yang tidak antum sertakan bahkan antum menyampaikannya secara terbolak balik , (entah sengaja atau tidak).
Ibnu Addiy mengatakan dalam Al-Kamil : adalah syabib apabila anaknya yaitu Ahmad bin syabib meriwayatkan darinya dgn hadits-hadits yunus dari Zuhri maka itu adalah Hadits – hadist yang lurus ( shahih ) sepertinya dia bukanlah Syabib bin sa`id yang meriwayakan dari Ibnu Wahb riwayat2 mungkar darinya , bias jadi hal itu terjadi kepada Syabib ketika ia berdagang di mesir , menulis dari Ibnu wahb dari hafalannya , kemudian ia keliru , dan saya berharap syabib tidak menyengaja . (pent.) sampai disini pernyataan Ibnu `adi , perkataan selanjutnya bukan perkataan Ibnu `adi yaitu : ” yakni bahwa ia baik perkataan ini menunjukkan bahwa hadits syabib ini boleh dipakai dengan 2 syarat, ” dst….entah akhuna Muslim dapet dari mana.
Lihatlah ketika kita langsung melihat kepada sumbernya ( al-kamil) sangat jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh akhuna Muslim. ( mungkin akhuna muslim hanya menukil dari syeikh al-albani dalam at-tawassul ).
Sehingga kita dapat mengambil kesimpulan 1. jika kelemaham Syabib disebabkan oleh perdagangannya ke mesir , kelemahannya bukan sifat asli bawaan dan karakter , sangat berbeda orang yang berkarakter lemah hapalan dengan orang yang konsentrasinya terbagi sehingga ketika ditanya ada kesalahan , terbukti adzahabi pun menilai Syabib tsiqoh , tsiqoh , tsiqoh Shoduq , kuat kuat kuat terpercaya.
Kesimpulan ke 2 . penilaian syeikh al-bani bahwa syabib Dhoif hanya berdasarkan pada kenyataan Hadist yang diriwayatkan Syabib ini bertentangan dengan Aqidah syeikh al-bani tentang Tawassul , tidak berdasarkan pada fakta keberadaan Syabib sedang berdagang di mesir.
Muslim :
Dalam at-Taqrib, Hafidz Ibnu Hajar mengatakan “Haditsnya boleh dipakai dari riwayatnya ahmad bin syabib, bukan ibnu Wahhb”.
Dalam muqadimah Fathul Baari, Hafidz juga mengatakan ‘Syabib termasuk kelompok yang di cela diantara rijal bukhari”.
As : dalam at-taqrib benar seperti itu , tapi dalam Muqodimah Fathul bari Al-hafidz Ibnu hajar hanya meng –isyaratkan bahwa Imam al-Bukhori ketika menyusun shohihnya hanya menginginkan dari jalur Tobaqoh (kelompok) pertama dari Ash-hab Az-zuhri , sebagaimana yang dirinci oleh al-hafidz al-hazimi dalam Syurut al-aimah , oleh sebab Yunus adalah termasuk dalam kelompok pertama ini dan Syabib memiliki Nushkokh (catatan hadist,pent) yunus bin yazid dari az-zuhri , dan mendengar darinya Ahmad bin Syabib makan Nushkkoh itu dengan jalur ini dalam posisi puncak keshahihan oleh karena itulah Al-bukhori mengeluarkannya dalam Shahihnya , sehinggga jalur periwayatan : Ahmad dari bapaknya yaitu Syabib , dari yunus dari az-zuhri merupakan Syarat Imam Bukhori.
Sehingga dua syarat yang diajukan oleh syeikh al-bani terhadap riwayat Syabib menyelisihi sembilan ( 9 ) Huffadz yang men Tautsiq ( menyatakan Syabib tsiqoh).
Muslim :
Inilah hadits yang di komentari Dhoif oleh Albani. Sehingga Albani tidak menyelisihi At-Thabrani. Karena yang di shahihkan Thabrani adalah yang riwayatnya Syubah.
As : silahkan antum rujuk al-mu`jam as-shaghir juz 1 hal 184 , sangatlah jelas jika riwayat at-thobroni adalah riwayat Syabib , bukan riwayatnya Syu`bah , ini jalur periwayatannya , berkata at-thobroni : Haddatsana Tohir bin `isa bin qoiris al-muqri al-mashri at-tamimi , haddatsana abdan lillah ibn wahb dari SYABIB bin said al-makki dari rouh ibn qosim dari abu Ja`far al-Hathmi al-madani dari Abu Umamah ibn ibn Sahl Ibn hunef dari pamannya Ustman bin Hunef ……….
Jelas bukan jika syeikh al-albani menyelisihi Al-hafidz at-thobroni dalam menilai Hadist ini……..?


.

PALING DIMINATI

Back To Top