Bismillahirrohmaanirrohiim

Mujtahid Tarjih dalam Mazhab Imam Asy-Syafi’i

By : Isnan Ansory, M. Ag

Dalam tradisi mazhab fiqih dikenal semacam hirarki dalam berfatwa. Maksudnya jika seseorang ingin mengetahui fatwa atau jawaban dari sebuah mazhab yang dianggap merepresentasikan mazhab tertentu, maka mesti ia melihat pendapat yang telah diakui kalangan mazhab tersebut sebagai pendapat yang muktabar/mu’tamad (diakui) dalam mazhab. 

Sebab faktanya, imam mazhab bisa saja mempunyai beberapa pandangan dalam sebuah masalah. Seperti Imam Asy-Syafi’i yang memiliki dua pendapat, yang lebih dikenal dengan istilah qaul qadim (pendapat lama) dalam kitabnya Al-Hujjah dan qaul jadid (pendapat baru) dalam kitabnya Al-Umm.
Bahkan para mujtahid dalam sebuah mazhab ini kadangkala memiliki pendapat lain yang berbeda dengan pendapat imam mazhabnya. Seperti pendapat imam Al-Muzani yang dalam beberapa masalah berseberangan dengan pendapat imam Asy-Syafi’i. Padahal imam Al-Muzani adalah penganut mazhab Asy-Syafi’i. 

Oleh sebab itu, ulama mutaakhirin berijtihad untuk mentarjih berbagai pendapat para mujtahid dalam mazhabnya, hingga pendapat tersebut dianggap pendapat yang mewakili mazhab secara keseluruhan. Atau setidaknya menjadi pendapat yang dianggap sebagai pendapat terkuat yang diakui oleh mazhab.
Para ulama yang menulis tentang (thabaqat al fuqaha) menyebut ulama jenis ini dengan sebutan mujtahid Tarjih atau mujtahid Tanqih

Pengertian Mujtahid Tarjih
Yang dimaksud dengan mujtahid adalah seseorang yang telah diakui memiliki kemampuan untuk berijtihad atau usaha untuk mengeluarkan kesimpulan hukum yang bersifat dzanni dari sebuah dalil.
Adapun yang makna tarjih adalah menguatkan sebuah pendapat atas beragam pendapat yang ada. 

Jadi mujtahidat tarjih adalah mujtahid yang mampu mentarjih (menguatkan) salah satu pendapat dari salah satu imam-imam mujtahid dalam sebuah mazhab atau riwayat-riwayat berbeda yang berasal dari mereka.[1]
Contoh mujtahid tarjih yang menguatkan pendapat imam Abu Hanifah atas pendapat shahabat-shahabatnya adalah Abu Yusuf, Zufar dan Al Hasan. Dan mujtahid tarjih dalam mazhab Asy Syafi’i misalnya adalah Imam An-Nawawi dan Imam ArRafi'i. 
 
Penting untuk dicatat, tarjih ini hanya berlaku dalam satu mazhab dan tidak terkait dengan mazhab lainnya. Sebab seorang muntasib (pengikut) sebuah mazhab sudah tentu akan menguatkan (mentarjih) pendapat mazhabnya meskipun bukan seorang mujtahid at tarjih. 

Mujtahid At Tarjih dalam Mazhab Asy Syafi’i
Diantara faktor terpenting tetap eksis dan tersebarnya sebuah mazhab fiqih adalah usaha dari para pengikut imam mazhab untuk mengkodifikasikan pendapat-pendapat imam mereka. Hal yang sama terjadi pada mazhab imam Asy Syafi’i. 

Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Muthallib Al-Mandaili Al-Indunisi menyebutkan bahwa pasca wafatnya Imam Asy Syafi’i (w. 204 H), setidaknya terdapat lima kitab yang menjadi rujukan pengikut mazhab Asy Syafi’i, khususnya sebelum abad ke-7 hijriah, yaitu : [2]
  1. Al-Mukhtashar karya imam Al Muzani (w. 264 H),
  2. At-Tanbih, karya imam Asy Syairazi (w. 476 H)
  3. Al-Muhazzab, karya imam Asy Syairazi (w. 476 H),
  4. Al-Wasith, karya imam Al Ghazali (w. 505 H).
  5. Al-Wajiz, karya imam Al Ghazali (w. 505 H).
Imam Nawawi berkata, “Lima kitab ini merupakan kitab-kitab yang masyhur serta sering dibaca oleh kalangan Asy-Syafi’iyyah.” [3]

Hanya saja, lanjut Syaikh Al Mandaili, pasca abad ke-7 hijriyah itu, kemasyhuran lima kitab tersebut tersisihkan oleh karya-karya dua imam mazhab Asy Syafi’iyyah berikutnya yaitu Imam An-Nawawi, Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf (w.676 H) dan Imam Ar-Rafi’i, Abu Al-Qasim Abdul Karim bin Muhammad (w. 623 H). 
 
Bahkan para muhaqqiq Asy Syafi’iyyah telah bersepakat bahwa kitab-kitab sebelum karya kedua imam di atas tidak menjadi standar pengambilan pendapat dalam mazhab, kecuali pendapat yang disampaikan Imam An-Nawawi dan Ar-Rafi’i untuk setiap masalah yang telah dibahas.[4]

Namun, pendapat kedua imam tersebut dalam sebuah masalah tidak dapat menjadi standar pendapat mazhab jika ulama Asy Syafi’iyyah dari kalangan mutaakhirin bersapakat bahwa dalam pendapat dua imam tersebut terdapat kekeliruan. Meskipun pada dasarnya ini sangat jarang terjadi.

Maka dalam kondisi ini pendapat yang mu’tamad adalah pendapat yang diutarakan ulama-ulama Asy Syafi’iyyah setelah masa dua imam seperti yang disepakati oleh empat imam berikutnya : [5]
  1. Syaikh Al Islam Zakaria Al-Anshari (w. 925 H) dalam Mukhtashar-nya,
  2. Al-Hafiz Ibnu Hajar Al Haitamy (murid Syaikh Al Islam Zakaria Al Anshari) (w. 973 H) dalam Tuhfah Al-Muhtaj,
  3. Al-Khatib Asy-Syarbini (w. 977 H) dalam Mughni Al-Muhtaj, dan
  4. Ibnu Syihab Al-Jamal Ar-Ramli (w. 1004 H) dalam Nihayah Al-Muhtaj.
Mengapa?
Pertanyaannya adalah, apa alasan atau landasan para ulama kalangan Asy Syafi’iyyah lebih mengunggulkan pendapat atau tarjih Imam An-Nawawi dan Imam Ar-Rafi’i atas pendapat-pendapat lainnya dalam mazhab Asy-Syafi’iyyah? 

Dalam hal ini Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Haitamy menjawab, “Sesungguhnya Imam An-Nawawi dan Imam Ar-Rafi’i, keduanya telah berusaha semampu mungkin untuk memberikan penjelasan terkait pendapat-pendapat (nash) imam Syafi’i, berdasarkan niat yang tulus, kejujuran, dan keikhalasan dari keduanya.
Di samping itu, pendapat mereka berdua tidak akan berseberangan dengan pendapat imam Syafi’i, kecuali atas dasar yang kuat. Karena alasan inilah para ulama Asy-Syafi’iyyah dan para muhaqqiqun menaruh perhatian dan peneriman yang lebih terhadap pendapat yang dianggap shahih oleh keduanya. [6]

Sedangkan jika dalam sebuah masalah terdapat perbedaan pendapat antara Imam An-Nawawi dan Imam Ar-Rafi’i, maka dalam hal ini pendapat Imam An-Nawawi lebih didahulukan. Sedangkan jika dalam sebuah masalah tidak terdapat tarjih dari Imam An-Nawawi dan terdapat tarjih dari Imam Ar-Rafi’i, maka pendapat imam Ar-Rafi’i yang diambil.[7] 
 
Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Haitamy pernah ditanya, “Jika terjadi perbedaan pendapat antara Imam Ar-Rafi’i dan Imam An-Nawawi dalam sebuah masalah serta tidak diketahui pendapat yang lebih rajih, manakah dari kedua pendapat tersebut yang mesti diamalkan?”

Al Hafiz menjawab,“Al‘ibrah atau pendapat yang diutamakan adalah apa yang dianggap shahih oleh Imam An-Nawawi rahimahullah wajazaahu ‘an ahli al mazhab khairan, karena sesungguhnya beliau adalah al-hibr, al-hujjah, al-muthalli’, al-muharrir, menurut kesepakatan ulama-ulama setelahnya. Maka dalam kondisi tersebut tidak diperkenankan mengambil pendapat selain pendapat yang beliau tarjih.[8]

أن المعتمد في المذهب للحكم والفتوى ما اتفق عليه الشيخان فما جزم به النووي فالرافعي فما رجحه الأكثر فالأعلم والأورع
Sesungguhnya yang dijadikan landasan atau pedoman dalam mazhab (Asy-Syafi’i) ketika menentukan suatu hukum dan fatwa adalah :[9]
  1. yang disepakati oleh dua syaikh (imam An Nawawi dan imam Rafi’i),
  2. yang ditetapkan imam An Nawawi,
  3. yang ditetapkan oleh imam Ar Rafi’i,
  4. yang diunggulkan oleh mayoritas ulama,
  5. oleh ulama yang paling alim,
  6. oleh ulama yang paling shaleh (al wira’i).”
Urutan Kitab-kitab imam An Nawawi dalam Menetapkan hukum
Sebagaimana penjelasan di atas, bahwasannya pendapat atau tarjih imam An Nawawi merupakan pendapat yang umumnya diunggulkan pada setiap masalah dalam mazhab Asy Syafi’iyyah. Bahkan ketetapan ini merupakan sebuah konsensus dari para ulama Asy Syafi’iyyah. 

Hanya saja, karena imam An Nawawi merupakan seorang ulama yang sangat produktif dalam menulis dari waktu ke waktu, hal yang lumrah terjadi jika pendapat-pendapat atau tarjih-tarjih yang dikodifikasikannya kadangkala berbeda. Oleh sebab itulah, para ulama belakangan meneliti dan menetapkan urutan kitab-kitab imam An Nawawi yang dijadikan standar dalam penetapan sebuah hukum jika terjadi ta’arudh/pertentangan antara beberapa pendapatnya. 

Akhirnya para ulama menyimpulkan bahwa jika terjadi ta’arudh/perbedaan pendapat dalam kitab-kitab imam An Nawawi maka urutannya sebagai berikut :[10]
  1. At-Tahqiq,
  2. Kemudian Al-Majmu’ (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab),
  3. Kemudian At-Tanqih (namun ketiga kitab di atas belum diselesaikan penulisannya oleh imam An Nawawi),
  4. Kemudian Ar-Raudhah (Raudhah Ath Thalibin fi Al Fiqh),
  5. Kemudian Al-Minhaj (Minhaj Ath-Thalibin fi Al-Fiqh - Mukhtashar Al-Muharrar fi Al-Fiqh),
  6. Kemudian Al-Fatawa (Al-Mantsurat - Al Masa’il Al-Mantsurah),
  7. Kemudian Syarh Muslim (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj),
  8. Kemudian Tashih At Tanbih (At-Tanbih ‘ala maa fi at-Tanbih - Tashih at-Tanbih fi-Fiqh Asy-Syafi’i),
  9. Kemudian Nukat At Tanbih (At-Ta’liqah).
Wallahua’lambishshawab 
---------------------------------------------------
[1]. Muhammad Ibrahim Al Hafnawi, Al-Fath Al-Mubin fi Hilli Rumuz wa Mushthalahat Al-Fuqaha’ wa Al-Ushuliyyin, h. 30.
[2]. Al Khaza’in As Saniyyah min Masyahir Al Kutub Al Fiqhiyyah li A’immah Al Fuqaha’ Asy Syafi’iyyah, 167
[3]. Tahzib Al Asma’ wa Al Lughat, 1/34.
[4]. Al Khazain As Saniyyah,168
[5]. Al Fatawa Al Kubra 4/325, Al Fawa’id Al Madaniyyah 18, Fath Al Mu’in ma’a I’anah Ath Thalibin 3/233-234, Sullam Al Muta’llim Al Muhtaj 43, Al Fawa’id Al Makkiyyah 37,Tarsyih Al Mustafidin 5.
[6]. Al-Fatawa Al Kubra 4/325, Al Fawa’id Al Madaniyyah 20-22.
[7]. Thabaqat Asy Syafi’iyyah lil Isnawi 2/266, Tuhfah Al Muhtaj ma’a Hasyiah Ibn Al Qasim 1/39, Al Fawa’id Al Madaniyyah 18.
[8]. A-lFatawa Al Kubra1/234.
[9]. I’anath Ath Thalibin ‘ala hilli Al Fadz Fath Al Mu’in li Syarh Qurrah Al‘Ain bi Muhimmah Ad Din, 1/19.
[10]. Lihat Al Fawa’id Al Madaniyyah 33-34, I’anah AthThalibin 3/234, Sullam Al Muta’llim Al Muhtaj 27, Al Fawa’id Al Makkiyyah 37, Tarsyih Al Mustafidin 5. 
Sumber :  http://www.rumahfiqih.com/


.

PALING DIMINATI

Back To Top