Bismillahirrohmaanirrohiim

GADING YANG RETAK - SANTA YANG BERNODA

Oleh: Jum’an

Dalam majalah Time Agustus 2007 terdapat tulisan berjudul “ Krisis Iman Bunda Teresa” yang menceritakan pengakuan terus terang dari Mother Teresa kepada pendeta tempat dia mengaku dosa tentang kesia-siaannya dalam mencari Tuhan. Ia mengungkapkan bahwa dalam setengah abad terakhir ia tidak merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Kepada pendeta Van Der Peet ia berkata: “Yesus sangat mencintaimu; tetapi bagiku terasa begitu sepi dan hampa, saya terawang tak terlihat, saya simak tak terdengar – lidah bergerak tapi tak terucap…. Tolong doakan saya agar saya dapat menjangkauNya.”  Biarawati keturunan Albania yang nama aslinya Agnes Gonxha itu, lahir tahun 1910 di Skopje Macedonia. Semasa hdupnya ia dikenal sebagai Santa dari Kalkuta, penolong orang-orang termiskin dari yang miskin di sejumlah Negara Asia, Afrika dan Amerika Latin dan giat membantu korban bencana banjir, epidemi, kelaparan dan pengungsi. Untuk semua iti ia telah memperoleh Hadiah Nobel Perdamaian, Hadiah Perdamaian dari Paus Yohanes XXIII, Hadiah Perdamaian Internasional Nehru, Hadiah Balzan, Templeton Dan Magsaysay. Demikian sehingga hampir diseluruh dunia orang tanpa keberatan memanggilnya Bunda.

Tetapi sebagaimana kata peribahasa: tak ada gading yang tak retak, tidak ada manusia yang sempurna. Citranya yang keramat bila diteliti dan dicermati nampaklah noda-nodanya kontras dengan faktanya; antara yang dibayangkan orang dan kenyatannya. Penelitian yang dilakukan oleh Serge Laviree dan Genevieve Chenard dari Universitas Montreal serta Carole Senechal dari Universitas Ottawa Kanada menyimpulkan bahwa citra humanis, suci dan penolong yang luar biasa dari Mother Teresa hanyalah mitos belaka, hasil promosi dan publikasi media yang berlebihan. Dalam kenyataannya ia menghimpun orang-orang sakit dan orang-orang miskin dalam rumah kematian dan jauh lebih senang mendoakan mereka daripada memberi pertolongan medis praktis meskipun yayasannya memiliki dana jutaan dolar. Baginya bukan masalah uang, tetapi menyangkut pandangan Mother Teresa (MT) sendiri tentang penderitaan dan kematian. ”Ada keindahan dalam melihat orang miskin menerima takdir mereka, menderita seperti Kristus yang disalib. Dunia banyak memperoleh keuntungan dari penderitaan mereka” begitu ia menjawab kritik-kritik yang diterimanya. Sebuah konsepsi yang rasanya tidak manusiawi! MT memang sangat pemurah dengan doa-doanya tetapi kikir dengan uangnya. Ketika banyak terjadi banjir di India serta tragedi Bhopal (ledakan pabrik pestisida 1984 dengan 2000 korban lebih), dia memberikan berbagai doa dan medali Perawan Maria tetapi tidak ada bantuan langsung atau keuangan. Disisi lain, ia tanpa ragu-ragu menerima gelar kehormatan serta hibah uang dari Diktator Haiti, Duvalier.

Penelitian itu menyebutkan MT memiliki 517 misi di 100 negara tetapi sebagian besar pasiennya tidak dirawat dengan baik dan banyak yang dibiarkan mati. Tetapi ketika MT sendiri membutuhkan perawatan akhir hayat, ia memperolehnya dari rumah sakit Amerika yang modern dan mewah. Mother Teresa dipercayai mempunyai mukjizat menyembuhkan penyakit. Monica Besra seorang wanita Benggali mengaku melihat cahaya memancar dari gambar MT yang kebetulan dimilikinya dan sesudah itu penyakit kankernya sembuh. Dr. Ranjan Mustafi yang nerawatnya menegaskan bahwa Monica tidak menderita kanker, sedangkan pasien TBC dan kista ovarium yang dikatakan sembuh oleh mukjizat MT, sebenarnya sembuh karena pengobatan yang sedang dijalani. Tetapi Vatikan tidak menghiraukannya dan tetap dengan rencana beatifikasi, yaitu menobatkannya sebagai santa (orang suci). Ketiga peneliti dari Kanada itu juga mengutip beberapa hal yang tidak diperhitungkan dalam proses beatifikasi oleh Vatican, seperti cara MT yang meragukan dalam merawat orang sakit, kontak-kontak politiknya yang pantas dipertanyakan, manajemen nya yang mencurigakan dalam mengelola uang sangat besar yang ia terima serta pandangannya yang terlalu dogmatis  tentang aborsi, kontrasepsi dan perceraian.

Citra humanis MT yang mendunia serta beatifikasi atau penobatannya sebagai orang suci oleh Paus tidak lepas dari peran media yang mendalanginya dengan efektif. Menurut ketiga peneliti diatas, dalam pertemuan MT dengan Malcolm Muggeridge dari BBC th. 1968 di London, Malcolm memutuskan untuk mempromosikan Mother Teresa dengan membuat film-film yang mendramatisir kegiatan-kegiatannya. Setelah itu MT melakukan perjalanan keliling dunia dan menerima berbagai penghargaan, termasuk Hadiah Nobel untuk Perdamaian. Dalam Biografi MT oleh Meg Greene (2004) diceritakan bahwa yayasan yang didirikannya di Kalkuta dikritik oleh majalah kedokteran Inggris Lancet karena tidak profesional. Dalam SF Weekly  Jan. 2011 terdapat artikel  berjudul “Tainted Saint” (Santa yang bernoda) yang menceritakan MT ketika membela pendeta favoritnya Donald McGuire yang terlibat pelecehan seksual terhadap anak-anak pada th 1993. McGuire sudah diberhentikan dari jabatannya tetapi MT mendesak atasannya untuk mengangkatnya kembali dengan segera. McGuire pun bertugas kembali , kembali juga tabiat pedofilnya.

Meskipun cara MT merawat orang sakit meragukan, yaitu melihat penderitaan mereka sebagai keindahan bukan dengan menghilangkannya, ketiga peneliti menyebutkan efek positif dari mitos Bunda Teresa bahwa citra kasih sayang dan penolongnya telah menginspirasi banyak relawan kemanusiaan yang kerjanya memang benar-benar telah mengatasi penderitaan fakir miskin….  Mother Teresa meninggal tahun 1997 dalam usia 87 tahun.

Note: Dpt anda baca juga (dg link-link nya) di : http://jumanb.multiply.com/journal/item/254


.

PALING DIMINATI

Back To Top