Bismillahirrohmaanirrohiim

MASALAH PERTAMA: IKHTILAF DAN MADZHAB

Makna Khilaf dan Ikhtilaf.
Untuk mengetahui makna kata khilaf dan ikhtilaf,mari kita lihat penggunannya dalam bahasa Arab:
خالفته مخالفة وخلافا وتخالف القوم واختلفوا إذا ذهب كل واحد إلى خلاف ما ذهب إليه الآخر
Saya berbeda dengannya dalam suatu perbedaan [  خالفته مخالفة وخلافا]
 [وتخالف القوم واختلفوا إذا ذهب كل واحد إلى خلاف ما ذهب إليه الآخر ]
Kaum itu telah ikhtilaf; jika setiap orang pergi ke tempat yang berbeda dari tempat yang dituju orang lain[1].
Jadi makna Khilaf dan Ikhtilaf adalah: adanya perbedaan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa Khilaf dan Ikhtilaf mengandung makna yang sama. Namun ada juga ulama yang membedakan antara Khilaf dan Ikhtilaf,
الاختلاف لا الخلاف والفرق أن للأول دليلا لا الثاني
Ikhtilaf: perbedaan dengan dalil. Khilaf: perbedaan tanpa dalil[2].
Maka selalu kita mendengar orang mengatakan, “Ulama ikhtilaf dalam masalah ini”,
atau ungkapan, “Ini adalah masalah Khilafiyyah”.
Maksudnya, bahwa para ulama tidak satu pendapat dalam masalah tersebut.




Contoh Ikhtilaf Ulama Dalam Memahani Nash:
Allah Swt berfirman:
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
Dan usaplah kepalamu”. (Qs. Al-Ma’idah [5]: 6).

Hadits Riwayat Imam Muslim:
قال ابْن الْمُغِيرَةِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى الْخُفَّيْنِ
Ibnu al-Mughirah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw berwudhu’, beliau mengusap ubun-ubunnya, mengusap bagian atas sorban dan bagian atas kedua sepatu khufnya”. (HR. Muslim).

Hadits Riwayat Imam Abu Daud:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ قِطْرِيَّةٌ فَأَدْخَلَ يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْعِمَامَةِ فَمَسَحَ مُقَدَّمَ رَأْسِهِ وَلَمْ يَنْقُضْ الْعِمَامَةَ

Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Saya melihat Rasulullah Saw berwudhu’, di atas kepalanya ada sorban buatan Qathar. Rasulullah Saw memasukkan tangannya dari bawah sorbannya, beliau mengusap bagian depan kepalanya, beliau tidak melepas sorbannya”. (HR. Abu Daud).

Hadits Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim.
ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ
Kemudian Rasulullah Saw mengusap kepalanya. Rasulullah Saw (menjalankan kedua telapak) tangannya ke depan dan ke belakang, beliau awali dari bagian depan kepalanya, hingga kedua (telapak) tangannya ke tengkuknya, kemudian ia kembalikan lagi ke tempat semula. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Menyikapi ayat dan beberapa hadits tentang mengusap kepala diatas, muncul beberapa pertanyaan: bagaimanakah cara mengusap kepala ketika berwudhu’? Apakah cukup menempelkan telapak tangan yang basah ke bagian atas rambut? Atau telapak tangan mesti dijalankan di atas kepala? Apakah cukup mengusap ubun-ubun saja? Atau mesti mengusap seluruh kepala? Di sinilah muncul Ikhtilaf diantara ulama.
            Para ulama berijtihad, maka ada beberapa pendapat ulama tentang mengusap kepala ketika berwudhu’:
Mazhab Hanafi:
Wajib mengusap seperempat kepala, sebanyak satu kali, seukuran ubun-ubun, diatas dua daun telinga, bukan mengusap ujung rambut yang dikepang/diikat. Meskipun hanya terkena air hujan, atau basah bekas sisa air mandi, tapi tidak boleh diambil dari air bekas basuhan pada anggota wudhu’ yang lain, misalnya air yang menetes dari pipi diusapkan ke kepala, ini tidak sah.
Dalil Mazhab Hanafi:
1.      Mesti mengikuti makna mengusap menurut ‘urf (kebiasaan).
2.      Makna huruf Ba’ pada ayat  [برؤوسكم] artinya menempel. Menurut kaedah, jika huruf Ba’ masuk pada kata yang diusap, maka maknanya mesti menempelkan seluruh alat yang mengusap. Maka mesti menempelkan telapak tangan ke kepala. Jika huruf Ba’ masuk ke alat yang mengusap, maka mesti mengusap seluruh objek yang diusap. Jika seluruh telapak tangan diusapkan ke kepala, maka bagian kepala yang terkena usapan adalah seperempat bagian kepala. Itulah bagian yang dimaksud ayat mengusap kepala.
3.      Hadits yang menjelaskan ayat ini, riwayat Abu Daud dari Anas, ia berkata, “Saya melihat Rasulullah Saw berwudhu’, di atas kepalanya ada sorban buatan Qathar, Rasulullah Saw memasukkan tangannya dari bawah sorbanya, ia engusap bagian depan kepalanya, ia tidak melepas sorbannya”. Hadits ini menjelaskan ayat yang bersifat mujmal (global/umum). Ubun-ubun atau bagian depan kepala itu seperempat ukuran kepala, karena ubun-ubun satu bagian dari empat bagian kepala.

Mazhab Maliki:
Wajib mengusap seluruh kepala. Orang yang mengusap kepala tidak mesti melepas ikatan rambutnya dan tidak mesti mengusap rambut yang terurai dari kepala. Tidak sah jika hanya mengusap rambut yang terurai dari kepala. Sah jika mengusap rambut yang tidak turun dari tempat yang diwajibkan untuk diusap. Jika rambut tidak ada, maka yang diusap adalah kulit kepala, karena kulit kepala itulah bagian permukaan kepala bagi orang yang tidak memiliki rambut. Cukup diusap satu kali. Tidak dianjurkan mengusap kepala dan telinga beberapa kali usapan.
Dalil Mazhab Maliki:
1.      Huruf Ba’ mengandung makna  menempel, artinya menempelkan alat kepada yang diusap, dalam kasus ini menempelkan tangan ke seluruh kepala. Seakan-akan Allah Swt berfirman, “Tempelkanlah usapan air ke kepala kamu”.
2.      Hadits riwayat Abdullah bin Zaid, “Sesungguhnya Rasulullah Saw mengusap kepalanya dengan kedua tangannya, ia usapkan kedua tangan itu ke bagian depan dan belakang. Ia mulai dari bagian depan kepala, kemudian menjalankan kedua tangannya hingga ke tengkuk, kemudian ia kembalikan lagi ke bagian depan tempat ia memulai usapan”. Ini menunjukkan disyariatkan mengusap seluruh kepala.

Mazhab Hanbali:
Seperti Mazhab Maliki, dengan sedikit perbedaan:
1.      Wajib mengusap seluruh kepala hanya bagi laki-laki saja. Sedangkan bagi perempuan cukup mengusap kepala bagian depan saja, karena Aisyah mengusap bagian depan kepalanya.
2.      Wajib mengusap dua daun telinga, bagian luar dan bagian dalam daun telinga, karena kedua daun telinga itu bagian dari kepala. Sebagaimana hadits riwayat Ibnu Majah, “Kedua telinga itu bagian dari kepala”.

Mazhab Syafi’i:
Wajib mengusap sebagian kepala. Boleh membasuh kepala, karena membasuh itu berarti usapan dan lebih dari sekedar usapan. Boleh hanya sekedar meletakkan tangan di atas kepala, tanpa menjalankan tangan tersebut di atas kepala, karena tujuan mengusap kepala telah tercapai dengan sampainya air membasahi kepala.
Dalil Mazhab Syafi’i:
1.      Hadits riwayat al-Mughirah dalam Shahih al-Bukhari danShahih Muslim, “Sesungguhnya Rasulullah Saw mengusap ubun-ubunnya dan bagian atas sorbannya”. Dalam hadits ini disebutkan cukup mengusap sebagian saja. Yang dituntut hanyalah mengusap secara mutlak/umum, tanpa ada batasan tertentu, maka sebagian saja sudah mencukupi.
2.      Jika huruf Ba’ masuk ke dalam kata jama’ (plural), maka menunjukkan makna sebagian, maka maknanya, “Usapkan sebagian kepala kamu saja”. Mengusap sedikit sudah cukup, karena sedikit itu sama dengan banyak, sama-sama mengandung makna mengusap[3].
Komentar Syekh Mahmud Syaltut dan Syekh Muhammad Ali as-Sais, dikutip oleh Syekh DR.Wahbah az-Zuhaili:
والحق: أن الآية من قبيل المطلق، وأنها لا تدل على أكثر من إيقاع المسح بالرأس، وذلك يتحقق بمسح الكل، وبمسح أي جزء قل أم كثر، ما دام في دائرة ما يصدق عليه اسم المسح، وأن مسح شعرة أو ثلاث شعرات لا يصدق عليه ذلك .
Yang benar, bahwa ayat (وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ) “Usaplah kepala kamu” termasuk ayat yang bersifat umum, tidak menunjukkan lebih dari sekedar mengusap kepala. Usapan itu sudah terwujud apakah dengan mengusap seluruh kepala, mengusap sebagian kepala, sedikit atau pun banyak, selama dapat dianggap sebagai makna mengusap. Adapun mengusap satu helai atau tiga helai rambut, tidak dapat dianggap mengusap[4].      
Dari uraian diatas dapat dilihat:
Pertama, mazhab bukan agama. Tapi pemahaman ulama terhadap nash-nash (teks) agama dengan ilmu yang ada pada mereka. Dari mulai pemahaman mereka tentang ayat, dalil hadits, ‘urf, sampai huruf Ba’ yang masuk ke dalam kata. Begitu detailnya. Oleh sebab itu slogan “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”, memang benar, tapi apakah setiap orang memiliki kemampuan? Apakah semua orang memiliki alat untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah seperti pemahaman para ulama?! Oleh sebab itu bermazhab tidak lebih dari sekedar bertanya kepada orang yang lebih mengerti tentang suatu masalah, mengamalkan firman Allah Swt,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (Qs. an-Nahl [16]: 43).
Kedua, ikhtilaf mereka pada furu’ (permasalahan cabang), bukan pada ushul (dasar/prinsip). Mereka tidak ikhtilaf tentang apakah wudhu’ itu wajib atau tidak. Yang mereka perselisihkan adalah masalah-masalah cabang, apakah mengusap itu seluruh kepala atau sebagiannya saja? Demikian juga dalam shalat, mereka tidak ikhtilaf tentang apakah shalat itu wajib atau tidak? Semuanya sepakat bahwa shalat itu wajib. Mereka hanya ikhtilaf tentang cabang-cabang dalam shalat, apakah basmalah dibaca sirr atau jahr? Apakah mengangkat tangan sampai bahu atau telinga? Dan sejeninsya.
Ketiga, tidak membid’ahkan hanya karena beda cara melakukan. Yang mengusap seluruh kepala tidak membid’ahkan yang mengusap sebagian kepala, demikian juga sebaliknya. Selama perbuatan itu masih bernaung di bawah dalil yang bersifat umum.
Ikhtilaf tidak hanya terjadi pada masa generasi khalaf (belakangan). Kalangan Salaf (generasi tiga abad pertama Hijrah); para shahabat Rasulullah Saw, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in juga Ikhtilaf dalam masalah-masalah tertentu.

Ikhtilaf Shahabat Ketika Rasulullah Saw Masih Hidup.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنَا لَمَّا رَجَعَ مِنْ الْأَحْزَابِ لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ
Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah Saw berkata kepada kami ketika beliau kembali dari perang Ahzab, ‘Janganlah salah seorang kamu shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah’. Sebagian mereka memasuki shalat ‘Ashar di tengah perjalanan. Sebagian mereka berkata, ‘Kami tidak akan melaksanakan shalat ‘Ashar hingga kami sampai di Bani Quraizhah’.
Sebagian mereka berkata, ‘Kami melaksanakan shalat ‘Ashar sebelum sampai di Bani Quraizhah’. Peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah Saw, beliau tidak menyalahkan satu pun dari mereka”. (HR. al-Bukhari).
            Ini membuktikan bahwa para shahabat jugaikhtilaf, sebagian mereka berpendapat bahwa shalat Ashar mesti dilaksanakan di Bani Quraizhah, sedangkan sebagian lain berpendapat shalat Ashar dilaksanakan ketika waktunya telah tiba, meskipun belum sampai di Bani Quraizhah. Satu kelompok berpegang pada teks, yang lain berpegang pada makna teks. Inilah cikal bakal ikhtilaf dan Rasulullah Saw membenarkan keduanya, karena tidak keluar dari tuntunan Sunnah.
            Setelah Rasulullah Saw wafat pun para shahabat mengalami ikhtilaf dalam masalah-masalah tertentu.

Ikhtilaf Shahabat Ketika Rasulullah Saw Telah Wafat.
فلما فرغ من جهاز رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم الثلاثاء وضع في سريره في بيته وقد كان المسلمون اختلفوا في دفنه فقال قائل: ندفنه في مسجده وقال قائل: بل ندفنه مع أصحابه فقال أبو بكر: إني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ما قبض نبي إلا دفن حيث يقبض فرفع فراش رسول الله صلى الله عليه وسلم الذي توفي عليه فحفر له تحته
Ketika jenazah Rasulullah Saw telah siap (untuk dikebumikan) pada hari Selasa. Jenazah Rasulullah Saw diletakkan di tempat tidurnya di dalam rumahnya. Kaum muslimin ikhtilaf dalam hal pemakamannya.
Ada yang berpendapat, “Kita makamkan di dalam masjidnya (Masjid Nabawi)”.
Ada yang berpendapat, “Kita makamkan bersama para shahabatnya (di pemakaman Baqi’)”.
Abu Bakar berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Tidak seorang pun dari nabi itu yang meninggal dunia melainkan ia dimakamkan di mana ia meninggal”. Maka kasur tempat Rasulullah Saw meninggal pun diangkat. Lalu makam Rasulullah Saw digali di bawah kasur itu”[5].
            Ini membuktikan bahwa para shahabat ikhtilaf, baik ketika Rasulullah Saw masih hidup, maupun setelah Rasulullah Saw wafat. Namun kedua ikhtilaf itu diselesaikan dengan tuntunan Sunnah Rasulullah Saw.

Ijtihad Shahabat Rasulullah Saw.
Ijtihad Shahabat Ketika Rasulullah Saw Masih Hidup.
Ketika mengalami suatu peristiwa, Rasulullah Saw tidak berada bersama para shahabat, maka para shahabat itu berijtihad, seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits,
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَخَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدْ الْآخَرُ ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ وَقَالَ لِلَّذِي تَوَضَّأَ وَأَعَادَ لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ
Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, “Dua orang shahabat pergi dalam suatu perjalanan. Kemudian tiba waktu shalat, mereka tidak memiliki air, lalu mereka berdua bertayammum dengan tanah yang suci. Lalu mereka berdua melaksanakan shalat. Kemudian mereka berdua mendapatkan air dan waktu shalat masih ada. Salah seorang dari mereka mengulangi shalatnya dengan berwudhu’. Sedangkan yang lain tidak mengulangi shalatnya. Kemudian mereka berdua datang menghadap Rasulullah Saw, mereka menyebutkan peristiwa yang telah mereka alami. Rasulullah Saw berkata kepada yang tidak mengulangi shalatnya, “Perbuatanmu sesuai dengan Sunnah, shalatmu sah”. Rasulullah Saw berkata kepada yang mengulangi shalatnya dengan berwudhu’, “Engkau mendapatkan dua pahala”. (HR. Abu Daud).

Ijtihad Shahabat Ketika Rasulullah Saw Telah Wafat.
المشهور من مذهب عائشة رضي الله تعالى عنها أنها كانت لا ترى الغسل لكل صلاة
Masyhur dari mazhab Aisyah ra, menurutnya (wanita yang mengalami istihadhah) tidak wajib mandi pada setiap shalat[6].
واختلفوا في وجوب السعي بين الصفا والمروة فذهب مالك والشافعي وأصحابهما وأحمد وإسحاق وأبو ثور إلى ما ذكرنا وهو مذهب عائشة رضي الله عنها ومذهب عروة وغيره.وكان أنس بن مالك وعبد الله بن الزبير ومحمد بن سيرين يقولون هو تطوع وليس ذلك بواجب
Mereka ikhtilaf tentang hukum wajibnya sa’i antara Shafa dan Marwah. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, para ulama kedua mazhab tersebut, Imam Ahmad, Imam Ishaq dan Abu Tsaur, seperti yang telah kami sebutkan (wajib Sa’i), ini adalah mazhab Aisyah, mazhab ‘Urwah dan lainnya. Sedangkan Anas bin Malik, Abdullah bin az-Zubair dan Muhammad bin Sirin berpendapat bahwa Sa’i itu sunnat, tidak wajib[7]. Hasil ijtihad mereka disebut madzhab.
           
Makna Madzhab.      
Makna kata Madzhab menurut bahasa adalah: مَوْضِعُ الذَّهَابِtempat pergi.
Sedangkan Madzhab menurut istilah adalah:
مَا اُخْتُصَّ بِهِ الْمُجْتَهِدُ مِنْ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْفَرْعِيَّةِ الِاجْتِهَادِيَّةِ الْمُسْتَفَادَةِ مِنْ الْأَدِلَّةِ الظَّنِّيَّةِ
Hukum-hukum syar’i yang bersifat far’i dan ijtihadi yang dihasilkan dari dalil-dalil yang bersifat zhanni oleh seorang mujtahid secara khusus[8].
            Pengertian madzhab yang lebih sempurna dan sistematis dengan kaedah-kaedah yang tersusun baru ada pada masa imam-imam mazhab.

Para Imam Mazhab.
1.      Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar al-Bashri, Imam al-Hasan al-Bashri (w.110H).
2.      An-Nu’man bin Tsabit, Imam Hanafi (w.150H).
3.      Abu ‘Amr bin Abdirrahman bin ‘Amr, Imam al-Auza’i (w.157H).
4.      Sufyan bin Sa’id bin Masruq, Imam Sufyan ats-Tsauri (w.160H).
5.      Imam al-Laits bin Sa’ad (w.175H).
6.      Malik bin Anas al-Ashbuhi, Imam Malik (w.179H).
7.      Imam Sufyan bin ‘Uyainah (w.198H).
8.      Muhammad bin Idris, Imam Syafi’i (w.204H).
9.      Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali (w.241H).
10.  Daud bin Ali al-Ashbahani al-Bahdadi, Imam Daud azh-Zhahiri (w.270H).
11.  Imam Ishaq bin Rahawaih (w.238H).
12.  Ibrahim bin Khalid al-Kalbi, Imam Abu Tsaur (w.240H).
Namun tidak semua mazhab ini bertahan. Banyak yang punah karena tidak dilanjutkan oleh para ulama yang mengembangkan mazhab setelah imam pendirinya wafat. Oleh sebab itu yang populer di kalangan Ahlussunnah-waljama’ah adalah empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Bahkan Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri menyusun kitab Fiqhnya dengan judul al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (Fiqh menurut empat mazhab).

Imam Mazhab Menyikapi Perbedaan.
Mereka tetap shalat berjamaah, meskipun ada perbedaan diantara mereka pada hal-hal tertentu, misalnya Basmalah pada al-Fatihah, ada yang membaca sirr, ada yang membaca jahr, ada pula yang tidak membaca Basmalah sama sekali. Namun itu tidak menghalangi mereka untuk shalat berjamaah.
كان أبو حنيفة أو  أصحابه والشافعي وغيرهم رضي الله عنهم يصلون خلف أئمة المدينة من  المالكية وغيرهم وإن كانوا لا يقرءون البسملة لا سرا ولا جهرا
Imam Hanafi atau para ulama Mazhab Hanafi, Imam Syafi’i dan para ulama lain shalat di belakang para imam di Madinah yang berasal dari kalangan Mazhab Maliki, meskipun para imam di Madinah itu tidak membaca Basmalah, baik sirr maupun jahar (karena menurut Mazhab Maliki: Basmalah itu bukan bagian dari surat al-Fatihah)[9].

Adab Imam Syafi’i Kepada Imam Hanafi.
وصلى الشافعي رحمه الله الصبح قريبا من مقبرة أبي  حنيفة رحمه الله ، فلم يقنت تأدبا معه
Imam Syafi’i melaksanakan shalat Shubuh, lokasinya dekat dari makam Imam Hanafi. Imam Syafi’i tidak membaca doa Qunut karena beradab kepada Imam Hanafi[10].

Adab Imam Malik.
Imam Malik berkata,
شاورني هارون الرشيد في أن يعلق (الموطأ) في الكعبة، ويحمل الناس على ما فيه فقلت: لا تفعل، فإن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم اختلفوا في الفروع، وتفرقوا في البلدان، وكل عند نفسه مصيب، فقال: وفقك الله يا أبا عبد الله
Khalifah Harun ar-Rasyid bermusyawarah dengan saya, beliau ingin menggantungkan kitab al-Muwaththa’ (karya Imam Malik) di Ka’bah, beliau ingin menetapkan agar seluruh masyarakat memakai isi kitab al-Muwaththa’. Saya katakan, “Jangan lakukan! Sesungguhnya para shahabat Rasulullah Saw telah berbeda pendapat dalam masalah furu’, mereka juga telah menyebar ke seluruh negeri, semuanya benar dalam ijtihadnya”. Khalifah Harun ar-Rasyid berkata, “Allah membarikan taufiq-Nya kepadamu wahai Abu Abdillah (Imam Malik)”[11].

Imam Malik VS Imam Hanafi.
قال الليث: لقيت مالكاً بالمدينة فقلت له: إني أراك تمسح العرق عن جبينك.
قال عزفت مع أبي حنيفة.إنه لفقيه يا مصري.
ثم لقيت أبا حنيفة قلت: ما أحسن قول ذلك الرجل فيك.فقال: والله ما رأيت أسرع منه بجواب صادق وزهد تام.
Imam al-Laits bin Sa’ad berkata, “Saya bertemu dengan Imam Malik, saya katakan kepadanya, ‘Saya lihat engkau mengusap keringat dari alis matamu?’.
Imam Malik menjawab, “Saya merasa tidak punya apa-apa ketika bersama Abu Hanifah, sesungguhnya ia benar-benar ahli Fiqh wahai orang Mesir (Imam al-Laits)”.
Kemudian saya menemui Imam Hanafi, saya katakan kepadanya, “Bagus sekali ucapan Imam Malik terhadap dirimu”.
Imam Hanafi menjawab, “Demi Allah, saya belum pernah melihat orang yang lebih cepat memberikan jawaban yang benar dan zuhud yang sempurna melebihi Imam Malik”[12].

Komentar Imam Syafi’i Terhadap Imam Malik.
اذا جاءك الحديث عن مالك فشد به يديك
“Apabila ada hadits datang kepadamu, dari Imam Malik, maka kuatkanlah kedua tanganmu dengan hadits itu”.
اذا جاءك الخبر فمالك النجم
“Jika datang Khabar kepadamu, maka Imam Malik adalah bintangnya”.
اذا ذكر العلماء فمالك النجم وما أحد أمن على من مالك بن أنس
“Jika disebutkan tentang ulama-ulama, maka Imam Malik adalah bintangnya. Tidak seorang pun yang lebih aman bagiku daripada Imam Malik bin Anas”.
مالك بن أنس معلمى وعنه أخذت العلم
“Imam Malik bin Anas adalah guruku, darinya aku mengambil ilmu”.
كان مالك بن أنس اذا شك في الحديث طرحه كله
“Imam Malik bin Anas itu, jika ia ragu terhadap suatu hadits, maka ia buang semuanya”[13].

Komentar Imam Hanbali Terhadap Imam Syafi’i.
عبد الله بن أحمد بن حنبل قال قلت لأبي يا أبة أي رجل كان الشافعي فإني سمعتك تكثر من الدعاء له فقال لي يا بني كان الشافعي كالشمس للدنيا وكالعافية للناس فانظر هل لهذين من خلف أو منهما عوض
Abdullah putra Imam Hanbali berkata, “Saya katakan kepada Ayah saya, ‘Wahai Ayahanda, orang seperti apa Syafi’i itu, saya selalu mendengar engkau berdoa untuknya’. Imam Hanbali menjawab, ‘Wahai Anakku, Imam Syafi’i seperti matahari bagi dunia. Seperti kesehatan bagi tubuh. Lihatlah, adakah pengganti bagi kedua ini?!”[14].

قال أبو أيوب حميد بن أحمد البصري كنت عند أحمد بن حنبل نتذاكر في مسألة فقال رجل لأحمد يا أبا عبد الله لا يصح فيه حديث فقال إن لم يصح فيه حديث ففيه قول الشافعي وحجته أثبت شيء فيه
Abu Ayyub Humaid bin Ahmad al-Bashri berkata, “Saya bersama Imam Hanbali bermuzakarah tentang suatu masalah. Seorang laki-laki bertanya kepada Imam Hanbali, “Wahai Abu Abdillah, tidak ada hadits shahih tentang masalah itu’.
Imam Hanbali menjawab, “Jika tidak ada hadits shahih, ada pendapat Imam Syafi’i dalam masalah itu. Hujjah Imam Syafi’i terkuat dalam masalah itu”[15].

Ikhtilaf Ulama Kontemporer:         
Para ulama zaman sekarang pun berijtihad dalam masalah-masalah tertentu yang tidak ada nash menjelaskan tentang itu. Atau ada nash, tapi merekaikhtilaf dalam memahaminya. Ketika mereka berijtihad, maka tentu saja mereka pun ikhtilaf seperti orang-orang sebelum mereka. 





[1]Imam Ibnu ‘Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, juz.VII (Beirut: Dar al-Fikr, 1421H), hal.197
[2]Imam ‘Ala’ ad-Din Muhamad bin Ali al-Hashfaki, Ad-Durr al-Mukhtar, juz.V (Beirut: Dar al-Fikr, 1386H), hal.403.
[3]Lihat selengkapnya dalamal-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Syekh Wahbah az-Zuhaili, Juz.II (Damascus: Dar al-Fikr), hal.323-325.
[4]Ibid., hal.326.
[5]Imam Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam al-Bashri (w.213H),Sirah Ibn Hisyam, juz.II, hal.663.
[6]Imam Badruddin al-‘Aini al-Hanafi, ‘Umdat al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, Juz.V, hal.500.
[7]Imam Ibn ‘Abdilbarr, at-Tamhid li ma fi al-Muwaththa’ min al-Ma’ani wa al-Asanid, Juz.XX (Mu’assasah al-Qurthubah), hal.151.
[8]Imam Ahmad bin Muhammad al-Hanafi al-Hamawi (w.1098H), Ghamz ‘Uyun al-Basha’ir fi Syarh al-Asybah wa an-Nazha’ir, Juz.I, hal.40
[9]Waliyyullah ad-Dahlawi, Hujjatullah al-Balighah, (Cairo: Dar al-Kutub al-Haditsah), hal.335.
[10]Ibid.
[11]Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani, Hulyat al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, Juz.VI (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby), hal.332.
[12]Al-Qadhi ‘Iyadh, Tartib al-Madarik wa Taqrib al-Masalik, Juz.I, hal.36
[13]Imam al-Qurthubi (w.463H), al-Intiqa’ fi Fadha’il ats-Tsalatsah al-A’immah al-Fuqaha’; Malik wa asy-Syafi’i wa Abi Hanifah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah), Hal.23.
[14]Al-Hafizh al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal,juz.XXIV (Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1400), hal.372
[15]Ibid.

Beberapa pelajaran dari uraian di atas:
Pertama, bahwa ikhtilaf dalam memahami nash (teks) bukan perkara baru, sudah terjadi ketika Rasulullah Saw masih hidup, kemudian berlanjut hingga zaman shahabat setelah ditinggalkan Rasulullah Saw, hingga sampai sekarang ini. Maka yang perlu dilakukan bukan menghilangkan ikhtilaf, seperti rendah hatinya Imam Malik yang tidak mau memaksakan Mazhab Maliki, tapi memahami ikhtilafsebagai dinamika dan kekayaan khazanah keilmuan Islam, selama ikhtilaf itu dalam masalah furu’, bukan masalah ushul, sebagaimana yang dicontohkan para Shalafusshaleh diatas.
Kedua,, berbeda dalam masalah furu’ tidak menyebabkan ummat Islam saling membid’ahkan. Karena Imam Ahmad bin Hanbal tidak membid’ahkan Imam Syafi’i dan para pengikutnya hanya karena mereka membaca doa Qunut pada shalat Shubuh. Kecenderungan membid’ah orang lain ketika berbeda pendapat, ini berbahaya, contoh: orang yang berpegang pada pendapat Syekh al-Albani, ketika akan turun sujud, ia akan mendahulukan tangan. Jika ia tidak dapat menerima pendapat yang mengatakan mendahulukan lutut, berarti ia membid’ahkan Syekh Ibnu Utsaimin dan Syekh Ibnu Baz.
Contoh lain, orang yang datang ke tanah lapang untuk melaksanakan shalat Idul Fitri, jika ia berpegang pada pendapat Syekh Ibnu Utsaimin, maka ia akan melaksanakan shalat Tahyatul-masjid. Orang yang berpegang pada pendapat Syekh Ibnu Baz yang mengatakan tidak ada shalat Tahyatal-masjid di tanah lapang tempat shalat Ied. Ia  mesti dapat menerima perbedaan, jika tidak dapat menerima perbedaan pendapat, maka ia pasti akan membid’ahkan orang-orang yang berpegang pada pendapat Syekh Ibnu Utsaimin.
Ketiga, seperti yang diwasiatkan al-Imam asy-Syahid Hasan al-Banna,
نعمل فيما اتفقنا ونعتذر فيما اختلفنا
“Mari beramal pada perkara yang kita sepakati, dan mari berlapang dada menyikapi perkara yang kita ikhtilaf di dalamnya”.


.

PALING DIMINATI

Back To Top