Bismillahirrohmaanirrohiim

Renungan Jumat Pagi : Adil dan Ihsan


Renungan Jumat pagi:

{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ} [النحل: 90]

Menarik untuk diperhatikan bahwa perintah dan larangan ini diurutkan dalam urutan yang makin luas atau makin kuat. Di dalam kolom perintah terdapat adil yang berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya yang tepat atau membalas perbuatan orang lain dengan perbuatan yang setimpal. Lalu disebut iḥsān yang berarti melakukan perbuatan bajik bukan karena membalas, namun karena dorongan dari dalam diri untuk melakukan kebajikan. Kemudian diperintahkan ītā’ dzīl-qurbā yang berarti memberikan pertolongan kepada orang-orang yang mempunyai kedekatan.
Ini dapat memberikan semacam anjuran untuk melakukan kebaikan secara bertahap: dari membalas perbuatan orang dengan perbuatan setimpal. Di sini perbuatan diri tergantung kepada perbuatan orang. Ketika orang lain berbuat baik, kita pun berbuat baik. Kalau orang lain jahat, kita pun membalasnya dengan kejahatan. Lalu, dengan iḥsān, perbuatan kita tidak lagi tergantung pada perbuatan orang lain. Orang lain berbuat baik atau buruk kepada kita, kita tetap berbuat baik kepadanya. Kita berada pada posisi pengambil inisiatif, bukan mengikuti perbuatan orang lain. Kemudian, dengan ītā’ dzīl-qurbā, kita melakukan kebajikan sebagai tanggung jawab terhadap sesama yang ada di sekitar kita.
Dzīl-qurbā sering diterjemahkan dengan kerabat, orang-orang yang mempunyai kedekatan karena hubungan kekeluargaan, hubungan darah. Akan tetapi, pada dasarnya kata ini berarti siapa saja yang mempunyai hubungan kedekatan. Apakah itu karena hubungan kekeluargaan, kedekatan tempat tinggal, ikatan perkawanan atau lainnya.
Di dalam kolom larangan terdapat faḥsyā’ yang berarti perbuatan buruk yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, seperti berzina, yang kalau terbongkar menimbulkan rasa malu pada pelakunya. Lalu munkar, yakni perbuatan yang ditolak atau diingkari oleh rasa kepatutan masyarakat. Kemudian baġy, yaitu melawan otoritas yang sah dan menimbulkan keonaran di dalam masyarakat.
Di sini pun terdapat peningkatan, yakni dalam hal kekuatan atau tebaran keburukan dari hal-hal yang dilarang itu. Pada faḥsyā’ akibat perbuatan itu lebih banyak bersifat pribadi, walaupun ada juga yang berakibat luas seperti korupsi. Dengan munkar, tebaran akibat perbuatan lebih luas, yakni pada masyarakat yang dilecehkan nilainya oleh perbuatan itu. Lalu, dengan baġy, keonaran yang ditimbulkan dapat berakibat sangat luas dan berlanjut ke masa-masa berikutnya.
Selanjutnya perlu pula kita ingat bahwa kehidupan kita di dunia ini dimaksudkan sebagai ujian untuk mengetahui apakah kita dapat menerima kepercayaan Allah atau tidak. Kepercayaan itu ada pada kemampuan kita untuk memilih sendiri perbuatan kita yang bersifat ikhtiariah. Tidak seperti hewan yang didorong oleh dorongan bawaan, manusia mempunyai kehendak, di samping dorongan bawaan. Ia juga dikarunia kemampuan menimbang, memikirkan akibat dari perbuatan ikhtiariahnya. Dari kemampuan inilah ia akan mendapatkan balasan dari perbuatannya.

{وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ} [التوبة: 105]

(Katakanlah [wahai Muhammad, kepada umat manusia], “Berbuatlah, maka Allah akan melihat perbuatan kalian, juga Utusan-Nya dan orang-orang beriman akan melihat. Lalu kalian akan dikembalikan kepada Yang Maha tahu segala yang tersembunyi dan kelihatan, lalu Dia akan memberitahukan kepada kalian apa yang kalian perbuat.”


.

PALING DIMINATI

Back To Top