Bismillahirrohmaanirrohiim

Mengapa Membela Gus Yahya Cholil Staquf ?

Mengapa Membela Gus Yahya Cholil Staquf ?

Banyak yang berpikir, bahwa berteriak-teriak di jalan, memaki di medsos, menyumbang Hamas, adalah cara terbaik menolong Palestina. Padahal dengan begitu, kita hanya mengabadikan perang di sana. Dengan begitu, kita sengaja memperpanjang masa penindasan di sana.

Menolong Palestina harus dimulai dengan cara baru: mencari titik temu. Selama Palestina mengganggap Israel menjajah dan ingin mereka hancur, sementara Israel menganggap Palestina adalah teroris dan ingin mereka musnah, selama itu pula perang tidak akan berakhir.

Kebencian orang-orang Indonesia terhadap Israel karena doktrin keyahudian. Padahal orang-orang Yahudi Amerika anti terhadap Israel. Mereka mengutuk kekejaman zionis Israel terhadap warga Palestina. Di sini semua dipukul rata. Israel adalah Yahudi, maka semua Yahudi musuh abadi

Orang-orang tidak paham, Yahudi dan Arab itu satu ras, sama-sama keturunan Ibrahim. Satu-satunya yang membuat doktrin Islam muncul atas mereka itu karena peristiwa masa lalu. Bukan karena ras dan agama mereka. Yahudi dan Arab itu satu paket, saudara sepupu.

Dalam sejarah, Yahudi Madinah berkhianat pada Nabi. Konflik-konflik dan permusuhan diam-diam tumbuh sepanjang masa itu. Mestinya, kebencian terhadap Yahudi terfokus di masa itu saja. Tapi kita membawa kebencian itu begitu jauh hingga hari ini. Bahwa semua Yahudi, termasuk bayi yang baru lahir adalah musuh. Apakah ini masuk akal?

Babak baru untuk menolong Palestina telah dimulai oleh Gus Yahya Cholil Staquf. Dengan kecerdasan dan keluasan pergaulannya, ia hadir dalam dialog internasional yang diadakan Israel. Orang-orang langsung mengecamnya, melaknatnya, mengkafirkannya. Padahal ide semacam itu dimulai dari Gusdur.

Dalam pidatonya, Gus Yahya juga menyinggung hal itu. Dialog hari itu adalah impian Gusdur yang belum terealisasi. Gusdur semasa hidupnya bahkan punya niat membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Belum apa-apa orang-orang sudah menentangnya.

Padahal tujuan Gusdur, jika kita punya hubungan diplomatik, kritik kita untuk Israel akan lebih cepat ditanggapi. Bantuan kita untuk Palestina akan lebih mudah sampai. Kalau perlu kita bisa menjadi agen perdamaian bagi kedua negara.

Kenapa orang-orang begitu antipati dengan Yahudi, terutama Israel?

Karena dua hal. Pertama, doktrin kebencian terhadap Yahudi. Dalam banyak ayat dan hadits, Yahudi dinyatakan sebagai musuh Islam. Kita tidak diajar untuk kritis, apakah kebencian ini bersifat general dan abadi?

Apakah kebencian ini termasuk kepada mereka yang masih bayi, perempuan, yang sama sekali tak ada hubungannya dengan sejarah Yahudi di Arab itu? Apakah kebencian itu harus mengalir di darah setiap Yahudi, termasuk Mark Zuckerberg pencipta Facebook yang katanya memilih ateis itu?

Gus Yahya menyatakan, doktrin semacam itu adalah dokumen sejarah. Ini benar. Quran salah satu isinya adalah dokumen sejarah. Cerita tentang Adam, Musa, Isa itu semua sejarah. Kita tak mengalaminya, tapi harus mengimaninya.

Namun orang-orang dungu malah menyebutnya kafir. Ada pula habib yang kebakaran jenggot karena pernyataan itu. Kebetulan habibnya FPI. Lengkap sudah kebencian terhadap Gus Yahya dijadikan modal provokasi massa.

Dengan melihat doktrin kebencian terhadap Yahudi sebagai dokumen sejarah, kita akan menjadi obyektif. Bayi, perempuan, Yahudi ateis atau memilih agama lain, Yahudi (beragama Yahudi) yang benci Israel, orang Israel yang tak setuju dengan reperesi tentara Israel terhadap Palestina, mereka tidak bersalah. Mereka bukan musuh sebagaimana yang disebut kitab suci itu.

Sampai-sampai membunuh cicak dihubungkan dengan Yahudi. Bersetubuh dengan pasangan dihoaxkan seperti membunuh ribuan Yahudi. Begitu dalamnya kebencian kita terhadap Yahudi karena dokumen sejarah itu. Sampai-sampai mengorbankan akal sehat.

Kedua, karena faktor sejarah negara. Ini akarnya dari doktrin kebencian tadi. Sejarah perpolitikan kita telah menolak dan menajiskan Israel. Dimulai dari Soekarno. Kemudian Soeharto menguatkan sentimen itu, padahal secara diam-diam dia mengadakan hubungan dagang persenjataan dengan Israel.

Faktor sejarah kenegaraan itu menguatkan doktrin kebencian tadi. Siapapun presidennya harus memiliki pandangan politik sama: menolak keberadaan Israel. Gusdur sekalipun tak kuasa menolak kesamaan pandangan politik ini. Maka dulu, ia hanya bisa melemparkan wacana membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Kutukan dan makian terhadap Gus Yahya meluas. Sampai-sampai Gerindra melalui Fadli Zon mengkritik upaya baik Gus Yahya itu. Padahal tidak hanya Gus Yahya yang menghadiri dialog semacam itu. Din Syamsudin juga pernah melakukan hal sama. Namun kenapa dulu orang tidak ribut?

Orang-orang heboh karena ada nama NU.

Kebencian terhadap Gus Yahya itu muncul dari kebencian sebagian orang terhadap NU. Selama ini NU paling getol melawan intoleransi, menjadi bumper menolak HTI. NU adalah garda terdepan menyelamatkan kerukunan beragama. Oleh karena itu NU dimusuhi.

Segelintir orang itu sengaja memprovokasi. Akibatnya, orang-orang NU sendiri ikut-ikutan. Mereka gelap mata. Orang-orang NU ikut memaki kyainya sendiri.

Akibat ulah Fadli Zon itu, kader Gerindra bernama Nuruzzaman mengundurkan diri. Sebagai santri, harga dirinya terasa dilecehkan, saat kyainya dilecehkan. Nama Gus Yahya dijadikan komoditas politik. Padahal ia seorang kyai, Katib Aam NU, orang yang dipercaya menggantikan posisi Hasyim Muzadi sebagai Watimpres.

Fadli Zon sengaja menjual isu ini untuk dagangan ganti presiden. Dengan tanpa adab ia menghalalkan segala cara. Padahal bagi warga NU, nama Gus Yahya itu sangat dihormati. Mestinya peristiwa ini dijadikan catatan bagi nahdliyin untuk mengambil sikap tegas.

Pertama, jangan mudah terpancing provokasi pembenci NU. Mereka yang pura-pura membela Palestina, membela Islam, padahal sebenarnya ingin menyerang NU melalui kyainya.

Warga NU harus melek keadaan. Melihat secara mendalam sebuah peristiwa. Jangan buru-buru membuat tindakan prematur karena emosi. Mengedepankan prasangka baik terhadap kyai. Tetap hormat dan santun.

Kedua, warga NU harus mengingat baik-baik nama pencaci kyai itu, tak terkecuali Fadli Zon dan Gerindra. Jika kader Gerindra seperti Nuruzzaman yang secara ekonomi-politik diuntungkan saja mundur dan berbalik arah, apalagi yang tidak punya hubungan dengan partai itu.

Fadli Zon sengaja dijadikan anjing penyalak oleh Gerindra. Nanti kalau timbul persoalan, mereka akan berlepas-tangan. Bahwa itu urusan pribadinya. Padahal itu corong mereka. Fadli adalah Geridra, Gerindra adalah Fadli. Kalau perlu warga NU harus memiliki tekad mengguremkan Gerindra dan menolak jargon-jargon politik mereka.

Hanya NU jadi-jadian yang diam saja ketika kyainya dilecehkan. Hanya NU palsu yang malah ikut mencaci dan mengkafirkan kyainya. NU sejati akan maju paling depan untuk membela marwah kyainya. NU asli mengedepankan rasa hormat, adab, tawaduk, cinta kepada kyainya.

Bagi warga NU, Fardhu 'ain hukumnya membela Gus Yahya. Lawan para pencaci dan pedagang politik. Guremkan partainya, tolak propagandanya. Karena membela NU berarti membela Indonesia.

"Ya lalwathon ya lalwathon ya lalwathon
Hubbul wathon minal iman
Wala takun minal hirman
Inhadlu ahlal wathon

Indonesia biladi
Anta ‘unwanul fakhoma
Kullu man ya-tika yauma
Thomihan yalqo himama"

(Pusaka hati wahai tanah airku
Cintamu dalam imanku
Jangan halangkan nasibmu
Bangkitlah hai bangsaku

Indonesia negeriku
Engkau panji martabatku
Siapa datang mengancammu
Kan binasa di bawah durimu)

https://seword.com/umum/membela-gus-yahya-BkoBmM0lm

Kajitow Elkayeni


.

PALING DIMINATI

Back To Top