Bismillahirrohmaanirrohiim

SAAT SYAIKHONA KHOLIL DISALAHKAN SANTRINYA

Haul Syaikhona Kholil ke-96, 27 Ramadlan 1439 H.

- SYAIKHONA KHOLIL DISALAHKAN SANTRI -

Pada saat itu, Syaikhona Kholil mengajar santri-santrinya kitab Jurumiyah, memang cukup jarang untuk zaman sekarang jika seorang ‘kiai besar’ yang mulang ‘kitab kecil’ layaknya Jurumiyah karena berbagai aspek. Selain Syaikhona yang terkenal dengan berbagai macam karomahnya, beliau adalah seorang allamah, ahli fiqh, ahli nahwu, dan bidang Syariat Islam lainnya sehingga tak jarang menjawab permasalahan fiqh dengan bait-bait Alfiyah Ibnu Malik (seperti kisah dlomir mustakin yang saya ceritakan tahun lalu), malah dalam kitab al-wasiilatul hariyah, Kiai Ahmad Qusyairi bin Kiai Siddiq menyifati gurunya tersebut bahwa: “Syaikhona Kholil dalam ilmu nahwu seperti Imam Sibawaih, dalam Fiqh seperti Imam Nawawi, dan dari segi banyak kasyaf dan karomahnya seperti Syekh Abdul Qadir al Jailani”. Maka tak heran jika beliau merupakan ulama rujukan umat pada masanya.

Pernah ada kejadian lucu namun penuh makna saat beliau mengajar, yaitu saat beliau mengajar kitab Jurumiyah dan sampai pada Bab La Linafyil Jinsi. Dulu kitab-kitab pesantren masih berbentuk kitab yang tak beraturan paragrafnya sehingga tak ada beda mana judul dan mana isi. Teks yang menerangkan Bab La Linafyil Jinsi dalam Jurumiyah tertulis sebagai berikut:

( بَابُ لاَ، اِعْلَمْ أَنَّ لاَ تَنْصِبُ النَّكِرَاتِ )

Dengan arti “Bab La. Ketahuilah bahwa La menasobkan isim nakiroh”

Namun saat mengajar, Syaikhona Kholil membaca teks tersebut berbeda:

( بَابٌ، لاَ أَعْلَمُ أَنَّ لاَ تَنْصِبُ النَّكِرَاتِ )

Yang menimbulkan arti “Bab. Saya tidak tahu bahwa La menasobkan isim nakiroh”

Tiba-tiba beliaupun marah: “Lah, kalau gurunya tidak tau bagaimana muridnya bisa tau!” Akhirnya beliaupun pulang ke ndalemnya meninggalkan para santri dalam kebingungan.

Keesokan harinya beliau kembali mengajar, lagi-lagi beliau membaca teks tersebut dengan salah, lagi-lagi beliau marah dan langsung pergi meninggalkan para santrinya. Merekapun bingung dan takut, jika seterusnya begini maka pelajaran itu takkan bisa dihatamkan. Akhirnya mereka memikirkan bagaimana solusinya untuk menyelesaikan masalah itu.

Esoknya terulang kembali, Syaikhona Kholil membacanya dengan bacaan yang salah, namun tepat sebelum beliau hendak marah, ada seorang santri yang memberanikan diri berkata:

“Maaf, Kiai. Membacanya bukan begitu, tapi بَابُ لاَ، إِعْلَمْ أَنَّ (bab La, ketahuilah)”

Sontak Syaikhona Kholil berkata dengan suasana ceria: “Nah kalau begini baru benar!” Akhirnya beliau dapat melanjutkan pelajaran tersebut dan para santripun lega dengan itu.

Tidak masuk akal jika sekelas Syaikhona Kholil salah dalam membaca kitab dasar serupa Jurumiyah, lebih-lebih beliau terkenal dengan kealiman nahwunya. Tapi beliau seakan-akan ingin menyampaikan pesan dibalik kejadian tersebut:

“Nak, kalau engkau menyadari sebuah kesalahan dari siapapun, walaupun itu berasal dari seorang yang derajatnya diatasmu, maka perbaikilah dia, namun dengan adab dan musyawarah yang benar dan disepakati, dengan ilmu pasti, sebab kasihan dia jika engkau diamkan dalam kesalahannya, dan kasihan dirimu mengabaikan kesempatan untuk menjadi tegas dalam kebenaran.

Nak, ini bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang benar, ini bukan tentang ‘membully’ sebuah kesalahan oleh orang yang merasa benar, ini bukan tentang orang salah yg tidak terima untuk disalahkan, tapi ini tentang mengingatkan kebenaran, ini tentang menciptakan suasana bahagia antar sesama, karena kita tahu bahwa kesamaan prinsip lebih menciptakan kedamaian. Bukankah indah jika ia sadar akan kesalahannya berkat teguran sopan darimu? Bukankah indah jika kau bisa mengingatkannya dengan lembut, dengan rasa tulus dari hati bahwa niatmu bukan menggurui tapi murni ingin meluruskan?

Nak, ini bukan tentang menyalahkan seseorang, tapi ini tentang membenarkan sebuah kesalahan.”

Begitulah Syaikhona Kholil dan rahasia dibalik tingkah lakunya yang menjadi ayat untuk kesadaran seseorang. Seorang ulama besar yang menampakkan bahwa jika memang salah dirinya mau disalahkan bahkan oleh santri yang masih belajar. Seorang ulama besar yang berhasil mendidik murid kecilnya menjadi orang yang tegas dan beradab jika menyampaikan kebenaran serta tak sembarangan menuding sebuah kesalahan.

Akhlak ini yang patut kita tiru, sebab sangat tidak pantas jika kita sebagai orang awam tapi bertingkah seolah tak pernah salah. Atau menuding sebuah kesalahan yang kita sendiri tidak tau apakah tudingan tersebut benar atau salah. Kita telah melupakan musyawarah gara-gara kebebasan berbicara, kita menuding seenaknya tanpa mengingat bahwa dalam memperbaiki sesuatu pasti ada cara.

( يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوْا الله وَقُوْلُوا قَوْلاً سَدِيْداً. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ )

“Wahai orang beriman, takutlah pada Allah, berkatalah yang konsisten, maka sedikit demi sedikit Allah memperbaiki kelakuanmu dan mengampuni kesalahanmu”

Maka dengan akhlak ini, mari kita memohon kepada Allah, dengan berkah Syaikhona Kholil, agar kita dimasukkan dalam golongan orang-orang yg rendah hatinya sehingga mudah bagi kita untuk selalu Ridlo terhadap Qodlo dan Qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala, bijahi Sayyidina Rosulillah Muhammad shollallohu alaihi wasallam. Amiin.

——

Jika kita memahami kisah ini, khususnya ayat itu, berarti kita siap untuk berhenti dari kericuhan yang tak mencari kebenaran, baik di Facebook ataupun dunia nyata, apapun permasalahannya, baik politik maupun agama, serta siapapun pemicunya. Jika lupa atau terlena maka perbanyaklah istighfar, seperti yang selalu kita baca di akhir-akhir al baqoroh ketika bertahlil. Robbana laa tuakhidzna in nasiina aw akhtho’na. Kecuali jika kita memang menganggap semua itu permainan, termasuk kita sendiri. Wamal hayatud dunya illa la’ibuw wa lahw.

Muhammad Ismail Al-Ascholy
Demangan, 27 Ramadlan 1439 H


.

PALING DIMINATI

Back To Top