tag:blogger.com,1999:blog-204160102024-03-28T00:29:21.880+07:00Pustaka Muslim AssalafiyyahKumpulan Artikel Pustaka Muslim AssalafiyyahUnknownnoreply@blogger.comBlogger2433125tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-44586798643793277312024-03-28T00:28:00.001+07:002024-03-28T00:28:50.101+07:00PEMAKNAAN SABILILLAH DAN NALAR KAPITALISME<div>Oleh Abdul Wahhab Ahmad </div><div><br></div><div>Saya berulangkali menulis bahwa pemaknaan sabilillah sebagai sabilul khair adalah pemaknaan yang sangat lemah sehingga tidak dipakai sebagai acuan resmi dalam empat mazhab. Kelemahan utamanya adalah pemaknaan ini dapat menggugurkan kriteria delapan kelompok penerima zakat. </div><div><br></div><div>Ketika ayat at-Taubah: 60 menyatakan dengan jelas bahwa yang berhak menerima zakat HANYA delapan kelompok saja, maka artinya tidak ada pihak di luar itu yang berhak. Tetapi dengan pemaknaan yang diperluas, maka gugurlah ayat at-Taubah: 60 itu. Lihat saja, lembaga amil zakat dan masyarakat secara umum apakah masih peduli terhadap ayat itu? Makin lama makin tidak peduli sebab di benak mereka, yang penting tujuannya bagus di jalan Allah maka diberi harta zakat. Mau itu anak yatim, mau itu pembangunan masjid, mau itu gaji ustadz, atau apa pun yang bisa dibayangkan asal "berbau agama" maka diberi harta zakat. </div><div><br></div><div>Semua ini berawal dari adanya nukilan yang dilakukan oleh Imam al-Qaffal dalam tafsirnya yang ditulis sewaktu beliau masih muktazilah yang menyatakan bahwa sabilillah adalah semua tujuan kebaikan, meski nukilannya tidak jelas dinukil dari siapa. Siapa yang menafsirkan begitu? Kita tidak pernah tahu, yang jelas bukan al-Qaffal sendiri sebagaimana banyak disalahpahami. Lagipula ia masih muktazilah saat itu sehingga tampaknya menukil dari ahli bidáh entah siapa, bukan dari mujtahid kredibel. Itulah sebabnya nukilan tersebut diabaikan di kitab muktamad empat mazhab. Anda hanya dapat menemuinya dari bukan kitab babon yang membanyak qila dan qala. Tapi kemudian fakta ini berubah menjadi narasi "pendapat Imam Qaffal dari kalangan Syafiíyah", seolah itu adalah pendapat kredibel dalam mazhab Syafií. Duuh, para penulis kitab banyak bertanggung jawab atas kesalahpahaman ini.</div><div><br></div><div>Distorsi makin parah sejak Yusuf Qardhawi menulis buku Fikih Zakatnya. Ia menguatkan nukilan al-Qaffal tersebut dengan berbagai argumen yang sekuat tenaga mendorong agar zakat tidak hanya dibatasi pada delapan golongan sebagaimana dalam al-Qurán sebab makna Sabilillah digunakan seluas-luasnya untuk berbagai tujuan yang dianggap kebaikan. Buku tersebut kemudian menjadi semacam "kitab suci" bagi para pengurus Lembaga Zakat agar mereka leluasa menggunakan harta zakat untuk apa pun, asalkan dianggap baik, termasuk untuk memperkaya lembaganya tentu saja.</div><div><br></div><div>Dari sinilah nalar kapitalis bermain. Masyarakat muslim wajib zakat dianggap sebagai potensi besar untuk menghasilkan sumber uang. Potensi zakat masyarakat di tiap daerah dihitung dan jumlahnya selalu fantastis bahkan bisa melebihi APBD sebuah kota. Penyalurannya juga tidak terbatas lagi sehingga bisa dpakai untuk apa pun yang dianggap baik. Dengan itu muncullah ide untuk mengelola potensi harta yang begitu besar tersebut agar tidak menguap begitu saja. Pengelolaannya dilakukan oleh lembaga yang bertindak seperti sebuah perusahaan pada umumnya, sehingga saya sebut saja sebagai perusahaan zakat sebagai penekanan dramatis. Dan, perusahaan zakat pun bermunculan dengan ide-ide besar mengelola perputaran uang yang jumlahnya fantastis.</div><div><br></div><div>Pintu masuk profit perusahaan (baca: Lembaga Zakat) adalah pada jatah amil yang tidak diatur secara tegas dalam al-Qur'an berapa porsinya. Dengan begitu perusahaan merasa bebas mengambil jatah dari harta zakat yang diterimanya, apalagi regulasi pemerintah (PP No 14 tahun 2014) juga tidak menyebutkan secara jelas berapa persen yang boleh diambil sebagai hak amil. Dengan demikian, lembaga zakat dapat mengambil profit untuk lembaganya dan pengurusnya tentu saja. Masih ingat kasus ACT yang pengurusnya hidup mewah dari uang zakat dan donasi masyarakat? </div><div><br></div><div>Padahal kalau merujuk pada kitab fikih, jatah amil hanyalah jatah sewajarnya (ongkos standar) sesuai pekerjaan yang dilakukan setiap individu amil. Dengan kata lain, ia dibayar sesuai upah standar sesuai jenis pekerjaannya, tidak boleh lebih. Sebab itulah, Khalifah Umar bin Khattab pernah menghukum Sayyidina Abu Hurairah dengan dugaan mendapat terlalu banyak harta setelah diangkat menjadi amil, meskipun dugaan tersebut ternyata salah. Tapi masa bodoh dengan kitab fikih dan kisah "usang" yang menghambat profit itu, perusahaan harus makin berkembang dengan modal kapital (harta zakat) yang semakin besar. </div><div><br></div><div>Akhirnya semua obyek yang seharusnya tidak wajib zakat malah ditarik zakatnya. Pendapatan dari jasa juga ditarik dengan judul zakat profesi yang sebetulnya adalah nama lain dari pajak penghasilan yang tidak dikenal dalam satu milenium fikih umat islam. Pokoknya kalau bisa semua objek yang menghasilkan uang harus ditarik pajaknya, eh zakatnya. Sebagai aplikasinya, maka gaji PNS yang sebenarnya masih pas-pasan dipotong zakat dengan asumsi gajinya kalau ditotal setahun bisa buat beli emas seharga satu nishab, padahal boro-boro buat beli emas satu nishab, buat membayar cicilan saja masih sulit.</div><div><br></div><div>Loh kan dalam zakat ada persyaratan haul (hitungan setahun) yang menjadikan sebuah harta baru wajib dizakati? Lagi-lagi, masa bodoh dengan syarat haul di kitab fikih. Perusahaan tidak mau menunda menarik pajak, eh salah lagi, maksudnya zakat, hingga setahun dari semua yang dianggap wajib zakat. Akhirnya semua pakai analogi ke zakat tanaman yang wajib keluar zakat setiap panen. Akhirnya aturan yang dipropagandakan adalah: Kalau anda muslim yang baik, maka setiap anda punya penghasilan besar maka bayarlah pajaknya, eh salah terus, zakat maksudnya. Dengan demikian, kapital perusahaan semakin besar.</div><div><br></div><div>Hal lainnya, sebuah perusahaan zakat tidak ada di setiap daerah sehingga jangkauannya terbatas. Lebih-lebih dalam kitab fikih ada aturan memindah zakat dari suatu lokasi ke lokasi lain. Hal ini tentu menghambat pemasukan perusahaan. Tapi tenang, perusahaan tidak kehabisan akal sehingga mengambil pendapat lemah yang memperbolehkan naql az-zakat (memindah lokasi zakat) dan mengambil juga pendapat yang memperbolehkan zakat dalam bentuk uang. Dengan oplosan pendapat lemah tersebut, akhirnya dipropagandakanlah gerakan transfer zakat. Mau zakat gak usah ribet, tinggal transfer saja, begitu kata iklan mereka. Dengan demikian, orang yang tinggal di pelosok daerah menyetorkan zakatnya pada perusahaan zakat yang mungkin ada di Jakarta, misalnya. Dan, kapital berhasil membengkak secara signifikan dan semua yang ada di perusahaan semakin sejahtera. Anda tidak sepolos itu merasa ACT hanya satu-satunya oknum bukan?</div><div><br></div><div>Pintu keluar atau distribusi keuangan perusahaan zakat merujuk pada "kitab suci" yang berjudul Fikih Zakat karya Yusuf Qardhawi tersebut. Dengan itu, tidak ada yang dapat membedakan antara perusahaan zakat dengan perusahaan non-profit lain di negara non-muslim sekali pun. Hartanya mau dibuat beasiswa? mau dibuat membangun infrastruktur, mau dibuat sebagai gaji bagi para ustadz yang berafiliasi dengan perusahaan? mau dibuat apa pun juga semuanya bisa dengan alasan fi sabilillah. </div><div><br></div><div>Dengan demikian lengkap sudah syarat sebuah perusahaan untuk berdiri dan memperkaya diri. Pemasukan dan pengeluarannya sudah jelas dan bebas. Anda mau bicara ayat? ayat apa itu, semua sudah lupa. Anda mau bicara kitab fikih muktamad? makhluk apa muktamad itu, semua juga lupa. </div><div><br></div><div>Tulisan ini tidak bermaksud memburukkan citra semua lembaga zakat sebab saya yakin masih ada lembaga zakat yang dikelola sesuai pedoman kitab-kitab fikih yang muktamad. Tapi tulisan ini hendak menghentak kesadaran banyak dermawan yang sebenarnya sedang dimanfaatkan oleh pemilik nalar kapitalis. Tulisan ini juga sebagai pengingat bagi kawan-kawan penggiat kajian fikih yang ingin tampil beda dengan menukil qaul-qaul dhaif yang tanpa kalian sadari sudah menjadi amunisi bagi perusahaan zakat menambah profitnya dengan cara yang melanggar aturan kitab fikih standar.</div><div><br></div><div>Semoga bermanfaat.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-48401292974956542362024-03-24T20:49:00.001+07:002024-03-24T20:49:20.234+07:00Rukhsah Puasa, Qadha dan Fidyah<div><br></div><div>Oleh Kiai Ma'ruf Khozin </div><div><br></div><div>Jika mempelajari ayat Al Qur'an tentang kewajiban puasa maka pelajari secara menyeluruh ayat-ayat sesudahnya. Inilah bentuk kemahailmuan Allah atas hambaNya. Setelah Allah perintahkan puasa, Allah maha tahu ada hambaNya yang tidak mampu sementara waktu dan tidak mampu seterusnya.</div><div><br></div><div>Atas kemaharahmanan Allah, kita diberi keringanan untuk tidak berpuasa. Berikut beberapa bagiannya:</div><div><br></div><div>1. Qadha' tanpa fidyah</div><div><br></div><div>Yaitu sakit dan bepergian jauh. Allah berfirman:</div><div><br></div><div>فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ</div><div><br></div><div>"... Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (al-Baqarah: 185)</div><div><br></div><div>Tahun lalu saya sempat kelelahan. Saya ke dokter dan saya perkirakan mampu berpuasa seharian. Tapi dokter menyarankan agar minum obat dulu agar sembuh lebih cepat. Saya langsung membatalkan puasa dan minum obat. Alhamdulillah sembuh.</div><div><br></div><div>Bagi saya lebih baik batal untuk diobati agar segera sembuh dari pada memaksa berpuasa yang menyebabkan penyakit tambah parah atau sembuhnya makin lama. Toh Allah memberi keringanan dan ada waktu 11 bulan untuk qadha.</div><div><br></div><div>2. Fidyah tanpa qadha'</div><div><br></div><div>Berdasarkan ayat berikut:</div><div><br></div><div>وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ [البقرة/184]</div><div><br></div><div>"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin."</div><div><br></div><div>Seorang Sahabat Nabi yang digelari interpretator Al-Qur'an memberi penafsiran:</div><div><br></div><div>قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: رُخِّصَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمُ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ </div><div><br></div><div>Ibnu Abbas: “Orang yang sangat tua boleh tidak puasa, namun membayar fidyah setiap hari untuk orang miskin, tanpa qadla” (Daruquthni dan al-Hakim)</div><div><br></div><div>Ulama Syafi'iyah menggolongkan:</div><div><br></div><div>1. Orang pikun</div><div>2. Orang sakit yang tidak ada harapan sembuh</div><div><br></div><div>Pada golongan orang yang sangat tua, sehingga wajib fidyah saja, tanpa qadha.</div><div><br></div><div>3. Qadha dan Fidyah</div><div><br></div><div>Yakni pada wanita yang sedang hamil atau sedang memberi ASI.</div><div><br></div><div>وَفِي الْحَدِيْثِ: " إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ، وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ " (رواه احمد)</div><div><br></div><div>Hadis: "Sesungguhnya Allah memberi keringanan bagi musafir dalam puasa dan salat Qashar, serta bagi wanita hamil dan menyusui (untuk tidak) puasa” (HR Ahmad)</div><div><br></div><div>وَعَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سُئِلَ عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَامِلِ إِذَا خَافَتْ عَلَى وَلَدِهَا فَقَالَ: تُفْطِرُ، وَتُطْعِمُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ (رواه مالك والبيهقي)</div><div><br></div><div>Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya. Ia menjawab: “Wanita tersebut mengeluarkan makanan tiap hari untuk orang miskin sebanyak 1 mud” (Malik dan Baihaqi)</div><div><br></div><div>وَعِنْدَ أَحْمَدَ وَالشَّافِعِي: أَنَّهُمَا - إِنْ خَافَتَا عَلَى الْوَلَدِ فَقَطْ وَأَفْطَرَتَا - فَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ وَالْفِدْيَةُ، وَإِنْ خَافَتَا عَلَى أَنْفُسِهِمَا فَقَطْ أَوْ عَلَى أَنْفُسِهِمَا وَعَلَى وَلَدِهِمَا فَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ، لاَ غَيْرُ.</div><div><br></div><div>Madzhab Syafii dan Ahmad: “Jika wanita hamil dan menyusui khawatir pada anaknya saja, maka wajib qadla’ dan fidyah. Jika khawatir pada dirinya saja, atau dirinya dan anaknya maka wajib qadla’ saja, tanpa fidyah”</div><div><br></div><div>Demikian pula qadha dan fidyah berlaku bagi orang yang menunda qadha tanpa uzur hingga tiba Ramadhan berikutnya:</div><div><br></div><div>( وَمَنْ أَخَّرَ قَضَاءَ رَمَضَانَ ) أَوْ شَيْئًا مِنْهُ ( مَعَ إمْكَانِهِ ) بِأَنْ لَمْ يَكُنْ بِهِ عُذْرٌ مِنْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ ( حَتَّى دَخَلَ رَمَضَانُ آخَرَ لَزِمَهُ مَعَ الْقَضَاءِ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ ) لِأَنَّ سِتَّةً مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ قَالُوا بِذَلِكَ </div><div><br></div><div>"Menunda qadla’ puasa ramadlan sampai tiba ramadlan kedua tanpa udzur seperti sakit, maka wajib qadla’ dan fidyah. Berdasar fatwa 7 Sahabat" (Mughni Al-Muhtaj). </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-48282968223736379732024-03-23T22:20:00.001+07:002024-03-23T22:20:11.819+07:00Burung Pipit Dalam Kitab Kuning <div>Oleh Yusuf Suharto </div><div><br></div><div>Ada seekor burung kecil yang bernama al-'Ushfur. Jenis burung ini jika diterjemahkan dalam bahasa Jawa menjadi manuk Emprit, dan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai burung Pipit. </div><div><br></div><div>Ada sebuah kitab cerita motivasi yang cukup populer di tanah air, namanya Al-Mawaidh al-Ushfuriyah (Nasehat-Nasehat yang Bernuansa Burung Pipit), ditulis oleh Syekh Muhammad ibn Abi Bakr, yang berisi 40 hadits dengan bubuhan nasehat-nasehat dan hikayat (cerita-cerita) yang relevan.</div><div><br></div><div>Disebut kitab bernuansa Ushfur, karena barangkali karena kisah pertama dari kitab ini tentang kasih sayang Sayyidina Umar ibn Khattab, terhadap al Ushfur yang dibuat mainan seorang bocah cilik. Khalifah kedua dalam sejarah Islam ini berinisiatif membeli burung kecil ini dari si bocil, kemudian membebaskan sang Ushfur. Berkah pembebasan ini, Sayyidina Umar masuk surga. </div><div><br></div><div>Ketika kami dahulu mengalami pelajaran agama di surau (langgar), salah seorang ustadz mengajikan kitab ini dalam momen pasanan (ngaji kilatan selama bulan Ramadhan).</div><div><br></div><div>Ketika kami mengajar di kampus di salah satu kampus di Pacet Mojokerto, ada salang seorang Gus yang rutin mengajikan kitab ini setiap Ba'da Shubuh di masjid untuk para mahasiswa.</div><div><br></div><div>Ketika kami mengajar di salah satu asrama di salah satu Pesantren di Jombang, ada salah seorang Ning yang mengajikan kitab ini untuk para santri.</div><div><br></div><div>Ketika kami berinteraksi dengan masyarakat, ada salah satu takmir masjid di Jombang, yang setidaknya dua tahun ini, dalam momen bulan Ramadhan, mengajikan kitab ini untuk masyarakat.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-68616930308382902842024-03-20T09:01:00.001+07:002024-03-20T09:01:32.242+07:00Fatwa Ulama Salafi Tentang Imsak<div>Oleh KH. Ma'ruf Khozin </div><div><br></div><div>Tiap Ramadan selalu muncul pernyataan ustaz-ustaz Salafi yang membidahkan Imsak. Hal ini berawal dari Fatwa Syekh Utsaimin. Tapi memang para pengikutnya di Indonesia kurang baca kitab-kitab sesama mereka, akhirnya kebenaran hanya dianggap datang dari 1 Syekh saja.</div><div><br></div><div>Ada seorang ulama Salafi yang fatwa-fatwanya sering mengutip pendapat Syekh Bin Baz dan lainnya, takhrij hadisnya banyak mengambil dari Syekh Albani. Tapi giliran masalah Imsak sebelum azan Subuh justru menilai bukan bidah. Karena beliau memakai pendekatan Ilmu Ushul Fikih. Berikut fatwa Syekh Abdullah Al-Faqih:</div><div><br></div><div>ﻭﺃﻣﺎ ﻛﻮﻥ اﻹﻣﺴﺎﻙ ﻗﺒﻞ اﻷﺫاﻥ ﺑﺪﻋﺔ ﻓﻠﻴﺲ ﺫﻟﻚ ﺑﺼﺤﻴﺢ ﻷﻥ اﻷﻣﺮ ﻋﻠﻰ اﻹﺑﺎﺣﺔ ﻭﻟﻴﺲ ﻋﻠﻰ اﻟﻮﺟﻮﺏ ﺃﻥ ﻳﺄﻛﻞ ﻭﻳﺸﺮﺏ ﺣﺘﻰ ﻳﻄﻠﻊ اﻟﻔﺠﺮ.</div><div>ﻭﻗﺪ ﻛﺎﻥ اﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻣﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻳﻤﺴﻚ ﻗﺒﻞ اﻟﻔﺠﺮ ﻭﻗﺪ ﺟﺎء ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺢ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻋﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﺃﻧﻬﻢ ﻛﺎﻧﻮا ﻳﺘﺴﺤﺮﻭﻥ ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺛﻢ ﻳﻘﻮﻣﻮﻥ ﻟﻠﺼﻼﺓ ﻓﺴﺌﻞ ﻛﻢ ﻛﺎﻥ ﺑﻴﻦ ﺫﻟﻚ ﻓﻘﺎﻝ: (ﻣﻘﺪاﺭ ﺧﻤﺴﻴﻦ ﺁﻳﺔ.)</div><div><br></div><div>Imsak sebelum azan subuh dianggap bidah adalah tidak benar. Sebab perintah dalam ayat adalah kebolehan, bukan kewajiban untuk makan dan minum hingga terbit fajar. Sungguh para Sahabat ada yang sudah Imsak (tidak makan dan minum) sebelum subuh. Sudah dijelaskan dalam hadis Bukhari dari Zaid bin Tsabit bahwa mereka sahur bersama Nabi shalallahu alaihi wasallam lalu melaksanakan salat. Setelah ditanya berapa jarak antara makan sahur dan salat subuh, maka dijawab "sekitar 50 ayat" (Fatawa Syabakah Islamiyah, no 1817)</div><div><br></div><div>○ Dalil Imsak ada Ustaz. Anda saja yang tidak tahu.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-54993521755152323472024-03-19T11:59:00.001+07:002024-03-19T11:59:26.433+07:00Tentang Imsak Puasa dalam Pandangan Ulama<div>Oleh Yusuf Suharto </div><div><br></div><div>Berkembang video usulan seorang ustadz agar istilah imsak ditiadakan dan diganti dengan tanbih (peringatan).</div><div><br></div><div>Maksudnya tentu baik, dan kita bisa memahami. Namun, ketika disimpulkan bahwa istilah imsak itu salah, maka sebagai pelaku tradisi imsak, kita perlu mengungkapkan argumentasi.</div><div><br></div><div>Berikut ini, kami mengutip dawuh dua ulama:</div><div><br></div><div>Kiai Afifudin Muhajir dawuh,</div><div>"Puasa itu dimulai sejak masuk waktu Shubuh. Tapi dianjurkan mulai menahan diri (إمْسَاكْ) beberapa saat (kira-kira lima menit) sebelumnya." </div><div><br></div><div>Syekh Muhammad bin Ali Ba'athiyah, seorang pakar fikih mazhab Syafi'i dalam kitab Ghayatul Muna, halaman 595-596, tentang pemaknaan hadits riwayat Zaid bin Tsabit tentang interval (jeda waktu) 50 ayat:</div><div>اي ما بين إنتهائنا من سحورنا وصلاتنا</div><div> </div><div>menyatakan,</div><div><br></div><div>"Maksudnya adalah interval (jeda waktu) antara selesainya sahur kami dan shalat kami."</div><div><br></div><div>Kemudian beliau menyambung dengan memakai istilah imsak, sebagai berikut,</div><div><br></div><div>ومن هنا أخذ أهل العلم سنة الإمساك قبل الفجر لتحقيق الصوم،</div><div><br></div><div>"Dari riwayat ini, ulama mengambil pendapat kesunnahan imsak sebelum fajar demi memastikan (keabsahan) puasa." </div><div><br></div><div> Maturnuwun, Kiai Nur Hasim atas referensi kitab meniko.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-43996833482160490802024-03-18T12:47:00.001+07:002024-03-18T12:47:39.410+07:00Fatwa sesat meneruskan makan dan minum selagi adzan shubuh berkumandang<div>Komentar Syekh Muhammad bin Ali Ba'athiyah, faqih Syafi'iyyah, ketika mengomentari hadits riwayat Zaid bin Tsabit tentang interval (jeda waktu) 50 ayat :</div><div><br></div><div>اي ما بين إنتهائنا من سحورنا وصلاتنا</div><div> </div><div>Maksudnya interval (jeda waktu) antara selesainya sahur kami dan shalat kami</div><div><br></div><div>ومن هنا أخذ أهل العلم سنة الإمساك قبل الفجر لتحقيق الصوم،</div><div><br></div><div>Dari riwayat ini, ulama mengambil pendapat kesunnahan imsak sebelum fajar demi memastikan (keabsahan) puasa.</div><div><br></div><div> وفيه رد على خوارج هذا العصر الذين يفتون الناس بالأكل والشرب حتى مع دخول الوقت وأذان المؤذن، ومن المعلوم أن المؤذن في هذا الأيام لا يؤذن إلا إذا طلع الفجر فمن أكل أو شرب مع سماعه لأذان الفجر أثم وكان مفطرا. </div><div><br></div><div>Dan dalam riwayat ini pula, terdapat bantahan kepada khawarij masa kini yang telah berfatwa kepada masyarakat untuk meneruskan makan dan minum meski waktu subuh telah masuk dan muadzin telah mengumandangkan adzan, padahal sebagaimana telah diketahui bahwa muadzin di masa ini selalu adzan ketika fajar telah terbit. Oleh karena itu, sesiapa yang makan atau minum bersamaan mendengar adzan fajar, maka ia berdosa dan batal puasanya.</div><div><br></div><div> غاية المنى ٥٩٥-٥٩٦</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-22114706855936349062024-03-17T08:51:00.001+07:002024-03-17T08:51:30.015+07:00Benarkah ada hadits keutamaan Tarawih 30 malam ? Benarkah ada hadits keutamaan Tarawih 30 malam ? <div>( kritik atas Hadits yang viral setiap bulan Ramadhan ) </div><div><br></div><div>Setiap bulan Ramadhan, kita seringkali menemukan hadits yang biasanya selalu disebarkan oleh banyak masyarakat, salah satunya adalah hadits keutamaan Tarawih komplit mulai malam pertama sampai malam terakhir, kalian mungkin pernah menemukan sebagian kerabat atau sahabat yang menyebarkannya dan menjadikannya sebagai status wa setiap hari di bulan suci ini. </div><div><br></div><div>tapi yang menjadi masalah disini, banyak yang mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits Maudhu’ alias palsu, apakah benar seperti itu realitanya ? mari kita bahas secara ilmiah dan objektif 👉</div><div><br></div><div> 1. bertentangan dengan sejarah shahih dari sholat Tarawih</div><div><br></div><div>ada beberapa “kejanggalan” yang membuat kita patut mencurigai hadits ini, yang pertama adalah konten hadits ini yang sangat jelas bertentangan dengan sejarah dari sholat Tarawih itu sendiri, buat kalian yang mengkaji ilmu hadits dan sejarah Nabi, pasti sudah mengetahui bahwa Tarawih “Continue” 30 malam berturut-turut belum ada pada zaman Baginda Nabi, melainkan baru ada pada masa kepemimpinan Sayyidina Umar :</div><div><br></div><div>حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ، أَنَّ عَائِشَةَ، أَخْبَرَتْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ، فَصَلَّى فِي المَسْجِدِ، فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلاَتِهِ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ، فَتَحَدَّثُوا، فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ، فَصَلَّوْا مَعَهُ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ، فَتَحَدَّثُوا، فَكَثُرَ أَهْلُ المَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ المَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ، فَلَمَّا قَضَى الفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ، فَتَشَهَّدَ، ثُمَّ قَالَ: «أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ، لَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ، فَتَعْجِزُوا عَنْهَا» قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: تَابَعَهُ يُونُسُ (رواه البخاري) </div><div><br></div><div>Hadits Shahih yang diriwayatkan Imam Bukhori diatas jelas mengatakan bahwa Baginda Nabi Saw hanya pernah Sholat ( di tengah malam di bulan Ramadhan, belum ada nama “Tarawih” ketika itu ) selama 3 malam, setelah itu beliau tidak pernah lagi keluar untuk sholat di masjid selama Ramadhan bersama para sahabat karena khawatir hal itu akan diwajibkan atas para ummatnya, dan mereka tak akan mampu. tentunya unik jika tiba-tiba dan ujug-ujug ada hadits Nabi yang menjelaskan keutamaan Tarawih secara komplit mulai malam pertama sampai malam terakhir</div><div><br></div><div> 2. Nama “Tarawih” belum ada di zaman Baginda Nabi </div><div><br></div><div>Para pakar sejarah sepakat bahwa sholat malam berjamaah di masjid setiap malam Ramadhan baru dilaksanakan oleh Sayyidina Umar dalam masa kepemimpinannya, Imam Thobari mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi pada tahun 14 Hijriah atau 922 Masehi, dan masih belum ada penamaan “Tarawih” pada waktu itu, tidak ada data hadits baik Sabda Baginda Nabi atau komentar para sahabat yang menyebutkan nama “Tarawih” secara spesifik, bahkan Sayyidina Umar sekalipun. Nama “Tarawih” baru muncul setelah ummat Islam pada waktu itu “menyela-nyela” setiap 2 atau 4 dari 20 Rakaat Tarawih dengan “rehat” sejenak, rehat ini yang dalam bahasa arab dinamakan “Tarwihah” yang dalam bentuk pluralnya disebut “ Tarawih” </div><div><br></div><div>وَالتَّرَاوِيحُ جَمْعُ تَرْوِيحَةٍ وَهِيَ الْمَرَّةُ الْوَاحِدَةُ مِنَ الرَّاحَةِ كَتَسْلِيمَةٍ مِنَ السَّلَامِ سُمِّيَتِ الصَّلَاةُ فِي الْجَمَاعَةِ فِي لَيَالِي رَمَضَانَ التَّرَاوِيحَ لِأَنَّهُمْ أَوَّلَ مَا اجْتَمَعُوا عَلَيْهَا كَانُوا يَسْتَرِيحُونَ بَيْنَ كُلِّ تَسْلِيمَتَيْنِ </div><div><br></div><div>( Fathul Bari, 4 / 250 ) </div><div><br></div><div> 3. Hadits ini sama sekali tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits yang kredibel </div><div><br></div><div>ini salah satu point yang paling janggal ( emang boleh sejanggal itu ? ) Fakta dan realita yang tidak bisa dipungkiri adalah hadits ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab Hadits yang “Mu’tabaroh”, bahkan dalam kitab-kitab yang menjelaskan hadits-hadits paling palsu sekalipun. padahal adanya sebuah “referensi” merupakan syarat paling utama untuk menentukan status dari sebuah hadits. hadits ini hanya disebutkan dalam kitab “Durrotunnasihin” sebuah kitab petuah dan nasehat yang di-blacklist oleh banyak ulama pakar hadits karena memuat hadits-hadits palsu tak bersanad dengan prosentase yang sangat besar </div><div><br></div><div> 4. Durrotunnasihin adalah kitab yang sangat problematik </div><div><br></div><div>jika hadits itu dimuat dalam kitab sekaliber “Ihya’ Ulumuddin” mungkin kita masih bisa berhusnudzon karena penulisnya adalah ulama agung seperti Imam Ghozali, akan tetapi “Durrotunnasihin” adalah kitab yang berisi kisah-kisah dan petuah yang dipermasalah oleh banyak ulama ahli hadits seperti : Sayyid Muhammad Al-Maliki ( yang kata aba saya bahkan menamakan kitab itu sebagai “ ضرة الناصحين ", Habib Abdullah Bin Abdul Qodir Bilfaqih, Kh. Ali Mustafa Yaqoub dll ) </div><div><br></div><div>Penulis Kitab Durrotunnasihin sendiri yaitu Syaikh Usman bin Hasan bin Ahmad al-Syakir al-Khaubary adalah sosok yang cukup misterius, sangat minim sekali data dan referensi yang menukil tentang biografi beliau ( apa specialis keilmuan beliau dan dimana dan kepada siapa beliau berguru, apakah beliau ahli hadits atau bukan ? ) </div><div><br></div><div> 5. iming-iming pahala yang sangat “wah” dan luar biasa</div><div><br></div><div>Para ulama pakar hadits mengatakan bahwa salah satu indikasi “kepalsuan” hadits adalah iming-iming pahala yang sangat besar untuk ibadah dengan “effort” yang sederhana, tentunya ini hanya indikasi yang sekuat apapun, penentu utamanya adalah “sanad” dari hadits tsb, pahala “wah” dan “wow” dalam hadits ini semisal mendapat pahala mengkhatamkan 4 kitab suci, diberi anugerah seperti ibadahnya para Nabi, seperti melakukan 1000 haji, dll.</div><div><br></div><div> 6. Hadits ini tidak memiliki sanad sama sekali</div><div><br></div><div>الإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ</div><div><br></div><div>"Sanad adalah bagian dari agama, kalau bukan karena sanad maka siapa saja bisa mengatakan apa yang dia suka “ </div><div><br></div><div>ini adalah puncak dari kejanggalan hadits ini, hadits ini tidak punya sanad sama sekali ! Hadits ini hanya dinisbatkan kepada Sayyidina Ali kepada Baginda Nabi dalam sebuah kitab problematik yaitu Durrotunnasihin tanpa menyebutkan silsilah sanad dari hadits tsb. padahal kita ketahui sendiri bahwa sanad atau mata rantai informasi adalah elemen paling penting dalam menentukan benar tidaknya sebuah ucapan yang diklaim sebagai Sabda Baginda Nabi Saw </div><div><br></div><div> 7. Komentar para ulama terkait hadits ini </div><div><br></div><div>Kh. Najih Maimoen Zubair memiliki kitab khusus yang menjelaskan status hadits-hadits yang ada dalam kitab Durrotunnasihin bernama “ Qurrat Ain Annadzhirin fi Takhrij Ahadits Durrotinnasihin” , tulis beliau ketika mengomentari hadits ini :</div><div><br></div><div>لم نقف عليه في مراجعنا </div><div><br></div><div>“ kami tidak menemukan hadits ini dalam referensi-referensi kami “ </div><div><br></div><div>Kh. Ali Mustafa Yaqoub menuliskan :</div><div><br></div><div>“ Hadis ini merupakan penggalan dari Hadis panjang tentang keutamaan malam bulan Ramadhan dari malam 1-30. Hadistersebut tidak ada dalam kitab-kitab hadis. Namun. Utsman al-Khubbani dalam kitabnya "Durrah al-Nashihiin" menyebutnya sebagai Hadis Riwayat Ali bin Abi Thalib ra, tanpa menyebutkan dari mana sumber hadis tersebut. Maka dari itu, hadis tersebut adalah hadis maudhu, alias palsu “ </div><div><br></div><div> 8. Kesimpulan </div><div><br></div><div>kalo kita mau menilai secara fair dan objektif, kita bisa menyimpulan bahwa Hadits ini adalah hadits yang sangat bermasalah baik dari segi matan ( konten ) maupun dari segi sanad ( mata rantai data ), hadits ini, andaipun belum bisa dipastikan 100 persen adalah Hadits Maudhu’ atau palsu, akan tetapi sudah masuk pada taraf “ Al-Ghalib ala dzon” atau punya potensi yang sangat besar sebagai hadits palsu, kecuali jika teman-teman yang menyebarkannya bisa menyebutkan 1 saja sanad dan referesni lain dari hadits ini. </div><div><br></div><div>oleh karena itu hukum menyebarkan hadits ini adalah tidak boleh kecuali jika disertai keterangan bahwa hadits ini adalah hadits palsu, bagaimana jika seseorang menyebarkannya dan menjadikannya sebagai status Wa dengan tujuan baik seperti untuk memotivasi ? jawabannya adalah : semakin tidak boleh. berikut komentar para ulama terkait menyebarkan hadits palsu dengan “dalih” untum memotivasi dan menginsipirasi 👉 </div><div><br></div><div>لا فرق في تحريم الكذب عليه صلى الله عليه وسلم بين ما كان في الأحكام وما لا حكم فيه كالترغيب والترهيب والمواعظ وغير ذلك، فكله حرام من أكبر الكبائر وأقبح القبائح بإجماع المسلمين الذين يعتد بهم في الإجماع، ويحرم رواية الحديث الموضوع على من عرف كونه موضوعا أو غلب على ظنه وضعه، فمن روى حديثا علم أو ظن وضعه ولم يبين حال روايته وضعه فهو داخل في هذا الوعيد، مندرج في جملة الكاذبين على رسول الله صلى الله عليه وسلم، ويدل عليه ـ أيضا ـ الحديث السابق: من حدث عني بحديث يرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين.</div><div><br></div><div>“ tidak ada bedanya di dalam berdusta atas nama Rasulullah baik dalam menjelaskan hukum, atau dalam memotivasi kebaikan dan mengultimatum dari keburukan, dalam nasehat dll. dan haram menyebarkan hadits palsu bagi orang yang tau atau kuat dalam perasangkanya bahwa itu adalah hadits palsu “ ( Imam Nawawi, Syarah Muslim ) </div><div><br></div><div>وقد ظنَّ ظانُّون: أنه يجوز وضع الأحاديث في فضائل الأعمال، وفي التَّشديد في المعاصي، وزعموا: أنَّ القصد منه صحيح! وهو خطأٌ مَحْضٌ؛ إذْ قال صلى الله عليه وسلم: " مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ"</div><div><br></div><div>“ ada sebagian yang berasumsi bahwa boleh mengarang hadits untuk memotivasi amal baik dan mewanti-wanti dari kemaksiatan dan mereka menyangka bahwa tujuan mereka benar ! dan itu jelas murni sebuah kesalahan “ ( Imam Ghozali, Ihya’ Ulumuddin ) </div><div><br></div><div>Apakah tidak cukup berhusnudzon dan berbaik sangka karena hadits ini dinukil dari kitab yang cukup populer di sebagian pesantren ? </div><div><br></div><div>dalam menukil hadits kita tidak cukup mengandalkan husnudzon, bahkan dalam ilmu hadits kita harus bersikap kritis agar berhati-hati dalam menstatuskan sebuah ucapan sebagai bagian dari Sabda Baginda Nabi Saw, oleh karena itu dalam ilmu hadits kita mengetahui sebuah ilmu “kritis” yang dinamakan sebagai ilmu “Al-Jarh wa Ta’diil” </div><div><br></div><div>terkait kehati-hatian dalam menukil sebuah hadits yang belum jelas statusnya, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berkomentar :</div><div><br></div><div>اما الاعتماد في رواية الأحاديث على مجرد رؤيتها في كتاب ليس مؤلفه من اهل الحديث او في خطب ليس مؤلفها كذلك فلا يحل ذلك</div><div><br></div><div>“ adapun berpegangan dalam menukil sebuah hadits hanya karena hadits itu ada dalam satu kitab yang penulisnya bukan merupakan ahli hadits, atau dalam ceramah-ceramah yang penulisnya juga bukan ahli hadits, maka itu hukumnya tidak boleh “ ( Fatawa Haditsiah ) </div><div><br></div><div>Buat kalian yang mungkin mau menambahi dalil dan referensi, atau mau mengkritisi karena memiliki data dan kesimpulan yang berbeda dari ini, maka postingan ini sangat terbuka untuk kalian komentari 🙏🤍🫶</div><div><br></div><div>“ jadi orang itu harus siap dikritik, bahkan harus bisa mengkritik dirinya sendiri “ ( Gus Baha’ ) </div><div><br></div><div>Ismael Amin Kholil, Bangkalan, 5 Ramadhan, 1445 H</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-14407642455783018602024-03-17T08:49:00.001+07:002024-03-17T08:49:36.945+07:00Catatan Arbain (5) : HADITS KEEMPAT(Taqdir kematian)<br><div><br></div><div>Catatan Penting</div><div><br></div><div>Oleh : Najih Ibn Abdil Hameed</div><div><br></div><div>1. Apa yg bisa disombongkan oleh manusia? Awalnya berupa air mani menjijikkan (yg keluar masuk alat kelamin), akhirnya menjadi bangkai busuk, diantara waktu itu kemana mana bawa kotoran (tahi, kencing, darah). </div><div>(Sayyudina Ali karramallahu wajhah)</div><div><br></div><div>2. Baik buruk manusia, surga atau neraka nanti, tergantung detik detik menjelang kematian. Orang baik bisa berubah buruk sebelum mati lalu masuk neraka. Orang buruk bisa berubah baik menjelang mati lalu masuk surga. Itupun telah dicatat di telapak tangan masing masing saat usia 120 hari dalam rahim.</div><div><br></div><div>3. Dikisahkan di kitab syarah arbain, dua sejoli saling mencintai tak bisa bersatu karena laki laki beragama Islam taat sedang perempuan beragama nasrani. </div><div>Saking cinta dan rindunya, si lelaki hingga sakit keras dan mengantarnya pada kematian. Sesaat sebelum mati entah apa dosa yg pernah diperbuatnya, tiba tiba ia berfikir :</div><div>"Aku sungguh mencintainya hingga aku sakit. Betapa sakitnya bila aku di dunia tak bisa bersamanya, di akhirat pun harus berpisah. Karena itu detik ini juga aku berniat pindah agama nasrani agar bisa bertemu kekasihku di akhirat"</div><div>Nyawa pun diangkat tanpa membawa iman. Fafinnari kholidiina fiiha. Pasti neraka tiada akhir. Naudhubillaah min suuil khotimah.</div><div><br></div><div>Di akhir kisah, ketika wanita yg dicintainya sudah tua dan menghadapi kematian, tiba tiba terlintas di hatinya pikiran yg sama seperti laki laki yg mencintainya dulu :</div><div><br></div><div>"Di dunia ini aku telah menyakiti seorang laki laki yg memendam cinta kepadaku hingga dia mati karena ingin bersamaku. Aku harus membalas cintanya di alam sana. Untuk itu aku harus mati dengan agama yang dia anut"</div><div><br></div><div>Dua kalimat syahadat mengakhiri hayat wanita nasrani itu. Lahum jannaatun tajri min tahtihal anhaaru khoolidina fiiha. Seumur hidup beragama non islam namun meninggal dalam keadaan Islam dan masuk surga kekal selamanya. </div><div><br></div><div>4. Ini baru satu dari sekian banyak orang yg rute hidupnya berbelok arah. Itulah kehidupan. Tidak ada yg tahu akhir hidup kita kecuali Allah. Tidak perlu menyombongkan amal baik. Tidak usah meremehkan orang lain yg belum baik. Nasehati diri sendiri dan orang lain yg kebetulan kurang baik untuk terus berbenah. Jangan putus asa bila saat ini masih menjadi orang buruk, segera taubat dan berubah.</div><div><br></div><div>5. Empat penyebab paling utama kematian suul khotimah adalah : (1) meremehkan sholat, (2) minum khomr, (3) menyakiti sesama muslim, (4) durhaka kepada kedua orang tua.</div><div><br></div><div>6. Tanda orang yg sejak dalam kandungan sudah dicatat akan mati buruk adalah : </div><div>- Jumudul ain (kakunya mata, tak pernah bisa menangis urusan akhirat)</div><div>- qaswatulqalbi (keras hati, benci nasehat)</div><div>- hubbuddunia (terlalu cinta urusan dunia)</div><div>- thulul amal (berharap hidup panjang atau selamanya di dunia)</div><div>(Hasan Al Bashri)</div><div><br></div><div>7. Tanda orang yg ditaqdirkan akan mati khusnul khotimah adalah : </div><div>- mencintai orang orang sholih</div><div>- dekat dengan orang orang shalih</div><div>- baca Alquran</div><div>- terjaga malam hari (ibadah)</div><div>- bermajelis dengan ulama</div><div>- lembut hatinya</div><div>(Zunnun Al Mishri)</div><div><br></div><div>8. Diantara doa yg jika dibaca istiqomah insyaallah dijamin husnul khotimah adalah doa setelah wudhu. Semua sudah hafal tinggal diistiqomahkan.</div><div><br></div><div>9. Di antara bentuk kasih sayang Allah kepada makhluknya ialah, Dia ciptakan banyak sekali manusia yg masa mudanya buruk lalu di akhir kisah hidupnya berubah baik, dan Dia ciptakan sedikit sekali orang baik yang berubah menjadi buruk di akhir hayat. </div><div><br></div><div>Ya Allah kasihsayangilah kami. Matikanlah kami dalam Ridha dan CintaMu.</div><div><br></div><div>Bojonegoro, 5 Ramadhan 1440H</div><div>Najih A Hameed</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-87386216995773977122024-03-16T04:55:00.001+07:002024-03-16T04:55:58.609+07:00Catatan Penting Ngaji Muhadzab<div>oleh KH. Ma'ruf Khozin </div><div><br></div><div>Alhamdulillah saya menikmati betul ngaji Muhadzab ini. Sampai membatin di dalam hati "Andai mereka yang mempunyai slogan kembali ke Qur'an dan Hadits mau baca kitab Muhadzab ini bersama Syarahnya, niscaya mereka akan tahu bagaimana Mazhab Syafi'i ini juga dibangun di atas pondasi Qur'an dan hadits".</div><div><br></div><div>Berikut penekanan Imam Syafi'i:</div><div><br></div><div>قَالَ الشَّافِعِي : أَصْلُ مَا نَذْهَبُ إِلَيْهِ ، أَنَّ أَوَّلَ مَا يُبْدَأُ بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ مَا كَانَ فيِ كِتَابِ اللهِ أَوْ سُنَّةِ رَسُوْلِهِ صلى الله عليه وسلم </div><div><br></div><div>Syafii berkata: “Dasar rujukan kami berawal dari kitab Allah (al-Quran) dan Sunah Rasulullah” (al-Baihaqi, Ma’rifat al-Sunan wa al-Atsar 2/402)</div><div><br></div><div>Ini juga diakui oleh muridnya:</div><div><br></div><div>يَقُوْلُ أَحْمَدُ بْنُ حَنبَلَ كَانَتْ أَنْفُسُ أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ فِي أَيْدِي أَبِي حَنِيْفَةَ مَا تَبَرَّحَ حَتَّى رَأَيْنَا الشَّافِعِيَّ وَكَانَ أَفْقَهَ النَّاسِ فيِ كِتَابِ اللهِ وَفِي سُنَةِ رَسُوْلِهِ </div><div><br></div><div>Ahmad bin Hanbal berkata: “Ahli hadis yang paling baik awalnya ada di tangan Abu Hanifah. Hingga kami melihat Syafii, ia orang yang paling mengerti al-Quran dan Hadis” (Hilyat al-Auliya’ 9/98)</div><div><br></div><div>Karena puasa saya tidak mau mancing polemik. Saya akan membuat catatan yang berguna bagi saya atau siapapun yang akan bersentuhan dengan kitab Muhadzab:</div><div><br></div><div>1. Metode Penulisan Kitab</div><div><br></div><div>Imam Syirazi sudah menegaskan kerangka kitab yang akan beliau tulis</div><div><br></div><div>ﻫﺬا ﻛﺘﺎﺏ ﻣﻬﺬﺏ ﺃﺫﻛﺮ ﻓﻴﻪ - ﺇﻥ ﺷﺎء اﻟﻠﻪ - ﺃﺻﻮﻝ ﻣﺬﻫﺐ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺭﺣﻤﻪ اﻟﻠﻪ ﺑﺄﺩﻟﺘﻬﺎ ﻭﻣﺎ ﺗﻔﺮﻉ ﻋﻠﻰ ﺃﺻﻮﻟﻪ ﻣﻦ اﻟﻤﺴﺎﺋﻞ اﻟﻤﺸﻜﻠﺔ ﺑﻌﻠﻠﻬﺎ</div><div><br></div><div>"Kitab ini adalah sebuah penjernihan, insyaallah saya akan menyampaikan dasar-dasar pokok Mazhab Syafi'i bersama dalilnya kemudian pengembangan yang terdiri dari permasalahan yang rumit beserta alasannya"</div><div><br></div><div>Permasalahan Fikih menjadi berkembang adalah soal biasa. Dan sudah maklum masalah tersebut tidak dijelaskan di dalam hadis. Misalnya di dalam kitab PDF ini Imam Syafi'i menghukumi makruh penggunaan emas dan perak sebagai tempat makan dan minum, makruhnya lebih dekat pada haram karena kuatnya dalil.</div><div><br></div><div>Ulama Syafi'iyah mengajukan masalah, bagaimana kalau piring dan gelas yang terbuat dari emas tersebut tidak dipakai, hanya dikoleksi saja? Ulama Syafi'iyah berbeda pendapat dengan argumen masing-masing dan tidak ada nash hadis secara langsung, baik yang mengharamkan atau membolehkan.</div><div><br></div><div>2. Pemakaian Istilah</div><div><br></div><div>Ketika Imam Syirazy menampilkan perbedaan pendapat beliau menggunakan dua macam:</div><div><br></div><div>Pertama Qaul dan derivasinya, seperti Aqwal. Kalimat ini digunakan untuk pendapat yang disampaikan oleh Imam Syafi'i, baik antara pendapat yang lampau (saat di Baghdad, pendapat yang direvisi) maupun sama-sama pendapat yang baru (setelah berdomisili di Mesir). Ketentuan ini dikarenakan hampir semua yang disampaikan dengan kalimat Qaul-Aqwal selalu dibarengi dengan riwayat para murid Imam Syafi'i, seperti Harmalah, Al-Muzani (seperti di gambar PDF), Al-Buwaithi, Rabi' Al Muradi atau Rabi' Al Jaizi, dan lainnya.</div><div><br></div><div>Kedua penggunaan pendapat Wajhun-Wajhani-Aujuh, adalah pendapat dari ulama Syafi'iyah. Kadang Imam Syirazy menyebut namanya, tapi kadang tidak. Biasanya lebih rinci dijelaskan oleh Imam Nawawi di kitab Majmu'nya.</div><div><br></div><div>3. نظرت</div><div><br></div><div>Kalimat ini sering disampaikan oleh Imam Syirazi ketika menyampaikan satu persoalan yang perlu dirinci. Guru-guru saya tidak ada yang sama cara bacanya. Ada yang membaca NadzarTu. Ada lagi yang baca NadzarTa. Ada juga yang menjadikan sebagai mabni majhul, dibaca Nudzirat dengan menjadikan "Masalah" sebagai failnya.</div><div><br></div><div>4. Mengamalkan Qaul Qadim</div><div><br></div><div>Imam Syirazy cukup sering mengutip dua pendapat Imam Syafi'i pada qaul qadim dan jadid. Kebanyakan memang yang beliau nilai sahih adalah qaul jadid. Saya pun mengingatkan agar tidak gampangan mengamalkan qaul qadim yang direvisi, contohnya riwayat qaul qadim yang membolehkan wudhu' dengan air musta'mal. Aturan mengamalkan qaul qadim harus berdasarkan ijtihad ulama Syafi'iyah seperti Imam Nawawi. Di Mukadimah Majmu' dijelaskan bahwa sekitar 20 dalil permasalahan yang dinilai lebih kuat oleh Imam Nawawi sehingga dijadikan pandangan resmi Mazhab Syafi'i, selainnya menggunakan qaul jadid.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-9517815950675318882024-03-16T04:49:00.001+07:002024-03-16T04:49:03.947+07:00Catatan Arbain (1) : PEMBUKAANCatatan Arbain (1) : PEMBUKAAN<div><br></div><div>بسم الله الرحمن الرحيم </div><div>الحمد لله رب العالمين</div><div>وصلى الله وسلم على سيدنا محمد</div><div><br></div><div>Ini sekedar catatan kecil dari kajian kitab Al Arbain An Nawawiyah, yg dibaca menjelaang berbuka puasa selama Ramadhan 1440H, di Masjid AlHuda Woro Kepohbaru Bojonegoro. Penjelasan diambil dari kitab Syarh imam Nawawi sendiri dan dari Aljawahir Alluluiyah.</div><div><br></div><div>1. Penulis kitab hadits Al Arbain An Nawawiyah adalah ulama syafiiyah tersohor bernama Yahya bin Syarof Annawawi.</div><div><br></div><div>2. Disebut Annawawi sebab beliau lahir di daerah Nawa, dekat Damaskus, tahun 630 atau 631 Hijriyah.</div><div><br></div><div>3. Beliau ulama yg sangat zuhud, tidak peduli urusan dunia. Beliau setiap hari hanya makan satu kali, setelah isya, hanya minum satu kali di waktu sahur, tidak pernah mengumpulkan dua lauk dalam satu kali makan.</div><div><br></div><div>4. Imam Annawawi wafat di usia cukup muda, 46 tahun, dalam keadaan masih bujang/perjaka. Istilah kerennya jomblo syar'iy, belum pernah menikah demi menghindari kesibukan berkeluarga yg akan mengganggu konsentrasi mengurus ilmu dan agama.</div><div><br></div><div>5. Salah satu karomah beliau, pernah menggunakan ujuang jari telunjuk kiri sebagai lampu penerang saat menulis kitab, karena tidak menemukan lampu waktu itu. Beliau berjalan setiap malam ke Makkah untuk thawaf. Sudah masyhur bahwa Nabi Khodhir berkumpul dengan beliau.</div><div><br></div><div>6. Imam Nawawi menulis kitab ini terinspirasi dari sebuah hadit :</div><div>من حفظ على امتي اربعين حديثا من امر دينه بعثه الله يوم القيامة فقيها عالما </div><div>(حفظ اي نقل لها وبلغها/menyampaikan) </div><div>"Siapa yg menyampaikan atas ummatku, empat puluh hadis, maka Allah akan membangkitkannya di hari kiamat sebagai fuqoha (ahlu fiqih) dan sebagai ulama."</div><div><br></div><div>7. Demi mengejar keutamaan ini, sangat banyak ulama yg menulis empat puluh hadits. Sebagian menulis 40 hadits dalam bidang aqidah, sebagian pilih tema fiqih, sebagian tentang jihad, semuanya adalah tujuan yang baik. Sedangkan Imam Nawawi memilih mengumpulkan 40 hadits shahih yang lebih penting dari semua itu, mencakup seluruh inti agama.</div><div><br></div><div>8. Hadits mengenai keutamaan menghimpun 40 hadits di atas, adalah hadits yang disepakati kedhoifannya, tetapi ulama juga sepakat bahwa hadits dhoif bisa dipakai dalam bab fadloil (keutamaan) amal, tidak pada penentuan hukum halal haram.</div><div><br></div><div>9. Meski begitu imam Nawawi menulis kitab ini dengan dasar hadits lain yang shahih yaitu :</div><div>ليبلغ الشاهد منكم الغائب</div><div>"Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir"</div><div><br></div><div>10. Menshare ilmu atau hadits adalah anjuran dari Rasulullaah ﷺ berdasar hadits di atas.</div><div><br></div><div>11. Sebelum share, koreksi dulu apakah valid atau hoax. Apakah benar benar hadits yg tertulis di kitab kitab hadits atau palsu buatan orang jahil yg disebar di grup grup WA dan medsos lain. Bahaya menyebarkan hadits palsu :</div><div>فليتبوا مقعده من النار</div><div>Bersiaplah tempat duduknya di neraka.</div><div><br></div><div>Bojonegoro, 1 Ramadhan 1440H</div><div>Najih Ibn Abdil Hameed</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-34098080986837774182024-03-16T04:47:00.001+07:002024-03-16T04:47:43.664+07:00Catatan Arbain (3) : HADITS KEDUA (Inti agama) <div><br></div><div>Catatan penting </div><div>Oleh : Najih Ibn Abdil Hameed</div><div><br></div><div>اذ طلع علينا رجل</div><div>1. Malaikat bukan lelaki dan bukan perempuan. Meyakini malaikat sebagai lelaki, hukumnya dosa fasiq. Meyakini malaikat sebagai perempuan, hukumnya murtad/kufur.</div><div>2. Malaikat Jibril alaihissalam dalam kisah hadits ini menampakkan dirinya menyerupai lelaki tampan yg lebih mirip salah satu shahabat nabi bernama Dihyah Al Kalbi. Para shahabat penasaran siapa lelaki ini. Bukan penduduk setempat tapi tak ada tanda tanda musafir.</div><div>3. Sangat ditekankan kepada penuntut ilmu ketika berhadapan dengan guru, ulama, masyayikh, untuk bersikap hormat takdhim sebagaimana dicontohkan lelaki ini dengan cara duduk yg begitu sopan di hadapan Nabi ﷺ</div><div>4. Sangat dianjurkan bagi penuntut ilmu, ketika hendak datang ke majelis ilmu agar memakai pakaian rapi bersih terutama putih, sebagaimana dicontohkan lelaki yg sebenarnya jelmaan malaikat Jibril ini.</div><div>5. Sedangkan bagi para kyai atau ulama sangat dianjurkan untuk memakai pakaian yg menampakkan ciri khas seorang alim, seperti jubah atau sorban tertentu.</div><div>Al Izz ibn Abdissalam (w 660H) sultanul ulama pernah ketika ihram melihat sekelompok jamaah haji yg melakukan kesalahan dalam ibadah mereka. Beliau menegur membetulkan mereka. Tetapi apa yang terjadi? Mereka sama sekali tak menghiraukan, sebab tidak mengenali Beliau. Maklum sama sama berpakaian ihram.</div><div>Selepas ihrom beliau memakai jubah kebesaran ulama lalu menegor kesalahan mereka. Apa yang terjadi? Mereka manggut manggut patuh kepada beliau. </div><div>Maka bagi seorang ulama, memakai pakaian kebesaran agar tampak keulamaannya, adalah sebuah ibadah, sebab bisa menjadikan ummat patuh kepada nasehat yang disampaikan, menjadi taat kepada Allah. Lil wasaili hukmul maqoshid.</div><div>Bagi orang awam atau santri yang bukan ulama, dilarang keras memakai pakaian khas para ulama karena dapat mengaburkan identitas keilmuan. Tasyabbuh/talbis. Dikhawatirkan akan banyak orang mengikuti dia padahal dia bicara dan berbuat tanpa ilmu.</div><div>---</div><div>وتؤمن بالقدر </div><div>6. Lafaz "an tu'mina" hanya diulangi pada penyebutan qodar. Agar menjadi perhatian. Ini menunjukkan bahwa dari enam rukun iman, qodho qodar adalah perkara yg paling jarang diimani. Hanya orang orang hadziq (cerdas) dan serius mementingkan urusan agama saja yang memahami makna qodho qodar.</div><div>7. Iman kepada qodho qodar adalah meyakini dengan seyakin yakinnya bahwa segala kejadian alam semesta baik kejadian kecil maupun besar, kejadian baik maupun buruk, semuanya telah ditetapkan dan diketahui oleh Allah jauh sebelum alam semesta ini diciptakanNya.</div><div>8. Apakah taqdir bisa diubah??</div><div>Perlu difahami bahwa yang disebut dengan taqdir ada empat hal.</div><div>Pertama : taqdir fil ilmi.</div><div>Allah telah mengetahui apa saja yg akan terjadi pada alam semesta ciptaanNya ini, apa saja yang akan Dia ciptakan, mulai awal mula terciptanya makhluk sampai hari tiada akhir, semuanya sudah diketahui oleh Allah. Pengetahuan yg dimiliki Allah ini disebut "qodlo" atau "taqdir fil ilmi". </div><div>Pengetahuan ini tidak akan pernah berubah dan tidak bisa diubah. Sebab, orang yg mengetahui kejadian masa depan, jika ternyata apa yg terjadi berbeda dengan apa yg ia telah ketahui, itu artinya sama saja dia tidak tahu alias bodoh. Mana mungkin Allah bodoh.</div><div>Kedua : taqdir fi lauhil mahfuz</div><div>Allah membuat manual book (buku panduan) bagi para malaikat untuk melaksakan tugas tugasnya mengelola alam, apa yg harus mereka kerjakan misalnya kapan harus mencabut nyawa fulan, berapa hujan yg harus diturunkan di daerah fulan, dst. Catatan ini berupa papan besar yg disebut "al lauh al mahfuz". </div><div>Selama belum terlaksana, catatan ini masih editable (bisa diedit diubah) jika ada doa dan usaha seorang hamba. Oleh karenanya, sayyidina Umar bin Khatab berdoa : "ya Allah jika catatan taqdirku buruk ubahlan menjadi baik"</div><div>Namun perlu diingat bahwa catatan nasib Anda di lauhil mahfud akan diubah atau tidak, Anda akan berdoa atau tidak, itu pun sudah diketahui sebelumnya oleh Allah dalam taqdir fil ilmi. Artinya perubahan taqdir fillauhil mahfudz sebenarnya termasuk dalam taqdir juga.</div><div>Ketiga : taqdir fil rahmi</div><div>Ketika janin calon bayi berumur 120 hari dalam kandungan, Allah perintahkan malaikat meniupkan ruh padanya dan mencatat empat nasib baginya. Empat nasib yang sebelumnya telah tertulis di lauhil mahfudz, hari itu disalin oleh malaikat, dicatat di telapak tangan dan atau dahi janin. Rizki, amal, ajal, dan surga atau neraka.</div><div>Keempat : Taqdir fil waqi'</div><div>Segala kejadian alam semesta sekecil apapun kejadian itu, termasuk berapa kali kedip mata Anda hari ini, apa yang anda pikirkan detik ini, huruf huruf yang Anda baca saat ini, semuanya terjadi sama persis sesuai apa yg telah Allah ketahui sebelumnya dalam taqdir fil ilmi dan sesuai apa yg tertulis dalam taqdir fillauhil mahfudz.</div><div>9. Pahami dengan serius uraian poin 8 dan jangan bertanya lebih dalam menganai Taqdir. Sebagaimana kita diwajibkan mengimani taqdir, kita juga dilarang terlalu dalam membahas taqdir (Lihat : Al Hushun Al Hamidiyyah), karena dapat menggelincirkan aqidah kepada jabariyah atau qodariyah atau lebih sesat dari itu.</div><div>---</div><div>ان تعبد الله كانك تراه</div><div>10. Orang yg mencapai maqom musyahadah, seolah setiap saat ia melihat Allah, telah mecapai maqom tinggi. Ia tidak mungkin durhaka maksiyat kepadaNya atau lengah taat kepadanya. Sedangkan orang yg belum mencapai maqom itu harus berusaha menyadari bahwa dirinya selalu dilihat oleh Allah. Dia turun dari wilayah ruh ke wilayah akal. Maqom ini disebut maqom muroqobah. Dia akan malu ketika hendak maksiyat. Adapun orang yg tak mampu mencapai dua maqom itu, maka ibadahnya yg memenuhi syarat rukun secara fiqih, hanyalah menggugurkan kewajiban. Maksiat pun sering diterjang.</div><div>---</div><div>ان تلد الامة ربتها</div><div>11. Salah satu tanda kiamat adalah banyaknya anak durhaka kepada orang tua, menyusahkan orang tua, memperbantukan orang tua sedangkan ia bersikap seperti majikan.</div><div>---</div><div>يتطاولون في البنيان</div><div>12. Salah satu tanda kiamat adalah maraknya orang desa, miskin, penggembala, ekonominya terus membaik hingga mampu membangun rumah yg menjulang tinggi. Sepertinya penduduk pedesaan, buruh tani, pekerja, saat ini sudah banyak yg rumahnya bagus bersusun.</div><div>13. Rasulullah ﷺ pernah melihat rumah tinggi berkubah, lalu Beliau ﷺ menanyakan rumah siapa itu? Mulai saat itu Beliau ﷺ tidak mau bicara dengan pemilik rumah sampai akhirnya si pemilik rumah sadar dan merobohkan bangunannya, barulah Nabi ﷺ berkenan bicara dengannya.</div><div>14. Pada saat itu Beliau ﷺ bersabda :</div><div>ان كل بناء وبال على صاحبه الا ما لا بد</div><div>"Setiap bangunan adalah mala petaka bagi pemiliknya, kecuali bangunan yg memang dibutuhkan seperlunya"</div><div>15. Imam Nawawi penulis kitab Arbain mengatakan dalam syarah shohih muslim, bahwa meninggikan bangunan rumah adalah tanda kiamat tetapi hukumnya mubah (boleh) tidak haram. Menurut beliau tidak semua tanda kiamat adalah perkara haram. Ada yg haram ada yang tidak. Misalnya populasi wanita lebih banyak dari laki laki, turunnya Nabi Isa alaihissalam, banyaknya masjid, adalah tanda kimat yg tidak menunjukkan hukum haram.</div><div><br></div><div>Bojonegoro, 3 Ramadhan 1440</div><div>Najih Ibn Abdil Hameed</div><div>---</div><div>Ref : </div><div>- Syarh Arbain Nawawi lil Nawawi</div><div>- Syarh Sahih Muslim lil Nawawi</div><div>- Al jawahir Alluluiyah syarh Arbain</div><div>- Syarh Arbain Syaikh Ali Jumah fil Youtube</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-55205695622135358112024-03-15T09:09:00.001+07:002024-03-15T09:09:57.227+07:00Catatan Arba'in (2) : HADITS PERTAMA <div><br></div><div>Catatan</div><div>انما الاعمال بالنيات</div><div>1. Keabsahan amal haruslah disertai niat. Seperti puasa dan sholat tidak sah jika tidak ada niat. Niat artinya tujuan. </div><div>2. Ada amal yg tidak wajib niat seperti adzan, mensucikan najis, dll.</div><div>3. Diterima dan tidaknya amal tergantung keikhlasan niat. Amal tidak ikhlas disebut riya' (ingin dinilai orang) dan tidak akan diterima.</div><div>4. Kesempurnaan amal tergantung niat. Ada tiga tingkatan keikhlasan. Orang amal karena takut neraka disebut abid (budak). Ingin balasan surga disebut tajir (pedagang). Murni beramal karena malu kepada Allah, mensyukuri segala nikmat yg telah diberikan oleh Allah, dan tetap khawatir antara diterima atau tidak amalnya, inilah ibadahnya al akhyar (orang baik baik)</div><div>5. Riya adalah meninggalkan amal karena malu kepada manusia. Misalnya mau jamaah di masjid malu karena sudah terlanjur gak pernah ke masjid. Sedangkan melakukan amal karena manusia disebut syirik. Misalnya sholat jamaah agar dianggap baik. Ikhlas adalah selain keduanya.</div><div>6. Bersembunyi dalam melakukan amal sangat dianjurkan. Mislanya sholat sunnah di kamar. Kecuali berupa amal wajib seperti sholat, zakat, dan atau dia orang terpandang yg amalannya akan diteladani, maka lebih baik ditampakkan.</div><div>---</div><div>وانما لكل امرئ ما نوى</div><div>7. Setiap orang hanya mendapatkan apa yang dia niatkan. Memberi makan binatang peliharaan dengan tujuan melaksanakan perintah Allah, dapat pahala. Bila tujuannya agar peliharaannya gemuk sehingga harganya mahal atau sekedar agar tidak mati, maka tidak dapat pahala. Makan tidur dengan niat agar kuat beribadah, adalah ibadah. Tanpa niat tidak ada pahala. Menjadi guru, ustadz, penceramah dengan niatan murni ekonomi, beda kelasnya dengan niat karena ingin mencerdaskan anak bangsa, meski sama sama dapat gaji.</div><div>8. Niatan orang mukmin lebih baik dari amalnya. </div><div>9. Terkadang tanpa amal, hanya niat saja, sudah dinilai sama dengan melakukan amal. Misalnya orang sakit yg ingin berangkat sholat jamaah tidak mampu. Dalam hati berniat, andai sehat pasti berangkat.</div><div>10. Satu amal, jika niatnya semakin banyak, maka pahalanya semakin banyak. Misalnya duduk di masjid dengan niat itikaf, menghindari maksiyat, menunggu sholat jamaah, uzlah, memakmurkan masjid, meniru sunnah Rasul ﷺ , tafakkur, dll.</div><div>11. Melaksanakan sholat sendiri biasanya baca Al Ikhlas. Ketika di masjid bacaannya semakin panjang dan rukuk sujudnya semakin lama agar terlihat waw. Maka sholatnya dapat pahala tetapi perpanjangan rukunnya menjadi dosa. Entah mana yg lebih besar.</div><div>12. Amal buruk tidak bisa menjadi baik hanya dengan niat. Misalnya berzina dengan niat membahagiakan saudara muslimah.</div><div>---</div><div>فمن كانت هجرته الى الله ورسوله</div><div>13. Hijrah hukumya fardhu/wajib ketika seorang mukmin berada di negeri kafir yang di sana sulit melaksanakan kewajiban seperti sholat dan syiar Islam. Di masa Rasulullah ﷺ terjadi dua kali hijrah. (1) dari Makkah ke Habasyah tahun 5 kenabian, dan (2) dari Makkah ke Madinah setelah tahun 13 kenabian.</div><div>---</div><div>ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها او امرأة ينكحها</div><div>14. Kata "imroah/wanita" diulangi padahal ia sudah termasuk dalam kata "dunia", menunjukkan makna bahwa wanita adalah godaan duniawi yang paling berat dan paling sering menjerumuskan niat.</div><div>15. Kata Nabi ﷺ :</div><div>ما تركت في الناس بعدي فتنة هي اضر على الرجال من النساء</div><div>"Tidak kutinggalkan di tengah tengah manusia selepasku, sebuah fitnah ujian, yang lebih berbahaya bagi laki laki melebihi ujian perempuan."</div><div>16. Sayyidina Ali Karramallahu wajhah bersyair :</div><div>رايت الهم في الدنيا كثير * واكثره يكون من النساء</div><div>فلا تأمن لانثى قط يوما * ولو قالت نزلت من السماء</div><div>"Ku melihat kesusahan urusan dunia cukup banyak, dan yang terbanyak berasal dari urusan wanita. Jangan merasa aman dari godaan wanita sehari pun, meski dia (wanita) mengatakan, aku ini turun dari langit"</div><div><br></div><div>Bojonegoro, 2 Ramadhan 1440H</div><div>Najih Ibn Abdil Hameed</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-42949792577906513852024-03-11T21:15:00.001+07:002024-03-11T21:15:03.853+07:00Majelis Ilmu Saat Ramadan<p> Oleh KH. Ma'ruf Khozin</p><p>Kalau ada yang tanya bukankah Ramadan adalah bulan diturunkan Al-Qur'an sehingga Ramadan lebih baik diisi dengan membaca Al-Qur'an, bukan kajian kitab? Terlebih ada hadis:</p><p>ﻭﻛﺎﻥ ﺟﺒﺮﻳﻞ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻼﻡ ﻳﻠﻘﺎﻩ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻟﻴﻠﺔ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻓﻴﺪاﺭﺳﻪ اﻟﻘﺮﺁﻥ</p><p>Jibril mendatangi Nabi tiap malam di bulan Ramadan kemudian ia bergantian saling membacakan Al-Qur'an (HR Bukhari)</p><p>Tapi kenapa di pesantren lebih mengutamakan kajian kitab? Tidak benar. Di pesantren dan masjid-masjid selalu ada Tadarus Al-Qur'an setelah Tarawih.</p><p>Akan tetapi mengkaji ilmu juga bagian dari memahami kandungan Al-Qur'an, sebagaimana disampaikan oleh satu satu ulama Malikiyah:</p><p>والكلام في العلم أفضل من الأعمال ، وهو يجري عندهم مجرى الذكر والتلاوة إذا أريد به نفي الجهل ووجه الله تعالى . اهـ</p><p>Berbicara tentang ilmu lebih utama dari pada amal (yang tidak berdasarkan ilmu). Mengkaji ilmu menurut para ulama sama seperti zikir dan baca Alquran bila ditujukan agar menghilangkan kebodohan dan mencari rida Allah (Syekh Ibnu Abdil Bar, Jami' Bayan al-ilmi wa fadlih, 2/178)</p><p>Ngaji ilmu di bulan Ramadan juga sudah dijumpai di masa Salaf seperti yang dikisahkan oleh Al-Hafidz Adz-Dzahabi:</p><p>قال محمد بن صالح : حضرنا آخر مجلس للاملاء عند يحيى بن محمد الشهيد في شهر رمضان من سنة سبع وستين ومئتين . اهـ</p><p>Muhammad bin Sholeh berkata bahwa kami hadir di majelis terakhir ilmu yang dibacakan di sisi Yahya bin Muhammad, Asy-Syahid, di bulan Ramadan tahun 267 H (Siyar A'lam An-Nubala, 12/288)</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-32865405978229286232024-03-11T14:12:00.001+07:002024-03-11T14:12:20.976+07:00Fi Sabilillah Dalam Zakat<div>Oleh Ahmad Sarwat </div><div><br></div><div>Secara harfiyah, ungkapan fi Sabilillah artinya : di jalan Allah. Di beberapa ayat Al-Quran, istilah ini sering digunakan untuk menyebut jihad atau perang secara fisik. </div><div><br></div><div>Boleh jadi karena perang secara fisik di masa turunnya Al-Quran memang teknisnya adalah melakukan perjalanan jauh keluar kota. Makanya digunakanlah istilah : di jalan Allah. </div><div><br></div><div>Satu hal penting yang harus dicatat bahwa untuk bisa ikut perang, tentu butuh biaya yang tidak sedikit. </div><div><br></div><div>Perang itu butuh kendaraan, di masa itu minimal harus kuda perang atau unta. Harganya tentu tidak murah. Bayangkan kalau tidak punya kendaraan dan menempuh perjalanan jauh berminggu-minggu hanya dengan jalan kaki, belum sampai di tujuan sudah pada cari tukang pijet. </div><div><br></div><div>Perang juga butuh uang banyak untuk beli senjata seperti pedang, panah, tombak, tameng, helm perang, baju besi dan lainnya. Tidak mungkin perang hanya pakai tangan kosong, karena perang bukan lomba pencak silat. </div><div><br></div><div>Maka secara hitungan finansial, perang fisik di masa itu hanya bisa diikuti oleh mereka yang uangnya banyak. Sedangkan mereka yang uangnya terbatas, silahkan gigit jari di rumah karena tidak bisa ikut serta. </div><div><br></div><div>Lalu turunlah ayat 60 dari surat At-Taubah, dimana Allah SWT memberikan izin penggunaan harta zakat untuk mensubsidi mereka yang miskin tapi ingin ikut serta dalam perang. </div><div><br></div><div>Dari 8 asnaf penerima zakat, disebutlah salah satunya : fi Sabilillah. Sejak itu banyak shahabat yang bisa ikutan jihad karena dapat subsidi dari harta zakat. </div><div><br></div><div>***</div><div><br></div><div>Namun ketika perang-perang telah berakhir, umat Islam telah banyak memetik kemenangan dimana-mana, apalagi kemudian negara sudah mampu membiayai angkatan perang bahkan menggaji para tentara reguler, maka muncul pertanyaan usil : </div><div><br></div><div>Lantas bagaimana dengan asnaf fi Sabilillah ini? Apakah ditutup saja karena sudah tidak ada lagi kebutuhannya ataukah tetap dibagikan dengan cara dicarikan qiyasnya? </div><div><br></div><div>Disitu para ulama pastinya tidak bisa sepakat. Yang tidak setuju qiyas berargumen bahwa bahwa pada dasarnya zakat hanya boleh diserahkan kepada 8 asnaf saja berdasarkan teks asli Al-Quran surat At-Taubah ayat 60. </div><div><br></div><div>Sedangkan untuk pembangunan gedung, apakah itu masjid, pesantren, madrasah ataukah majelis taklim, pada dasarnya kalau jujur dan konsisten, tidak termasuk yang berhak mengambil dana zakat. </div><div><br></div><div>Namun ada juga yang berpandangan asnaf fi sabilillah boleh-boleh diotak-atik dan disesuaikan dengan zaman. Al-Quran kan boleh ditafsirkan sesuai zaman, gitu alasannya.</div><div><br></div><div>Mereka berdalih bahwa fi sabilillah itu masih tetap berlaku, karena tujuan utama perang itu adalah memperjuangkan agama Islam. </div><div><br></div><div>Maka segala hal yang terkait dengan perjuangan keislaman, bisa dianggap bagian dari fi sabilillah. Jadilah banyak pihak yang menambah-nambahkan berbagai proyek dakwah ke dalam asnaf di Sabilillah.</div><div><br></div><div>Dr. Yusuf Al-Qaradawi dalam Fiqih Zakat menuliskan bahwa keberadaan Islamic Center di negeri minoritas muslim itu termasuk jihad fi sabilillah zaman modern. Sebab para da'i yang dikirim kesana sedang memperjuangkan Islam ke negeri non muslim, persis seperti di masa kenabian dulu.</div><div><br></div><div>Bedanya, kali ini mereka 'jihad' pakai buku, pena, papan tulis, microphone dan kelas-kelas pelajaran ilmu keislaman.</div><div><br></div><div>Namun pertanyaannya : bagaimana kalau dana zakat digunakan untuk membangun masjid, mushalla, madrasah atau lembaga dakwah di negeri Islam, yang secara jumlah dianggap sudah cukup banyak? </div><div><br></div><div>Apakah masih berlaku nilai fi sabilillah nya? Bukankah kini banyak lembaga dakwah yang panen pemasukan dari perbagai sumber dana lain? Kenapa masih harus mengambil dari dana zakat? </div><div><br></div><div>Selain itu juga ada yang menolak dengan alasan sederhana, yaitu kalau semua kegiatan dakwah dimasukkan asnaf fi sabilillah, maka tidak ada yang tidak fi Sabilillah. Semuanya jadi fi sabilillah. </div><div><br></div><div>Kalau begitu nanti ayat Al-Quran surat At-Taubah ayat 60 yang awalnya memberikan batasan, agak kehilangan makna. Karena segala urusan pun jadi fi sabilillah</div><div><br></div><div>Maka perdebatan ulama tidak sampai kepada titik kesepakatan, antara yang membolehkan dan melarang. Sebagian tetap membolehkan dan sebagian tetap melarang.</div><div><br></div><div>Saya pusing kalau ditanya-tanya kayak gitu. Soalnya ada banyak khilafiyah di kalangan ulama. Bagaimana cara menjelaskan hal-hal semacam itu secara simple dan sederhana agar mudah dicerna, itulah keterbatasan saya.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-12917330927172693002024-03-11T11:08:00.001+07:002024-03-11T11:08:31.765+07:00RISALAH MBAH MOEN TENTANG PENENTUAN AWAL BULAN RAMADHAN<div><br></div><div>Menjelang datangnya Bulan Romadlon, berikut ini saya kutipan-kan risalah tentang penentuan awal puasa dan hari raya, yang mencerminkan sikap dan manhaj Mbah Moen,agar kita bisa meneladaninya.</div><div>Bahkan dg manhaj ini, beliau berani berbeda dg para Kyai yg lain.</div><div><br></div><div>Cuplikan :</div><div><br></div><div>Jika ada saksi yg mengaku melihat hilal, namun menurut hitungan hisab(qoth'iy)memberikan kesimpulan bahwa hilal tak mungkin di ru'yah karena kurang dari satu derajat, maka persaksian ini ditolak.</div><div><br></div><div>Bahkan jika seorang qodhi atau hakim menerima persaksian itu maka keputusannya dianggap tidak sah dan tertolak.</div><div><br></div><div>ومحل ذلك كما قال السبكي إن دل الحساب على إمكان الرؤية فإن دل على عدم إمكانها وهو يدرك بمقدمات قطعية لم تقبل شهادته بها لاستحالتها </div><div>قال : وهذا عندنا من محالّ القطع مترقية عن مرتبة الظنون ينقض في مثله قضاء القاضي</div><div>(موهبة ذي الفضل ج ٤ ص ١٥٨)</div><div><br></div><div>فالواجب على القاضي أي في حالة عدم إمكان الرؤية أن يردّ شهادة الشهود.</div><div>(فتاوى السبكي ج ١ ص ٢١٩)</div><div><br></div><div>Intinya, dalam hal penentuan awal puasa dan hari raya jangan pernah beda dengan pemerintah. </div><div>Karena yg punya hak dan legalitas isbat hanya pemerintah, bukan ketua jam'iyyah. </div><div>Itulah manhaj Mbah Moen.</div><div><br></div><div>Saya masih ingat betul, Beliau sering dawuh :</div><div><br></div><div>"Nek ono santri kok ijeh takon, piye kabare kono;</div><div>posone kapan? , </div><div>riyoyone kapan?, </div><div>berarti santri BAHLUL."</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-28857251145233968172024-03-10T10:23:00.001+07:002024-03-10T10:23:09.103+07:00Dzikir هو هو<div><br></div><div>Asy-Syaikh Al-Arifbillah Sayyed Safiyuddin Ahmad Al-Qusyasyi Al-Madani Qaddasallahu Sirrahu menjelaskan:</div><div>قال الشيخ العارف بالله السيد صفي الدين أحمد القشاشي المدني قدس الله سره</div><div><br></div><div>وأعلم أن الاسم الأعظم هو الله ذكر غيب في شهادة، وذكر الله هو ذكر شهادة في غيب، وذكر الله الله ذكر شهادة في شهادة من حيث التفصيل، وذكر هو هو ذكر غيب في غيب من حيث الورد والإجمال. ولهذا الذكر أيضا كيفيا كثيرة تعلم بإرشاد الشيح.</div><div><br></div><div>Ketahuilah bahwa ism al-a'zam هو الله adalah zikir ghaib dalam Syuhud ( kesaksian), zikir الله هو adalah zikir syuhud dalam keghaiban, zikir الله الله adalah zikir Syuhud didalam Syuhud secara tafshili (terperinci), </div><div><br></div><div>sedangkan zikir هو هو adalah zikir ghaib dalam keghaiban secara ijmali (global). Semua zikir diatas juga banyak caranya yang dapat diketahui berdasarkan bimbingan Syaikh/Mursyid.</div><div><br></div><div>(Kitab Dawuh Al-Halah fi Dzikri Huwa wal Jalalah, Dar-Nashirun Beirut hal 210)</div><div>Dr Budi Handoyo.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-67267732749726284482024-03-10T09:09:00.001+07:002024-03-10T09:09:11.865+07:00TANAQUTH RAMADHAN<div>Oleh Apria Putra</div><div><br></div><div>Seharusnya "Ramadhan" membuat kita semakin zuhud; semakin hidup sederhana. Namun di sebuah kampung, "Ramadhan" menjadi ajang melepas selera, menunjukkan seberapa glamor diri, dan kemewahan. Sehingga, sementara orang kampung itu "takut" bila "Ramadhan" datang, takut biaya yang akan dikeluarkan untuk memenuhinya.</div><div><br></div><div>Seharusnya, bila "Ramadhan" akan datang, muslimin mulai bersiap-siap membersihkan diri, tidak banyak keluar rumah untuk menjaga pandangan dan nafsu. Namun disebuah kampung, bila "Ramadhan" akan datang orang-orang pada sibuk keluar rumah, kembali melepas selera, melepas asmara bagi yang tergila-gila dengan lawan jenis, makan besar, dan lain-lainnya. Sehingga orang-orang lupa bahwa "Ramadhan" adalah bulan riyadah, melatih diri, melawan nafsu. Sebab nafsu betul yang diperturutkan. Dalih semuanya adalah "balimau".</div><div><br></div><div>Seharusnya, dalam "Ramadhan", muslimin banyak-banyak beribadah, bukan gagah-gagahan. Namun di sebuah kampung, orang-orang lebih banyak duduk bercerita, dan memilih ibadah yang enteng, sehingga lupa bahwa "Ramadhan" adalah bulan menempa jiwa dengan ubudiyah.</div><div><br></div><div>Seharusnya, malam-malam "Ramadhan" ialah tempat menggembleng generasi muda dalam ibadah. Namun di sebuah kampung, malam-malam "Ramadhan" dijadikan ajang membuka pintu bagi remaja-remaja, dengan dalih rapat lomba, sampai tengah malam laki-laki perempuan saling bercerita bersenda gurau di dalam tempat ibadah.</div><div><br></div><div>Seharusnya, Idul Fitri ialah waktu kita banyak ibadah. Malam Idul Fitri diantara malam yang semestinya diisi dengan ubudiyah. Namun di satu kampung, malam-malam sebelum Idul Fitri sudah diisi dengan hal keduniawian. Idul Fitri semata-mata dunia; kembali melepas selera, memenuhi nafsu, kembali seperti sedia kala. Maka "Ramadhan" pergi, kita tak dapat apa-apa, kecuali uang habis, lelah badan, dan letih fikiran.</div><div><br></div><div>Saya salut dengan orang-orang di surau, di kampung saya. "Ramadhan" diisi betul dengan khitmat. Belum "Ramadhan", Rajab sudah dimulai dengan ibadah, persiapan. Pas Ramadhan akan menghampiri, mereka melaksanakan tradisi "balimau yang hakiki", membersihkan diri, bukan mengotori diri. Mereka berkumpul di surau, tausiyah dibaca, berdo'a selamat karena hari baik bulan baik, makan bersama tanda syukur, lalu bermaaf-maafan. Ramadhan, mereka bersunyi-sunyi diri dengan Allah, dalam ibadah. Solat Tarawihnya 20 rakaat. Tidak mereka memilih dari yang enteng. Berbuka dengan sederhana, sebab melatih diri. Tidur dikurangi dengan zikir dan tadarus al-Qur'an. Malam Idul Fitri mereka isi dengan ibadah. Tidak mereka terlena oleh dunia yang semakin indah ini. Idul Fitri diisi dengan silaturahmi. Baju tak perlu baru, namun wajah berseri. Hidup diisi dengan kesederhanaan, hati senang, jiwa bersih, "Ramadhan" membawa berkah. Mereka lah orang-orang yang menang itu.</div><div><br></div><div>Padang Mangateh, 10 Maret 2024.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-34856139773089913822024-03-10T06:40:00.003+07:002024-03-10T06:40:28.164+07:00Hati-hati Mencabuti Rumput Di Atas Kubur<p> Oleh Faisol Tantowi</p><p>Menjelang masuknya Ramadhan dan Idul Fitri biasanya banyak umat Islam yang berziarah kubur dan nyekar. Dengan maksud untuk merawat kubur tersebut biasanya mereka mencabuti rumput yang tumbuh diatas kubur hingga bersih. Padahal haram hukumnya (makruh menurut sebagian ulama) mencabut rumput yang belum kering diatas kubur. </p><p>Alasannya dikarenakan rumput yang tumbuh di atas kuburan itu senantiasa berdzikir, memintakan ampun buat mayit sehingga hal itu akan bisa meringankan siksa kubur. Dan karena itulah mayit bisa senang. Dan ini merupakan hak mayit.</p><p>Namun jika rumput sangat banyak semisal sampai menutupi fisik kuburan, maka merapikannya untuk tujuan perawatan itu tidaklah mengapa.</p><p>Referensi:</p><p>- I'anatut Tholibin:</p><p>( قوله ويحرم أخذ شيء منهما ) أي من الجريدة الخضراء ومن نحو الريحان الرطب وظاهره أنه يحرم ذلك مطلقا أي على مالكه وغيره... إلي أن قال : وأن يكون كثيرا فيجوز له أخذه</p><p>- Al Bariqah Al Mahmudiyah :</p><p>ويكره قطع الحطب والحشيش من المقبرة فإن كان يابسا فلا بأس به لأنه ما دام رطبا يسبح فيؤنس الميت</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-86423067587792896372024-03-06T16:27:00.001+07:002024-03-06T16:27:55.453+07:00Bagaimana Nabi Mengajar Para Sahabat ?<div>oleh Faisol Thantowi </div><div><br></div><div>Salah satu contoh sifat fathanah (kecerdasan) Rasulullah SAW adalah beliau sangat memahami psikologi pendidikan. Sehingga untuk menghindari kebosanan para sahabat dalam menuntut ilmu maka Nabi tidak memberikan pengajaran setiap hari.</div><div><br></div><div>Dalam Shahih Bukhari diterangkan:</div><div><br></div><div>كان النبي صلى الله عليه وسلم يتخولنا بالموعظة فى الأيام كراهة السامة علينا</div><div><br></div><div>Nabi shallallahu alaihi wasallam mengatur pemberian nasehat (pengajaran) pada hari tertentu (tidak setiap hari) khawatir akan membuat kami (para sahabat) menjadi bosan. (HR. Bukhari)</div><div><br></div><div>Sayidina Ibnu Abbas berkata bahwa sebaiknya memberikan pengajaran itu tempo waktunya sepekan sekali. Tapi bila dinilai masih kurang, maka temponya ditambah dua kali sepekan, dan maksimal tiga kali sepekan.</div><div><br></div><div>حدث الناس كل جمعة مرة فإن أَبيت فمرتين فإِن أكثرت فثلاث مرار ولا تمل الناس هذا القرآن</div><div><br></div><div>"Berbicaralah kepada orang-orang setiap Jum'at sekali, jika kamu enggan, maka dua kali, dan apabila kamu ingin lebih banyak lagi, hendaknya hanya tiga kali (setiap Jum'at). Janganlah membuat orang-orang bosan dengan Al Qur'an ini."</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-39429456400665550402024-03-06T16:26:00.001+07:002024-03-06T16:26:24.330+07:00Perbedaan Dakwah Bertahap Dan Dakwah Merusak<div>Oleh Abdul Wahhab Ahmad </div><div><br></div><div>Setelah kemarin saya menulis bahwa shalawatan jedag-jedug dengan irama koplo yang disertai joget campur laki-laki dan perempuan adalah acara haram, maka tidak sedikit yang menolak dengan alasan hal tersebut adalah bagian dari dakwah secara bertahap seperti dicontohkan oleh Walisongo. Sebenarnya yang belajar fikih pasti tahu bahwa alasan ini salah, tapi sebab orang awam banyak yang tidak memahami apa yang dimaksud dakwah secara bertahap dan apa bedanya dengan dakwah yang merusak, maka saya akan membahasnya di tulisan ini.</div><div><br></div><div>Dakwah memang harus dilakukan secara bertahap sebab biasanya objek dakwah tidak bisa langsung dipaksa berubah 180 derajat sempurna dalam satu waktu. Namun yang dimaksud dengan bertahap adalah menarik sedikit-sedikit dari jalan yang salah ke jalan yang benar. Contohnya demikian:</div><div><br></div><div>1. Suatu masyarakat tidak pernah mau naik ke masjid sehingga masjid sepi. Mereka hobinya datang ke acara adu ayam. Dalam rangka dakwah bertahap, masjid membuat undangan shalat berjamaah di saat waktu maghrib. Di masjid juga disediakan kopi buat ngobrol habis maghrib. Hukum ngobrol dan ngopi di masjid tidak haram sehingga tidak mengapa dijadikan penarik masyarakat agar betah di masjid, meskipun jelas bahwa masjid bukan didirikan untuk tempat ngopi. Bila masyarakat sudah betah setelah maghrib, maka mereka diajak shalat isya berjamaah. Secara bertahap kemudian diajak meramaikan masjid di lima waktu shalat. Ini yang disebut dengan dakwah bertahap.</div><div><br></div><div>Akan tetapi bila kemudian takmir mengundang masyarakat tersbut untuk lomba adu ayam di halaman masjid dengan alasan agar masyarakat mau ke masjid. Maka ini bukan dakwah secara bertahap tapi dakwah yang merusak. Adu ayam adalah kegiatan haram sehingga tidak boleh diselenggarakan dengan alasan apa pun. </div><div><br></div><div>2. Suatu masyakarat gemar berjudi. Acara perjudian selalu ramai sedangkan acara kajian ilmu selalu sepi. Akhirnya dalam acara kajian diberi hadiah bagi peserta paling aktif yang diberikan setelah acara. Dengan itu masyarakat makin tertarik untuk ikut kajian dengan iming-iming hadiah. Kemudian secara bertahap hadiahnya dapat dikurangi atau dihapus agar tidak memberatkan Sang Daí setelah masyarakat sadar akan manfaat ilmu yang mereka dapat. Ini yang disebut dengan dakwah bertahap.</div><div><br></div><div>Ada pun bila kajian ilmunya dicampur dengan acara judi dengan alasan agar ramai, maka itu bukan dakwah bertahap tapi dakwah yang merusak. Judi adalah haram diselenggarakan dengan alasan apa pun.</div><div><br></div><div>Dari dua contoh ini terlihat jelas perbedaan antara dakwah bertahap dengan dakwah yang merusak. Dakwah bertahap artinya mengajak pelan-pelan ke arah yang benar sedangkan dakwah yang merusak justru memfasilitasi praktek yang haram. </div><div><br></div><div>Paling banter, dalam dakwah bertahap yang terjadi adalah "memaklumi" sedikit keharaman untuk dihilangkan secara bertahap, bukan "mempertahankan" keharaman apalagi dijadikan merek dagang. Misalnya, ketika di suatu masyarakat para wanita muslimahnya tidak ada yang mau disuruh memakai pakaian yang syar'i, maka langkah dakwah pertama adalah diperkenalkan jilbab yang ala kadarnya dulu dan mereka "dimaklumi" meskipun misalnya pakaiannya masih ketat atau lehernya masih sedikit terlihat. Catat, dimaklumi berbeda dengan dianggap benar. Sudah mau memakai jilbab ala kadarnya saja sudah bagus sebagai langkah awal. Pelan tapi pasti lalu mereka diajari bagaimana bentuk jilbab yang benar dan bagaimana pakaian islami yang benar. Adapun bila misalnya si dai malah mempertahankan jilbab ala kadarnya yang tidak menutup leher atau mempertahankan kebaya yang tidak menutup aurat dengan alasan itu adalah budaya di daerah itu, maka itu adalah dakwah yang merusak sebab secara aktif mempromosikan praktek yang salah, bukan lagi dakwah secara bertahap. </div><div><br></div><div>Bedakan antara secara aktif mempromosikan kesalahan dengan secara pasif "memaklumi" sisa-sisa praktek yang salah untuk diubah pelan-pelan agar masyarakat tidak antipati. Dai yang secara aktif mempromosikan praktek yang salah adalah berdosa dan menyesatkan. Sedangkan Dai yang secara pasif memaklumi sisa-sisa praktek yang salah untuk diubah pelan-pelan tidak berdosa sebab dia sedang berproses tapi belum berhasil sepenuhnya. Yang berdosa dalam proses itu adalah masyarakatnya yang melakukan praktek yang salah tersebut yang tidak mau langsung meninggalkan keharaman secara menyeluruh. Selama dainya menjelaskan bagaimana aturan agama yang benar, maka dia telah lepas dari tanggung-jawab dosa meskipun masyarakatnya masih mengikuti separuh-separuh. Berbeda jauh bila justru dainya yang secara aktif mempromosikan kebenaran yang separuh-separuh bercampur dengan kebatilan, maka jelas dainya berdosa bahkan menjadi sumber dosa jariyah turun temurun.</div><div><br></div><div>Dalam konteks "shalawat koplo" yang jelas haram itu, panitia dan artisnya jelas secara aktif memfasilitasi kemungkaran dan menjadikan kemungkaran itu sebagai daya tarik agar warga datang. Hal ini dari sudut pandang mana pun adalah haram dan merusak agama. Tidak bisa seseorang memakai alasan hal tersebut sebagai dakwah bertahap sebab dalam dakwah bertahap, yang haram tetap tidak boleh diselenggarakan apalagi dianggap benar. </div><div><br></div><div>Yang ikut shalawat koplo itu sampai kapan pun tidak akan berubah sebab mereka datang hanya karena difasilitasi untuk joget koplo campur lawan jenis sebagaimana di konser musik pada umumnya. Ketika unsur itu dihilangkan, mereka tidak akan datang lagi sebab daya tariknya hilang. Lihat saja buktinya, meski beralasan dakwah bertahap, penyelenggara konser shalawat koplo itu sampai kapan pun tetap tidak mengubah apa pun sebab itu adalah merek dagang penyelenggaranya. Saya ulangi, bagian yang haram tersebut menjadi merek dagang "si dai", dan sudah maklum dalam teori ekonomi bahwa merek dagang yang menghasilkan keuntungan tidak akan diubah oleh pemegang mereknya, kecuali memang sudah mau rugi kehilangan pengikut dan materi.</div><div> </div><div>Semoga bermanfaat.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-15541084866216804432024-03-04T12:43:00.001+07:002024-03-04T12:43:56.280+07:00Shalat Agar Mudah Hafal Quran<div>Oleh Yendri Junaidi </div><div><br></div><div>Dalam kitabnya Nazharat fil Quran, Syekh Muhammad al-Ghazali bercerita pengalamannya menghafal al-Quran. Ia sudah hafal Quran sejak usia 10 tahun. Tentu saja sekedar hafal. Belum paham maknanya. Seorang anak mudah merekam sesuatu, membayangkan posisi surat dan ayat yang ada dalam al-Quran.</div><div><br></div><div>Tapi beberapa tahun setelah itu ia lupa semua yang dihafalnya. Seolah-olah usaha ayahnya untuk memasukkannya ke kuttab sia-sia belaka. Ini bukan hanya karena kelalaiannya saja tapi juga beban dan materi pelajaran di Ma’had tempat ia belajar yang membuatnya tidak bisa mempertahankan hafalannya.</div><div><br></div><div>Namun ia tak menyerah begitu saja. Ia berjuang keras untuk kembali mengulang apa yang sudah ia hafal sebelumnya. Lebih dari lima tahun ia berusaha tanpa kenal lelah. Untuk satu rubu’ saja ia mesti ulang sepuluh kali. Namun, tetap saja tidak mudah mengembalikan lagi hafalan yang sudah hilang itu.</div><div><br></div><div>Sampai akhirnya ia mendapatkan resep mujarrab tentang bagaimana agar hafalannya kuat. Resep itu ia dapatkan saat membaca kitab-kitab hadits. Resep itu terdapat dalam hadits riwayat Tirmidzi, al-Hakim, dan ad-Daruquthni. Hadits itu menjelaskan apa yang disebut dengan shalat untuk menghafal Quran.</div><div><br></div><div>Setelah mengamalkan isi hadits itu, Syekh Muhammad Ghazali sangat merasakan manfaatnya. Ia juga berharap banyak orang yang mendapatkan manfaat dari mengamalkan hadits tersebut.</div><div><br></div><div>*** </div><div><br></div><div>Shalat untuk menghafal Quran sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi itu merupakan ajaran Nabi Saw kepada Imam Ali ra saat ia mengeluhkan kelemahan hafalannya. Nabi Saw menganjurkan Imam Ali untuk bangun di sepertiga malam terakhir di malam Jumat karena itu merupakan waktu yang sangat mustajab untuk berdoa. Kalau tidak bisa di sepertiga terakhir maka di pertengahannya. Kalau tidak bisa juga maka di awalnya.</div><div><br></div><div>Shalatnya empat rakaat. Di rakaat pertama dibaca al-Fatihah dan Surat Yasin. Di rakaat kedua dibaca al-Fatihah dan Hamim ad-Dukhan. Di rakaat ketiga dibaca al-Fatihah dan as-Sajdah. Di rakaat keempat dibaca al-Fatihah dan Tabaraka (al-Mulk).</div><div><br></div><div>Setelah salam perbanyak puji-pujian kepada Allah Swt dan shalawat kepada Nabi Saw serta memintakan ampunan untuk seluruh kaum muslimin dan muslimat. Setelah itu baca doa berikut:</div><div><br></div><div>اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي بِتَرْكِ المَعَاصِي أَبَدًا مَا أَبْقَيْتَنِي، وَارْحَمْنِي أَنْ أَتَكَلَّفَ مَا لَا يَعْنِينِي، وَارْزُقْنِي حُسْنَ النَّظَرِ فِيمَا يُرْضِيكَ عَنِّي، اللَّهُمَّ بَدِيعَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ وَالعِزَّةِ الَّتِي لَا تُرَامُ، أَسْأَلُكَ يَا أَللَّهُ يَا رَحْمَنُ بِجَلَالِكَ وَنُورِ وَجْهِكَ أَنْ تُلْزِمَ قَلْبِي حِفْظَ كِتَابِكَ كَمَا عَلَّمْتَنِي، وَارْزُقْنِي أَنْ أَتْلُوَهُ عَلَى النَّحْوِ الَّذِي يُرْضِيكَ عَنِّيَ، اللَّهُمَّ بَدِيعَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَامِ وَالعِزَّةِ الَّتِي لَا تُرَامُ، أَسْأَلُكَ يَا أَللَّهُ يَا رَحْمَنُ بِجَلَالِكَ وَنُورِ وَجْهِكَ أَنْ تُنَوِّرَ بِكِتَابِكَ بَصَرِي، وَأَنْ تُطْلِقَ بِهِ لِسَانِي، وَأَنْ تُفَرِّجَ بِهِ عَنْ قَلْبِي، وَأَنْ تَشْرَحَ بِهِ صَدْرِي، وَأَنْ تُعْمِلَ بِهِ بَدَنِي، فَإِنَّهُ لَا يُعِينُنِي عَلَى الحَقِّ غَيْرُكَ وَلَا يُؤْتِيهِ إِلَّا أَنْتَ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ العَلِيِّ العَظِيمِ</div><div> </div><div>Lakukan hal itu selama tiga, lima atau tujuh kali Jumat. Insya Allah doa akan terkabul. Bahkan di akhir hadits Nabi Saw menegaskan:</div><div><br></div><div>وَالَّذِي بَعَثَنِي بِالحَقِّ مَا أَخْطَأَ مُؤْمِنًا قَطُّ</div><div><br></div><div>“Demi Zat yang mengutusku dengan sebenarnya, ini tak pernah meleset dari seorang mukmin pun.”</div><div><br></div><div>Dan memang, lima atau tujuh hari setelah itu, Ali kembali datang kepada Nabi Saw dan berkata:</div><div><br></div><div>يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي كُنْتُ فِيمَا خَلَا لَا آخُذُ إِلَّا أَرْبَعَ آيَاتٍ أَوْ نَحْوَهُنَّ، وَإِذَا قَرَأْتُهُنَّ عَلَى نَفْسِي تَفَلَّتْنَ وَأَنَا أَتَعَلَّمُ اليَوْمَ أَرْبَعِينَ آيَةً أَوْ نَحْوَهَا، وَإِذَا قَرَأْتُهَا عَلَى نَفْسِي فَكَأَنَّمَا كِتَابُ اللَّهِ بَيْنَ عَيْنَيَّ، وَلَقَدْ كُنْتُ أَسْمَعُ الحَدِيثَ فَإِذَا رَدَّدْتُهُ تَفَلَّتَ وَأَنَا اليَوْمَ أَسْمَعُ الأَحَادِيثَ فَإِذَا تَحَدَّثْتُ بِهَا لَمْ أَخْرِمْ مِنْهَا حَرْفًا</div><div><br></div><div>“Ya Rasulullah, sungguh sebelum ini aku hanya bisa menghafal lebih kurang empat ayat saja. Itu pun mudah lepas. Tapi sekarang aku bisa menghafal lebih kurang empat puluh ayat. Kalau aku baca seolah-olah al-Quran itu ada di depan mataku. Sebelumnya, kalau aku mendengar hadits dan aku ulang ia mudah lepas. Tapi sekarang kalau aku dengar hadits dan aku sampaikan tidak satu huruf pun yang tinggal.”</div><div><br></div><div>*** </div><div><br></div><div>Amalan ini ternyata juga biasa dilakukan di beberapa pesantren dan madrasah di Indonesia. Bahkan ada karya tulis ilmiah (skripsi dan tesis) yang melakukan penelitian tentang hal ini.</div><div><br></div><div>Karena Syekh Muhammad Ghazali telah merasakan sendiri manfaatnya, saya pun terdorong untuk mengamalkannya karena saya juga mengalami masalah pada hafalan. Tapi sebelum mengamalkannya, saya ingin mencek dulu kekuatan haditsnya.</div><div><br></div><div>Ternyata penilaian para ulama hadits mengenai hadits ini sangat beragam.</div><div><br></div><div>Imam Tirmidzi yang meriwayatkan hadits ini mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib :</div><div><br></div><div>هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ الوَلِيدِ بْنِ مُسْلِمٍ</div><div><br></div><div>Imam al-Hakim yang juga meriwayatkan hadits ini dalam al-Mustadrak mengatakan bahwa hadits ini shahih:</div><div><br></div><div>صَحِيح عَلَى شَرط الشَّيْخَيْنِ</div><div><br></div><div>Sudah dimaklumi bahwa Imam al-Hakim termasuk mutasahil (longgar) dalam menshahihkan hadits. Penilaian Imam al-Hakim ini dibantah oleh Imam adz-Dzahabi dalam Talkhis al-Mustadrak. Ia mengatakan bahwa hadits ini munkar dan syadz. Tapi ia mengaku ‘bingung’ melihat keindahan sanad hadits ini. Artinya, secara zhahir sanad hadits ini sangat bagus. Tapi ia tidak ‘nyaman’ dengan matannya. </div><div><br></div><div>هذا حديث منكر شاذ أخاف لا يكون مصنوعا وقد حيرني والله جودة سنده</div><div><br></div><div>Hal senada ia ungkapkan juga dalam Mizan al-I’tidal:</div><div><br></div><div>وهو مع نظافة سنده حديث منكر جدًا في نفسى منه شيء، فالله أعلم</div><div><br></div><div>Kemungkinan yang membuat Imam Dzahabi menilai matan hadits ini munkar adalah karena mirip dengan penyampaian para al-Qusshash (para penceramah yang biasa memotivasi masyarakat dengan hal-hal yang tidak punya dasar), seperti disampaikan Imam Ibnu Rajab dalam Syarah ‘Ilal Tirmidzi:</div><div><br></div><div>إنه يشبه أحاديث القصاص</div><div><br></div><div>Sementara itu Imam Ibnu al-Jauzi dengan ‘berani’ menghukumi hadits ini sebagai maudhu’. Ia beralasan:</div><div><br></div><div>الْوَلِيد يُدَلس التَّسْوِيَة وَلَا أتهم بِهِ إِلَّا النقاش شيخ الدارَقُطْنيّ فَإنَّهُ مُنكر الْحَدِيث</div><div><br></div><div>“Walid men-tadlis taswiyah. Saya tidak menuduh (memalsukan hadits ini) kecuali an-Naqqasy guru dari Daruquthni karena sesungguhnya ia seorang munkar hadits.”</div><div><br></div><div>Sudah masyhur juga bahwa Ibnu al-Jauzi termasuk mutasahil dalam memberikan cap palsu pada hadits.</div><div><br></div><div>Karena itu tuduhan Ibnu al-Jauzi ini dibantah oleh al-Hafizh Ibnu Hajar:</div><div><br></div><div>هَذَا الْكَلَام كُله تهافت والنقاش بَرِيء من عهدته فَإِن الحَدِيث أخرجه التِّرْمِذِيّ وَحسنه وَالْحَاكِم وَصَححهُ وَالْبَيْهَقِيّ من طَرِيق لَيْسَ فِيهَا النقاش وَلَا أَبُو صَالح وَلَا مُحَمَّد بن إِبْرَاهِيم</div><div><br></div><div>“Perkataan ini semuanya ‘ngawur’. An-Naqqasy tidak bersalah dalam hal ini karena hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dihasankannya, diriwayatkan oleh al-Hakim dan dishahihkannya, dan diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi dari jalur yang tidak ada di sana an-Naqqasy, Abu Shalih atau Muhammad bin Ibrahim.”</div><div><br></div><div>Pendapat ulama hadits kontemporer tentang hadits ini juga beragam. Syekh Albani dalam Silsilah Ahadits Dha’ifah menyatakan bahwa hadits ini maudhu’. Sementara itu Syekh Abdul Qadir al-Arnauth dalam tahqiqnya mengatakan bahwa hadits dari jalur Tirmidzi itu sanadnya jayyid. </div><div><br></div><div>Ini baru sekelumit kajian dari segi haditsnya, belum kajian dari segi istinbathnya. Tapi setidaknya ini bisa menjadi bahan awal bagi yang ingin mengkaji lebih jauh. Juga bagi yang sudah atau akan melakukan shalat dan doa untuk menghafal al-Quran tapi belum tahu dasarnya.</div><div><br></div><div>والله تعالى أعلم وأحكم</div><div><br></div><div>[YJ]</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-66495187396980003402024-02-28T06:14:00.001+07:002024-02-28T06:14:39.800+07:00MAKNA BAHAGIA MENURUT IMAM GHOZALI<div>Oleh Syahbuddin Daulay Almandiliy</div><div><br></div><div>السَّعَادَةُ كُلُّهَا فِي أَنْ يَمْلِكَ الرَّجُلُ نَفْسَهُ </div><div>وَالشَّــقَــاوَةُ فِي أَنْ تَمْـلِـكَـــهُ نَفْـسُــــهُ </div><div><br></div><div>"Kebahagiaan adalah ketika seseorang mampu menguasai nafsunya. Kesengsaraan adalah saat seseorang dikuasai nafsunya.” </div><div><br></div><div>Konsep bahagia menurut Imam Al-Ghazali ini dapat menjadi bahan renungan kita bersama. Orang bahagia adalah yang mampu mengendalikan hafsunya sendiri. </div><div><br></div><div>Saat kemarahan menguasi diri, kita disuruh bersabar. Saat ambisi menggebu disuruh qana'ah. Saat ujian mendera disuruh tawakal. Saat iri, dengki, riya, takabur, dan penyakit hati menyelimuti kita disuruh menghilangkan dengan penyucian jiwa melalui sikap zuhud, warak, khaf dan roja. </div><div><br></div><div>Maka, benarlah bahwa ini adalah perkara penguasaan diri. Kita akan bahagia saat mampu mengendalikannya. Kita akan selalu dalam derita saat diri dikuasai oleh nafsu sendiri.</div><div><br></div><div>Imam Al-Ghazali dalam kitab Minhaj al-‘Arifin mengatakan:</div><div><br></div><div>“Jika kau berpuasa, berniatlah untuk mengekang nafsu dari berbagai keinginan. Karena puasa berarti musnahnya kehendak nafsu. Ia mengandung kejernihan hati, menguruskan badan, dan mengingatkan kita untuk berbuat baik kepada kaum fakir. Itu semua tak lain agar kita kembali kepada Allah Ta’ala. Bersyukur atas berbagai nikmat yang Dia anugerahkan, dan meringankan hisab. Maka, anugerah Allah berupa taufik yang menjadikanmu mampu berpuasa itu lebih besar dibanding mensyukuri nikmat dan puasamu yang menuntut balasan dari-nya</div><div><br></div><div>"Lapar adalah cahaya, dan kenyang itu api. Sedangkan syahwat layaknya kayu yang akan menjadi mangsa api. Maka, kau tak akan mampu memadamkan apinya hingga ia benar-benar membakar pemiliknya.” </div><div><br></div><div>Syekh Yahya bin Muadz Ar-Razi, Kitab Jawahir At-Tashawuf.</div><div><br></div><div>Syekh Yahya menggambarkan bahwa sebenarnya lapar itu seperti cahaya, karena biasanya orang lapar akan lebih berpotensi untuk menangkap bisikan-bisikan lembut dalam dirinya. Hal ini merupakan pancaran cahaya Allah yang berpadu dalam bentuk ke'arifan dan kebijaksanaan hidup. Dengan begitu dia dapat mengarahkan pandangan mata hatinya karena terangnya cahaya Allah (faidh ar-Rahman). </div><div><br></div><div>Bahkan, dengan cahaya itu, dia pun mampu menyingkap tabir selubung yang menutupi sirr, bagian dalam hati yang begitu lembut tetapi amat sukar ditembus. </div><div><br></div><div>Lalu, membuka pintu kedekatan kepada Allah, semakin dekat dan dekat, serta menumbuhkan amal shaleh, kedermawanan, dan rasa cinta kepada sesama.</div><div><br></div><div>Sebaliknya, rasa kenyang dalam diri seseorang menjadi api. Karena kepuasan nafsu itu melalui syahwat perut hingga menuntut syahwat lainnya dalam bentuk yang beragam. Ia pun akan memunculkan rasa sombong, malas, dan sikap meremehkan ibadah, serta enggan melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-67632942817453453182024-02-25T16:07:00.001+07:002024-02-25T16:07:36.922+07:00Puasa Setelah Nisfu Sya'ban ( Tanggal 15 Sya'ban ) <div>oleh M. Syihabuddin Dimyati </div><div><br></div><div>Puasa setelah tanggal 15 Sya'ban (berarti tanggal 16 Sya'ban sampai bulan Sya'ban berakhir) hukumnya Haram. </div><div><br></div><div>Ada beberapa pengecualian keharaman ini, dalam artian puasa ditanggal 16 dan seterusnya tidak haram, dan bahkan tidak makruh, yaitu : </div><div><br></div><div>1. Puasa Dahr atau puasa menahun, disini disebut puasa Dalail. Jadi yang berpuasa setiap hari, semisal melakukan amalan, maka tanggal 16 dan seterusnya tetap boleh puasa, tetap sunah. </div><div><br></div><div>2. Puasa Daud, yaitu sehari puasa sehari tidak. Jadi yang berpuasa daud, misal tanggal 14 puasa, tanggal 15 tidak, tanggal 16 nya boleh puasa, begitu juga tanggal 18, 20, 22 dan seterusnya, tetap sunah. </div><div><br></div><div>3. Puasa Senin Kamis. Misal orang yang biasa puasa Senin Kamis, dan Kamisnya bertepatan tanggal 16, juga boleh puasa, hukumnya tetap sunah. Begitu juga Senin depannya dan seterusnya.</div><div><br></div><div>4. Puasa Ayyam Suud. Yaitu puasa 3 hari akhir bulan Hijriyah, 28, 29, dan 30.</div><div><br></div><div>5. Puasa Nadzar. Jadi misal ada orang punya nadzar, kalau berhasil melakukan sesuatu maka akan puasa, dan ternyata bertepatan setelah nisfu Sya'ban, misal tanggal 20 Sya'ban, maka boleh puasa. Beda kalau sudah tau masuk nisfu Sya'ban, baru nadzar, maka tidak sah.</div><div><br></div><div>6. Puasa Qodho', baik qodho' Ramadan atau qodho' puasa sunah yang memang sunah untuk di qodho'. Kalau qodho' Ramadhan ini memang wajib di lakukan, maka walaupun sudah melewati nisfu Sya'ban, tetap wajib qodho', jangan sampai datang Ramadhan belum qodho'.</div><div><br></div><div>7. Puasa Kafaroh.</div><div><br></div><div>8. Puasa yang sambung dengan hari sebelumnya. Jadi misal tanggal 15 puasa, maka tanggal 16 boleh puasa juga. Dan ketika 16 itu puasa, maka 17 boleh puasa juga. Dan ketika terputus satu hari saja tidak puasa, maka seterusnya tidak boleh puasa sampai bulan Sya'ban berakhir, kecuali ada salah satu sebab² diatas.</div><div><br></div><div>Referensi : Busyrol Karim bi Syarh Masa'il Ta'lim karya Syaikh Sa'id Ba'ali Ba'asyin Al-Hadromi, 556, Darul Minhaj </div><div><br></div><div>(إلا لورد)، كأن اعتاد صوم الدهر، أو صوم يوم وفطر يوم، أو يوم الإثنين، أو السود، فصادف ما بعد النصف، أو يوم الشك، فيصح صومه؛ لخبر الصحيحين بذلك.</div><div><br></div><div>وتثبت العادة بمرة (أو نذر) مستقر في ذمته، كأن نذر صوم كذا فوافق النصف الثاني من شعبان، بخلاف ما لو نذر صوم غد وهو عالم أنه يوم شك مثلاً .. فلا ينعقد، بخلاف ما لو لم يعلم ذلك.</div><div><br></div><div>(أو قضاء) ولو لنفل يشرع قضاؤه (أوكفارة) فيجوز صوم ما بعد النصف عنها ولو يوم الشك، ولا كراهة في صوم ما ذكر؛ لأن له سبباً فجاز كنظيره من الصلاة في الأوقات المكروهة، ومن ثَمَّ يأتي في التحري هنا ما مرَّ ثمَّ، ومسارعة لبراءة ذمته في غير الأول.</div><div><br></div><div>(أو وصل) صوم (ما بعد النصف بما قبله) ولو بيوم الخامس عشر وإن اقتضى خبر: "إذا انتصف شعبان .. فلا تصوموا" حرمة صومه؛ حفظاً لأصل مطلوبية الصوم.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-41176564882223472472024-02-07T13:48:00.001+07:002024-02-07T13:48:37.367+07:00Perbedaan Antara Karamah Dan Cerita<div>Oleh Abdul Wahhab Ahmad </div><div><br></div><div>Banyak yang mencampur adukkan antara karamah dan cerita sehingga cerita dianggap karamah dan karamah pun dianggap sekedar cerita. Padahal keduanya berbeda. Perbedaannya sebagai berikut:</div><div><br></div><div>Karamah adalah bentuk lain dari mukjizat tetapi tidak dibarengi dengan klaim kenabian. Karena sejenis, maka cirinya juga sama, yaitu berupa hal yang terbukti secara empiris sehingga orang atau masyarakat akan takjub dan merasa tidak mampu menandinginya. Fokuslah pada kata "terbukti secara empiris" untuk menegaskan bahwa semua karamah, sama dengan mukjizat, selalu berupa hal yang disaksikan orang banyak sehingga orang banyak itu merasa takjub sekaligus merasa lemah karena tidak mampu meniru.</div><div><br></div><div>Contoh karamah adalah kehebatan wali yang ketika ada orang sakit meminta doa, begitu didoakan langsung sembuh; Ketika ada paceklik, begitu berdoa saat itu juga langsung hujan deras; Ketika ditembak musuh ternyata tidak mempan dan yang semisal itu yang empiris. Karena empiris, maka urusannya bukan pada percaya atau tidak sebab sidah nyata sebagai fakta. </div><div><br></div><div>Ada juga bentuk karamah yang non-kesaktian tapi berupa keistiqamahan yang luar biasa, semisal tetap rutin mengajar meski sakit keras, tetap rutin bersedekah meskipun jatuh miskin, tetap rutin ibadah sunnah meskipun badannya sudah di ambang batas kemampuan, dan lain sebagainya. Semua jenis karamah ini sifatnya empiris faktual sehingga dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh orang lain sehingga orang lain tersebut menaruh hormat dan pada akhirnya menerima dakwah Sang Wali dan bahkan mencoba meniru kesalehan Sang Wali. </div><div><br></div><div>Tetapi kalau misalnya ada orang yang bercerita bahwa Syaikh Fulan naik ke langit bolak-balik, kakeknya bertemu nabi setiap hari, ayahnya ngobrol dengan malaikat, ruh moyangnya turun ke dunia saat belum lahir, dirinya pernah bermimpi bertemu Nabi, dan sebagainya yang sama sekali tidak terbukti secara empiris, atau dengan kata lain tidak ada masyarakat yang menyaksikannya langsung, maka itu namanya bukan karamah tapi sekedar cerita atau khabar kata orang Arab. </div><div><br></div><div>Yang disebut khabar (dalam bahasa Indonesia diserap menjadi kabar) adalah pernyataan verbal yang bisa benar dan bisa bohong. Jadi, urusannya bukan dengan ketakjuban dan perasaan lemah dari orang lain tetapi sekedar orang mau percaya atau tidak. Bagi yang percaya, mungkin saja merasa takjub tapi bagi yang tidak percaya maka tidak ada artinya kecuali hanya dianggap membual.</div><div><br></div><div>Jadi, kebanyakan yang kita dengar sebenarnya hanya cerita sebab tidak empiris. Ohya, empiris tidak harus terjadi sekarang atau dilihat dan dibuktikan oleh orang sekarang, tapi juga yang dilihat dan disaksikan oleh orang di masa kejadian itu terjadi di masa lalu. Kita tahu karamahnya para wali di buku-buku biografi sebab banyak masyarakat di waktu itu yang melihat langsung, bukan sekedar pengalaman pribadi yang tidak dapat disaksikan orang lain. Sama dengan mukjizat Nabi, semuanya disaksikan banyak orang sehingga mau tidak mau orang akan terpana, percaya dan akhirnya beriman. Isra' misalnya, pada awalnya ia adalah sebuah cerita sebab tidak ada yang menyaksikannya, tetapi di hari berikutnya Nabi membuktikan bahwa kejadian itu empiris dengan menjelaskan detail ciri Baitul Maqdis dan siapa saja rombongan yang masih di jalan serta kapan estimasi mereka sampai.</div><div><br></div><div>Semoga bermanfaat.</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-20416010.post-7035682994264622402024-02-07T09:43:00.001+07:002024-02-07T09:43:10.226+07:00SEBAIKNYA JANGAN MINTA DIDOAKAN SETELAH MEMBERI SHODAQOH PADA SESEORANG<div>Oleh Faisol Thantowi </div><div><br></div><div>Diantara kebiasaan sebagian orang saat memberikan sedekah adalah ia meminta didoakan. Padahal yang namanya beramal secara ikhlas itu mesti jauh dari rasa pamrih, meskipun hanya sekedar meminta didoakan.</div><div><br></div><div>Sehingga yang lebih utama bagi orang yang bersedekah adalah tidak meminta didoakan. Hal ini bertujuan agar pahala sedekah bisa lebih sempurna.</div><div><br></div><div>Firman Allah dalam surat Al Insan:</div><div><br></div><div>اِنَّمَا نُطۡعِمُکُمۡ لِوَجۡه الله لا نُرِیۡدُ مِنۡکُمۡ جَزَآءً وَّ لَا شُکُوۡرًا</div><div><br></div><div>"Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu." </div><div><br></div><div>Dalam kitab Taqrirotus Sadidah dijelaskan:</div><div><br></div><div>أن لا يطمع في دعاء المعطي له ليكمل له الأجر</div><div><br></div><div>"Hendaknya orang yang memberi tidak mengharapkan doa dari orang yang diberi agar sempurna pahala baginya."</div><div><br></div><div>Wallahu A'lam.</div>Unknownnoreply@blogger.com0